GURU DALAM PENDIDIKAN ISLAM

 BAB 7

GURU DALAM PENDIDIKAN ISLAM

 

A.    Pengertian Guru

Kata ‘guru’ jikalau disinonimkan dalam literarur bahasa arab yang sering digunakan dalam kegiatan pendidikan memiliki banyak istilah, antara lain: ustadz, mu’allim, murabbiy, mursyid, mudarris dan mu’addib.

Bilamana istilah pendidikan diambil dari kata tarbiyah maka orang yang melaksanakan kegiatan pendidikan (tarbiyah) dalam arti orang yang tugasnya sebagai pencipta, pemelihara, pengatur, dan pemerbaharu disebut murabbiy atau “pendidik”. Apabila istilah pendidikan diambil dari kata talim maka pendidik disebut muallim, demikian pula kata tadib maka istilah pendidik disebut muaddib.

Dalam literatur kependidikan Islam kata tarbiyah lebih populer digunakan dalam pendidikan. Oleh sebab itu, kata pendidik lebih identik dengan kata murabbiy. Seorang murabbiy yang melaksanakan kegiatan pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan pada umumnya disebut ustadz.

Kata ustadz biasa digunakan untuk memanggil seorang professor. Ini mengandung makna bahwa seorang pendidik (guru) dituntut untuk berkomitmen terhadap profesionalisme dalam mengemban tugasnya.

Seorang guru memiliki tugas dan kompetensi yang melekat pada dirinya antara lain: a) sebagai mu’allim, artinya bahwa seorang guru itu adalah orang yang berilmu (memiliki ilmu) pengetahuan yang luas, dan mampu menjelaskan/mengajarkan/mentransfer ilmu tersebut kepada muridnya sehingga dapat diamalkan dalam kehidupan. b) sebagai mu’addib, yang berarti mendisiplinkan atau menanamkan sopan santun, maka seorang mu’addib adalah seseorang yang memiliki kedisiplinan kerja yang dilandasi dengan etika, moral dan sikap yang santun, serta mampu menanamkannya kepada anak didiknya melalui contok untuk ditiru anak didiknya. c) sebagai mudarris, artinya orang yang memiliki tingkat kecerdasan intelektual lebih, dan berusaha membantu menghilangkan kebodohan/ketidaktahuan anak didiknya dengan cara melatih intelektualnya melalui proses pembelajaran. d) sebagai mursyid, artinya orang yang memiliki kedalaman spiritual, memiliki ketaatan dalam menjalankan ibadah, serta berakhlak mulia. Kemudian berusaha untuk mempengaruhi muridnya agar mengikuti jejak kepribadiannya melalui kegiatan pendidikan.[1]

Dari beberapa penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa guru dalam perspektif Islam adalah orang yang bertanggung jawab untuk membina dan mengarahkan muridnya baik jasmani maupun rohani agar potensi yang dimiliki dapat berkembang secara optimal.

Di dalam al-Quran ditemukan beberapa kata yang menunjukkan kepada pengertian pendidik.

1.      Murabbi

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil (Al-Isra’ : 24)

Istilah murabbi pada ayat tersebut diartikan sebagai pendidik.

 

2.      Mu’allim

كَمَآأَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولاً مِّنكُمْ يَتْلُوا عَلَيْكُمْ ءَايَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّالَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ

Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui (Al-Baqarah : 151)

Istilah mu’allim pada ayat tersebut diartikan sebagai pengajar, yakni memberikan informasi tentang kebenaran dan ilmu pengetahuan. Istilah ini banyak digunakan di Indonesia, dengan pengertian sebagai orang yang menjadi guru agama dan pemimpin spiritual di masyarakat.

 

3.      Muzakki

رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ ءَايَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Ya Rabb kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (al-Qur'an) dan hikmah serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Al-Baqarah : 129)

Istilah muzakki diartikan sebagai orang yang melakukan pembinaan mental dan karakter yang mulia, dengan cara membersihkan si anak dari pengaruh akhlak yang buruk, terampil dalam mengendalikan hawa nafsu.

 

4.      Ulama

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللهَ أَنزَلَ مِنَ السَّمَآءِ مَآءً فَأَخْرَجْنَا بِهِ ثَمَرَاتٍ مُّخْتَلِفًا أَلْوَانُهَا وَمِنَ الْجِبَالِ جُدَدٌ بِيضٌ وَحُمْرٌ مُّخْتَلِفٌ أَلْوَانُهَا وَغَرَابِيبُ سُودٌ.  وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَآبِّ وَاْلأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاؤُا إِنَّ اللهَ عَزِيز غَفُورٌ

Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dari hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya.Dan diantara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) diantara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya).Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (Al-Fathir : 27-28)

Pengertian yang umum digunakan mengenai ulama ini yaitu seseorang yang luas dan mendalami ilmu agama, memiliki kharisma, akhlak mulia, dan kepribadian yang saleh.

 

5.      Rasikhun fi ‘ilm

هُوَ الَّذِي أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَاتَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَآءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَآءَ تَأْوِيلِهِ وَمَايَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا وَمَايَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُوا اْلأَلْبَابِ

Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (al-Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat itulah pokok-pokok isi al-Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata:"Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Rabb kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal (Ali Imran : 7)

Istilah ini diartikan orang yang tidak hanya dapat memahami sesuatu yang bersifat empiris atau eksplisit, melainkan juga memahami makna, pesan ajaran, spirit, jiwa, kandungan, hakikat, substansi, inti dan esensi dari segala sesuatu.

 

6.      Ahl Dzikir

وَمَآأَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلاَّ رِجَالاً نُوحِى إِلَيْهِمْ فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَتَعْلَمُونَ

Kami tiada mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui (Al-Anbiya : 7)

Istilah ahl dzikir diartikan sebagai orang yang menguasai ilmu pengetahuan atau ahli penasihat, yaitu mereka yang pandai mengingatkan. Ia adalah orang memiliki pengetahuan dan keahlian yang benar-benar diakui para ahli lainnya, sehingga ia pantas disebut sebagai pakar, dan pendapat-pendapatnya layar untuk dijadikan rujukan.

 

7.      Ulu albab

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لأَيَاتٍ لأُوْلِي اْلأَلْبَابِ . الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ رَبَّنَا مَاخَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Sesungguhnya dalam penciptaan langit langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata):"Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka (Ali Imran : 190-191)

Ulu al-bab diartikan bukan hanya orang yang memiliki daya pikir dan gaya nalar, melainkan juga daya zikir dan spiritual. Kedua ayat ini digunakan secara optimal dan saling melengkapi sehingga menggambarkan keseimbangan antara kekuatan penguasaan ilmu pengetahuan dan penguasaan terhadap ajaran-ajaran agama dan nilai-nilai spiritualitas, seperti keimanan. Ketakwaan, ketulusan, kesabaran, ketawakalan dan sebagainya.

 

8.      Mursyid

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran (Al-Baqarah : 186)

Pada ayat tersebut seorang mursyid adalah orang yang yarsyudun, yakni selalu berdo’a kepada Allah Swt dan senantiasa melaksanakan dan memenuhi panggilan-Nya. Selain itu, ia juga senantiasa mengutamakan dan menjunjung moralitas dan patuh kepada Allah Swt. Ia juga sebagai orang yang cerdas serta mampu memanfaatkan kecerdasannya itu untuk tujuan-tujuan yang mulia. Dalam sejarah istilah mursyid digunakan untuk istilah guru pada pendidikan yang diselenggarakan di pusat-pusat pendidikan calon sufi, yang dikenal dengan nama lembaga pendidikan ribath.

 

9.      Muwa’idz

وَإِذْقَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لاَتُشْرِكْ بِاللهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar (Luqman : 13)

Pada ayat ini, al-muwa’idz diartikan sebagai pemberi pelajaran yang bersifat nasihat spiritual kepada manusia, agar manusia tersebut tidak menyekutukan Tuhan, karena selain dianggap sebagai perbuatan zalim dan amat tidak layak dilakukan terhadap Tuhan, juga karena menyekutukan Tuhan itu akan merugikan manusia, merampas hak-haknya dan menjadikannya sebagai budak atau jajahan, serta menjatuhkan harkat dan martabat manusia, dengan segala deritanya.

 

10.  Faqih

وَمَاكَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَآفَةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِنهُمْ طَآئِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya (At-Taubah : 122)

Istilah faqih diartikan sebagai orang yang memiliki pengetahuan agama yang mendalam. Istilah ini lazim digunakan utnuk orang-orang yang mendalami ilmu agama di berbagai pondok pesantren.

 

11.  Muaddib

أَدَّبَنِي رَبِّي فَأَحْسَنَ تَأْدِيبِي 

Tuhanku telah mendidikku (memperbaiki akhlakku), sehingga terbaiklah pendidikan (akhlak)-ku (HR. Imam As-sam’aani dari Ibnu Mas’ud)

Berdasarkan hadits ini, al-muaddib diartikan sebagai orang yang memiliki akhlak dan sopan santun, seorang, seorang yang terdidik dan berbudaya, sehingga ia memiliki hak moral dan daya dorong untuk memperbaiki masyarakat. Di dalam sejarah istilah muaddib digunakan untuk jabatan yang mengajar para calon raha atau putra mahkota di istana-istana raja. Muaddib adalah guru istana dengan tugas menyiapkan calon pemimpin bangsa. Pendidikan yang diberikan kepada putra mahkota atau pangeran itu antara lain, sastra, keterampilan berpidato, sejarah orang-orang sukses, akhlak mulia dan berbagai keterampilan fisik lainnya seperti berenang, memanah dan berkuda.[2]

 

B.     Pengertian Guru secara Terminologi

Pendidik dalam Islam yaitu siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik. Pendidikan Islam menggunakan tanggung jawab sebagai dasar untuk menentukan pengertian pendidik, sebab pendidikan merupakan kewajiban agama dan kewajiban hanya dipikulkan kepada orang yang telah dewasa. Kewajiban itu pertama-tama bersifat personal, dalam arti setiap orang bertanggung jawab atas pendidikan dirinya sendiri,  kemudian bersifat sosial, dalam arti setiap orang bertanggung jawab atas pendidikan orang lain. Dasar kewajiban itu adalah firman Allah Swt.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلآئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَاد لاَّيَعْصُونَ اللهَ مَآأَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَايُؤْمَرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (Tahrim:6)

Nabi Muhammad Saw menjelaskan kewajiban itu di dalam sabdanya:

أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَعَبْدُ الرَّجُلِ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Ketahuilah Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang di pimpin, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, dan isteri pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka, dan budak seseorang juga pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya, ketahuilah, setiap kalian adalah bertanggung jawab atas yang dipimpinnya (HR. Bukhari).

 

C.    Jenis Pendidik dalam Pendidikan Islam

Pendidik dalam pendidikan Islam ada beberapa macam.

a)      Allah Swt

Dari berbagai ayat al-Quran membicarakan tentang kedudukan Allah sebagai pendidik, dapat dipahami dalam firman-firman yang diturunkannya kepada Nabi Muhammad SAW. Allah memiliki pengetahuan yang luas. Ia juga sebagai pencipta.

وَ عَلَّمَ اَ دَ مَ اْلاسْمَآ ءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَىئكَةِ فَقَالَ اَ نْبِئُو نِيْ بِاَ سْمَآ ءِ هَؤُلآءِاِنْ كُنْتُمْ صَدِقِيْنَ

Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku nama semua (benda) ini, jika kamu yang benar (Al-Baqarah : 31).

Berdasarkan ayat diatas dapat dipahami bahwa Allah SWT sebagai pendidik bagi manusia. Perbandingan antara Allah sebagai pendidik dengan manusia sebagai pendidik sangatlah berbeda. Allah sebagai pendidik mengetahui segala kebutuhan orang yang dididiknya sebab Dia adalah zat Pencipta. Perhatian Allah menyeluruh keseluruh alam.[3]

b)      Nabi Muhammad Saw

Nabi sendiri mengidentifikasi dirinya sebagai muallim (pendidik). Nabi sebagai penerima wahyu al-Quran yang bertugas menyampaikan petunjuk-petunjuk kepada seluruh umat Islam kemudian dilanjutkan dengan mengajarkan kepada manusia ajaran-ajaran tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kedudukan Nabi Muhammad sebagai pendidik di tunjuk langsung oleh Allah SWT.[4]

c)      Guru

Pendidik di lembaga persekolah disebut guru, yang meliputi guru madrasah atau sekolah sejak dari taman kanak-kanak, sekolah menengah dan dosen-dosen di perguruan tinggi, kiyai di pondok pesantren dan lain sebagainya. Guru adalah pendidik profesional, karenanya ia telah merelakan dirinya menerima dan memikul sebagian tanggung jawab pendidikan yang terpikul di pundak orang tua. Sebagai pemegang amanat, guru bertanggung jawab atas amanat yang diserahkan kepadanya.[5]

d)      Orang Tua

Orang tua adalah pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka, karena dari merekalah anak mula-mula menerima pendidikan. Pendidik dalam lingkungan keluarga, adalah orang tua. Hal ini disebabkan karena secara alami anak-anak pada masa awal kehidupannya berada di tengah-tengah ayah dan ibunya. Dari merekalah anak-anak mulai mengenal pendidikannya. Dasar pandangan hidup, sikap hidup, dan keterampilan hidup banyak tertanam sejak anak berada di tengah orang tuanya. Orang tua adalah “pendidik qudrati” yaitu pendidik yang telah diciptakan Allah qudratnya menjadi pendidik.[6]

 

D.    Keutamaan Guru

Allah berfirman:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara engkau dan orang –orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat  (Q.S. Al-Mujadalah : 10).

Allah akan mengangkat derajat para ‘ulama (orang yang ahli dalam bidang keilmuan), sebab mereka sanggup memadukan antara ilmu pengetahuan dan pengamalannya

Allah berfirman:

شَهِدَ ٱللَّهُ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةُ وَأُولُو ٱلْعِلْمِ قَآئِمًۢا بِٱلْقِسْطِ ۚ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ

Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Ali Imran: 18)

Ayat diatas menjelaskan bahwa Allah memulai firmannya dengan menyebut Dzatnya sendiri, kedua kalinya menyebut malaikat dan ketiga kalinya menyebut orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan.

Allah berfirman:

 إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

Sesungguhnya dari hamba-hamba Allah yang takut kepada Allah adalah para ‘ulama (Al-Fathir : 28).

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَٰئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ  جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًارَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ.  ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ.

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh mereka itu adalah sebaik-baiknya makhluk. Balasan mereka disisi Tuhan mereka adalah surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai. Mereka kekal didalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhanya (Al Bayyinah:7-8 ).

Dua ayat diatas menetapkan bahwa para ulama’ adalah orang-orang merasa takut kepada Allah. Orang yang merasa takut kepada Allah adalah termasuk sebaik-baik makhluk. Dengan demikian dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa mereka adalah sebaik-baik makhluk.

Rasulullah bersabda:

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

Barangsiapa dikehendaki Allah (mendapat) kebaikan, maka akan dipahamkan ia dalam (masalah) agama (HR. Bukhari).

Rasulullah juga bersabda:

العُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ

Ulama (termasuk para guru) adalah pewaris para nabi (HR. Abu Dawud, al-Turmudzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban).

العلماء ورثة الأنبياء , وحسبك بهذه الدرجات مجدا وفخرا وبهذه الرتبة شرفا وذكرا, وإذا كان لا رتبة فوق النبوة فلا شرف فوق شرف الوراثة لتلك الرتبة

Ulama’ adalah pewaris para Nabi, cukuplah bagimu dengan derajat ini untuk memperoleh sebuah keagunaan dan kebanggaan diri. Dan (cukuplah bagimu) dengan tingkatan ini untuk memperoleh kemuliaan dan panggilan yang agung. Ketika sudah tidak ada lagi tingkatan di atas tingkat kenabian, maka tidak ada satupun kemuliaan yang melebihi kemuliaan warisan tingkatan tersebut.[7]

Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa makhluk paling mulia di muka bumi ialah manusia, sedangkan bagian paling mulia adalah kalbu. Allah membukakan kalbu orang alim untuk dapat menerima ilmu dari-Nya. Dengan demikian, orang alim ibarat bendaharawan bagi khazanah Allah yang paling berharga. Selanjutnya ia diizinkan untuk menafkahkan sebagian dari isi khazanah itu kepada setiap orang yang membutuhkannya. Maka perhatikanlah, adakah kedudukan yang lebih mulia dibanding kedudukan hamba yang menjadi perantara antara Allah dan makhluk untuk mendekatkan mereka kepada-Nya sedekat mungkin serta membimbing mereka menuju surga tempat kembali yang abadi.[8]

Kemuliaan guru akan mencapai puncaknya jika menjalankan tugas-tugas yang dibebankan kepada Rasulullah Saw sebagaimana firman Allah Swt:

لَقَدْ مَنَّ اللهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ ءَايَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَّفِي ضَلاَلٍ مُّبِينٍ

Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Ali Imran : 164)

Rasulullah SAW bersabda :

طَلَبُ العِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ  وَ طَالِبُ العِلْمِ يَسْتَغْفِرُ لَهُ كُل شَيْءٍ حَتَّى الحِيْتَان فِي البَحْرِ

Mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap orang Islam. Orang yang mencari ilmu itu akan dimintakan ampun oleh setiap sesuatu yang ada dimuka bumi ini sampai ikan-ikan yang berada di lautan (HR. Ibnu Jauzi)

Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ غَدَا فِي طَلَبِ العِلْم أظلت عَلَيْهِ الْمَلَائِكَة وَبُوْرِكَ لَهُ فِي مَعِيْشَتِهِ وَلَمْ ينقص مِنْ رِزْقِهِ

Barang siapa berangkat pergi di pagi hari dengan tujuan mencari ilmu, maka para malaikat akan mendo’akannya dan diberkahi kehidupannya dan tidak dikurangi rizkinya (HR. Ibnu Abd Bar dalam kitab Jami’ Bayan Ilmi)

Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ لا يُرِيدُ إِلا أَنْ يَتَعَلَّمَ خَيْرًا أَوْ يَعْلَمَهُ كَانَ لَهُ كَأَجْرِ حَاجٍّ تَامًّا حِجَّتُهُ

Barang siapa yang berangkat pergi di pagi hari untuk kemasjid, sementara dia tidak menghendaki sesuatu kecuali untuk mempelajari kebaikan atau untuk mengajarkan kebaikan, maka berhak memperoleh pahala seperti pahalanya orang yang melakukan ibadah haji secara sempurna (HR. Thabrani)

Rasulullah SAW bersabda:

العَالِمُ وَ المتعلم كَهذِه مِنْ هذه وَجمع بَيْنَ المسبحة وَالتي تليها شَرِيْكَان فِي الأَجْرِ وَلَا خَيْرَ فِي سَائِرِ النَّاسِ بعد

Orang yang mengajarkan ilmu pengetahuan dan orang yang mempelajarinya seperti ini dari ini. Nabi mengumpulkan antara dua jari telunjuk, jari yang berdampingan merupakan dua jari yang saling bersekutu dalam hal kebaikan, dan tidak ada satupun kebaikan di kalangan seluruh manusia selain proses belajar dan mengajar (HR. Ibnu Majah).

Dari Al-Hasan Al-Bashri, dari Abu Ad-Darda’, ia berkata,

كُنْ عَالِمًا  أَوْ مُتَعَلِّمًا  أَوْ مُسْتَمِعًا  أَوْ مُحِبًّا  وَلاَ تَكُنْ الخَامِسَةَ فَتَهْلَكُ. قَالَ : فَقُلْتُ لِلْحَسَنِ : مَنِ الخَامِسَةُ  قال : المبْتَدِعُ

Jadilah seorang alim atau seorang yang mau belajar, atau seorang yang sekedar mau dengar, atau seorang yang sekedar suka, janganlah jadi yang kelima.” Humaid berkata pada Al-Hasan Al-Bashri, yang kelima itu apa. Jawab Hasan, “Janganlah jadi ahli bid’ah (Al-Ibanah Al-Kubra karya Ibnu Batthah)

Rasulullah SAW bersabda :

 تَعَلَّمُوْا الْعِلْمَ وَتَعَلَّمُوْا لِلْعِلْمِ السَّكِيْنَةَ وِالْوَقَارَ وَتَوَاضَعُوْا لِمَنْ تَعَلَّمُوْنَ مِنْهُ

Tuntutlah ilmu dan belajarlah (untuk ilmu) ketenangan dan kehormatan diri, dan bersikaplah rendah hati kepada orang yang mengajar kamu  (HR. Al-Thabrani)

تَعَلَّمُوْاالْعِلْمَ  فّإِنَّ تَعَلُّمُهُ قُرْبَةٌ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ  وَتَعْلِيْمَهُ لِمَن لاَ يَعْلَمُهُ صَدَقَةٌ  وَإِنَّ الْعِلْمَ لَيَنْزِلُ بِصَاحِبِهِ فِى مَوْضِعِ الشَّرَفِ وَالرِّفْعَةِ  وَالْعِلْمُ زَيْنٌ لِأَهْلِهِ فِى الدُّنْيَا وَالأَخِرَةِ

Tuntutlah ilmu,sesungguhnya menuntut ilmu adalah pendekatan diri kepada Allah Azza wajalla, dan mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah sodaqoh. Sesungguhnya ilmu pengetahuan menempatkan orangnya dalam kedudukan terhormat dan mulia. Ilmu pengetahuan adalah keindahan bagi ahlinya di dunia dan di akhirat (HR. Ar-Rabii’)

Rasulullah SAW bersabda :

يَا أَبَاذَرٍّ  لَأَنْ تَغْدَوْا فَتُعَلِّمَ اَيَةً مِنْ كِتَابِ اللَّهِ خَيْرٌ لَّكَ مِنْ اَنْ تُصَلِّيَ مِائَةَ رَكْعَةٍ  وَلَأَنْ تَغْدُوْا فَتُعَلِّمَ بَابًا مِنَ الْعِلْمِ عُمِلَ بِهِ اَوْ لَمْ يُعْمَلْ  خَيْرٌ مِنْ اَنْ تُصَلِّيَ أَلْفَ رَكْعَةٍ

“Wahai Aba Dzar, kamu pergi mengajarkan ayat dari Kitabullah telah baik bagimu dari pada shalat (sunnah) seratus rakaat, dan pergi mengajarkan satu bab ilmu pengetahuan baik dilaksanakan atau tidak, itu lebih baik dari pada shalat seribu rakaat (HR. Ibn Majah).

Rasulullah SAW bersabda:

 إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوْا قَالُوْا : يَارَسُوْلَ اللَّهِ  وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ قَالَ : مَجَالِسُ الْعِلْمِ

Apabila kalian semua melihat taman-taman surga, maka tempatilah!. Kemudian dikatakan, “WahaiRasulullah? apa yang dimaksud dengan taman surga itu?”. Beliau menjawab: “Taman surga itu adalah taman yang digunakan untuk diskusi atau pertukaran ilmu (HR. Al-Thabrani).

عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال  إن الرجل ليخرج من منزله وعليه من الذنوب مثل جبل تهامة ,فإذا سمع العالم خاف ورجع وتاب فانصرف إلى منزله وليس عليه ذنب,فلا تفارقوا مجالس العلماء

Umar Ibn Al Khattab ra. telah berkata: “Bahwa seorang laki-laki tentunya akan keluar dari rumahnya,sementara dia mempunyai banyak dosa yang menyamai besarnya gunung Tihamah. Ketika ia mendengar orang alim, maka ia merasa takut dan ia kemudian bertaubat dari perbuatan dosanya, kemudian ia kembali kerumahnya dalam keadaan besih dari dosa, oleh karena itu janganlah kalian berpisah dari tempat–tempat para ulama.[9]

 

E.     Tugas Guru

Tugas guru hendaknya mencontoh peranan yang telah dilakukan para nabi dan pengikutnya. Tugas mereka, pertama-tama ialah mengkaji dan mengajarkan ilmu Ilahi, sesuai dengan firman Allah Swt:

مَاكَانَ لِبَشَرٍ أَن يُؤْتِيَهُ اللهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِّي مِن دُونِ اللهِ وَلَكِن كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنتُمْ تَدْرُسُونَ

Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia:"Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah". Akan tetapi (dia berkata):"Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya (Ali Imran : 79)

Allah Swt juga mengisyaratjkan bahwa tugas pokok Rasulullah Saw ialah mengajarkan al-Kitab dan al-Hikmah kepada manusia serta mensucikan mereka, yakni mengembangkan dan membersihkan jiwa mereka.

رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ ءَايَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Ya Rabb kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (al-Qur'an) dan hikmah serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Al-Baqarah : 129)

Berdasarkan firman Allah Swt diatas, dapat disimpulkan bahwa tugas pokok guru dalam pendidikan Islam adalah sebagi berikut:

1.      Tugas pengajaran. Guru hendaknya menyampaikan pengetahuan dan pengalaman kepada siswa untuk diterjemahkan dalam tingkah laku dan kehidupannya.

2.      Tuga penyucian. Guru hendaknya mengembangkan dan membersihkan jiwa siswa agar dapat mendekatkan diri kepada Allah Swt, menjauhkan diri dari keburukan, dan menjaganya agar tetap berada pada fitrahnya.[10]

 

F.     Sifat-sifat Guru

Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menulis sifat-sifat yang harus dimiliki guru sebagai berikut:

1.      Guru memiliki tugas untuk memberikan pengajaran (dalam hal intelektual) dan pendidikan (dalam hal kepribadian dan karakter). Karena hal itu adalah tugas utama seorang guru, maka sifat pokok yang dimilikinya adalah lemah lembut dan kasih sayang. Interaksi antara guru degan murid demikian akan melahirkan sikap percaya diri dan rasa tentram terhadap gurunya. Relasi ini akan sangat membantu murid menyerap pengetahuan sebanyak-banyaknya. Guru hendaknya memandang murid seperti anaknya sendiri, seperti Rasulullah Saw mencontohkan posisinya di tengah-tengah para shahabat:

إنَّما أنا لَكُمْ مِثْلُ الوالِدِ لِوَالِدِهِ

Seungguhnya aku bagi kamu seperti orangtua terhadap anaknya (HR. Abu Dawud, al-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)

2.      Menuntut upah dalam mengajar adalah sesuatu yang perlu ditinjau kembali. Dalam hal ini Imam al-Ghazali berkata: “Barang siapa mencari harta dengan ilmu pengetahuan maka ia seperti orang yang mengusap alat penggosok dengan mukanya sendiri untuk membersihkannya, maka terjadilah penjungkirbalikan, majikan menjadi pelayan dan pelayan menjadi majikan”. Guru hendaknya berpedonam pada prinsip para nabi:

وَيَاقَوْمِ لآأَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالاً إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى اللهِ وَمَآأَنَا بِطَارِدِ الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّهُم مُّلاَقُوا رَبِّهِمْ وَلَكِنِّي أَرَاكُمْ قَوْمًا تَجْهَلُونَ

Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Rabbnya akan tetapi aku memandangmu sebagai kaum yang tidak mengetahui (Hud : 29)

Pada poin kedua ini, dalam konteks kekinian memang menjadi persoalan yang menimbulkan kontroversi yang tiada ujungnya. Mempertimbangkan bahwa guru juga manusia biasa –yang secara ekonomi– yang harus mencari nafkah untuk menghidupi dirinya sendiri dan keluarga yang menjadi tanggungannya, adalah menjadi aspek yang harus menjadi pertimbangan dalam konteks memikirkan kesejahteraan seorang guru.

3.      Guru menjadi pembimbing yang jujur dan dapat dipercaya bagi muridnya. Selain itu juga, guru sayogjanya senantiasa menanamkan keyakinan pada hati muridnya bahwa menuntut ilmu hanyalah semata untuk mendekatkan diri kepada Sang Khalik, bukan kesombongan, mencari harta dan kedudukan, pamer ilmu, bersilat lidah, bertengkar dan berdebat.

4.      Guru tidak boleh menyebarluaskan kekurangan dan kesalahan muridnya, karena akan merangsang timbulnya sifat protes dalam dirinya. Sebab hal itu dapat membuat murid merasa dihantui rasa bersalah yang membuat mereka protes sebagai cara mempertahankan dirinya. Pengarahan, teguran dan bimbingan dari seorang guru disampaikan dengan penuh kasih sayang, tanpa disertai emosi.

5.      Kehadiran guru tampil sebagai teladan atau panutan yang baik di hadapan muridnya. Oleh karenanya, guru harus memiliki keluruhan budi pekerti dan rasa toleransi. Seorang guru hendaknya tidak mencela ilmu-ilmu yang bukan keahliannnya atau spesialisasinya. Kebiasaan seorang guru yang mencela guru ilmu fiqih dan guru ilmu fiqih mencela guru hadis dan tafsir, adalah guru yang tidak baik.

6.      Guru perlu memiliki prinsip mengakui adanya perbedaan potensi yang dimiliki murid secara individual dan bagaimana cara memperlakukannya sesuai dengan tingkat kemampuan yang dimiliki murid. Al-Ghazali menasehatkan agar guru membatasi diri dalam mengajar sesuai dengan batas kemampuan pemahaman muridnya, dan ia sepantasnya tidak memberikan pelajaran yang tidak dapat dijangkau oleh akal muridnya, karena hal itu dapat menimbulkan rasa antipati atau merusak akal muridnya. Allah Swt berfirman:

وَلاَتُؤْتُوا السُّفَهَآءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلاً مَّعْرُوفًا

Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik  (An-Nisa :5)

7.      Di samping memahami perbedaan tingkat kemampuan dan kecerdasan muridnya, guru juga perlu memahami bakat, tabiat dan kejiwaan murid, sesuai dengan tingkat usia dan kemampuannya. Kepada murid yang kemampuannya kurang, hendaknya seorang guru jangan mengajarkan hal-hal yang rumit dan bersifat kontraversial, sekalipun guru itu menguasainya. Sebab hal itu dapat menjadikan murid merasa kebingungan.

8.      Guru memiliki peran ganda, yakni sebagai orang yang ‘alim dan sekaligus ‘amil. Guru tidak hanya memberikan materi melalui kegiatan belajar-mengajar, tetapi juga memberikan materi melalui sebuah tindakan nyata. Dengan demikian, guru harus berpegang teguh kepada prinsip yang diucapkannya, serta berupaya untuk merealisasikannya sedemikian rupa.  Firman Allah Swt :

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَـابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ

Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat) Maka tidakkah kamu berpikir (Al-Baqarah : 44)

Guru adalah orang alim. Sebagai orang alim, ketika terjerumus dalam perbuatan maksiat, maka dosanya lebih besar dibanding dosa orang yang tidak alim. Karena ia tergelincir dalam ketahuannya, sementara orang lain tergelincir dalam ketidaktahuannya.[11]

 

G.    Etika Guru terhadap Dirinya Sendiri

Etika guru terhadap dirinya sendiri sebagai berikut:

1.      Seorang guru harus senantiasa menyadari keberadaan Allah SWT baik dalam keadaan sendiri maupun bersama orang lain, dan takut   kepada-Nya   di   setiap   gerak   dan   diam,   ucapan   serta perbuatan/tindakan.

الأول دوام مراقبة الله تعالى في السر والعلانية والمحافظة على خوفه في جميع حركاته وسكناته وأقواله وأفعاله

2.      Guru harus menjaga ilmu sebagaimana yang dilakukan oleh ulama terdahulu serta mengamalkannya yang dapat menuntun menuju keagungan dan kemuliaan.

الثانى أن يصون العلم كما صائة لماء السلف ويقوم له بما جعلة الله تعالى له من العزة والشرف

3.      Guru hendaknya bersikap zuhud terhadap kehidupan dunia dan meminimalisir kebutuhan duniawi sehingga cukup untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya. Sebab kebutuhan yang dipenuhi secara pas atau sekedarnya saja (tidak berlebih-lebihan) tidak termasuk kategori kebutuhan duniawi yang dilarang.

الثالث أن يتخلق بالزهد في الدنيا وليقلل منها بقدر الإمكان الذي لا يضر بنفسه أو بعياله فإن ما يحتاج إليه لذلك على الوجه المعثدل من القناعة ليس يعد من الدنيا

4.      Guru seharusnya  tidak  menyalahgunakan  ilmu  yang dimiliki  sebagai  perantara  untuk  mencapai  tujuan  yang  bersifat duniawi seperti untuk memperoleh jabatan, harta, kesombongan diri, kemuliaan, pelayanan atau untuk menyaingi orang lain.

الرابع أن ينزه علمه عن جعله سلما يتوصل به إلى الأغراض الدنيوية من جاه أومال أوسمعة أوشهرة أوخدمة أوتقدم على أقرانه

5.      Seorang  guru  hendaknya  menjaga  diri  dari  profesi  yang bersifat rendahan dan hina atau yang tidak direkomendasikan baik oleh tradisi  masyarakat  maupun  agama,  semisal  profesi  bekam  dan menyamak kulit.

الخامس أن يتنزه عن دني المكاسب ورذيلها طبعا وعن مكروهها عادة وشرعا كالحجامة والدباغة

6.      Seorang guru hendaknya senantiasa memelihara syiar-syiar dan hukum-hukum Islam seperti mendirikan sholat di masjid secara berjamaah,  mengucap  salam  untuk  orang  tertentu  maupun  orang umum, memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.

السادس أن يحافظ على القيام بشعائر الإسلام وظواهر الأحكام كإقامته الصلاة في مساجد الجماعات وإفشاء السلام للخواص والعوام والأمر بالمعروف والنهى عن المنكر

7.      Seorang  guru  hendaknya  senantiasa  memelihara  untuk menunaikan ibadah-ibadah sunnah, baik yang berupa tindakan maupun ucapan sebagai contoh senantiasa memelihara melantukan Al-Qur‟an dan berdzikir kepada Allah baik dengan dengan hati maupun lisan.

السابع أن يحافظ على المندوبات الشرعية القولية والفعلية فيلازم تلاوة القران وذكر الله تعالى بالقلب واللسان

8.      Bersosialisasi  dengan  akhlaq   yang  mulia  terhadap masyarakat   dengan   cara   memperlihatkan   wajah   yang   berseri, mengucapkan  salam,  berbagi  makanan,  menahan  amarah  dan  tidak berbuat jahat kepada mereka.

الثامنمعاملة الناس بمكارم الأخلاق من طلاقة الوجه وإفشاءالسلام وإطعام الطعام وكظم الغيظ وكف الأذى عن الناس

9.      Membersihkan/mensucikan diri baik secara lahir maupun batin  dari  akhlak  tercela  dan  menghiasi  diri  dengan  akhlak  yang terpuji.  Akhlak  tercela  antara  lain  berupa  tindakan  iri,  dengki, permusuhan dan marah bukan karena Allah. Adapun akhlak terpuji antara  lain  senantiasa  bertaubat,  ikhlas,  taqwa,  sabar,  berprasangka baik, dan mensyukuri nikmat.

التاسع أن يطهر باطنة وظاهره من الأخلاق الرديئة (ويعمره بالأخلاق المرضية فمن الأخلاق الرديئة) الغل والحسد والبغي والغضب لغيرالله تعالى ومن الأخلاق المرضية دوام التوبة والإخلاص والتقوى والصبر وحسن الظن وشكر النعمة

10.  Terus  semangat  untuk  memperoleh  ilmu  lebih  dengan senantiasa tekun, teguh dan konsisten melantunkan ibadah wirid, sibuk dan  menyibukkan  diri  untuk  belajar  dan  mengajar,  mengkaji, mengutarakan    pendapat    dan    memberikan    komentar,    serta menghafalkan, menyusun dan meneliti.

العاشر دوام الحرص على الازدياد بملازمة الجد والاجتهاد والمواظبة على وظائف الأوراد من العبادة والاشتغال والإشغال قراءة وإقراء ومطالعة وفكرًا وتعليقًا وحفظًا وتصنيفًا وبحثًا.

11.  Tidak gengsi atau malu untuk mengambil pengalaman dari orang yang posisinya lebih rendah, baik secara pangkat, nasab maupun usia.

أن لا يستنكف أن يستفيد ما لا يعلمه ممن هو دونه منصبًا أو نسبًا أو سنًا

12.  Sibuk untuk menyusun, mengumpulkan dan membuat buku dengan catatan ilmu yang dimiliki telah mumpuni dan terhitung sebagai pakar di bidang tersebut.

الثاني عشر الاشتغال بالتصنيف والجمع والتأليف لكن مع تمام الفضيلة وكمال الأهلية

 

H.    Etika Guru Ketika Mengajar

Etika guru dalam mengajar sebagai berikut:

1.      Jika  telah  berniatan  kuat  untuk  menghadiri  majelis  ilmu, maka  seorang  guru  hendaknya  membersihkan/mensucikan  diri  dari hadats dan kotoran, memakai wewangian, mengenakan pakaian terbaik yang etis dan sesuai dengan baju yang dikenakan orang-orang di saat itu dengan tujuan memuliakan ilmu dan menjunjung tinggi syariat.

الأول إذا عزم على مجلس التدريس تطهر من الحدث والخبث وتنظف وتطيب ولبس من أحسن ثيابه اللائقة به بين أهل زمانه قاصدًا بذلك تعظيم العلم وتبجيل الشريعة.

2.      Jika keluar dari rumah seorang guru hendaknya berdoa dengan do’a shahih dari  Nabi Saw: Ya Allah Ya Tuhan kami sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesesatan atau disesatkan, tergelincir atau digelincirkan, mendzalimi atau didzalimi, kebodohan atau atau dibodohi

الثانى  إذا خرج من بيته دعا بالدعاء الصحيح عن النبي - صلى الله عليه وسلم وهو عَنْ أُمِّ المُؤمِنِينَ أُمِّ سلَمَةَ رضي اللَّهُ عنها أن النبيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم كانَ إذَا خَرجَ مِنْ بيْتِهِ قالَ : « بسم اللَّهِ توكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ اللَّهُمَّ إِنِّي أعوذُ بِكَ أنْ أَضِلَّ أو أُضَلَّ أَوْ أَزِلَّ أوْ أُزلَّ  أوْ أظلِمَ أوْ أُظلَم  أوْ أَجْهَلَ أو يُجهَلَ عَلَيَّ » رواه أبو داود والتِّرمذيُّ.

3.      Duduk berbaur dengan seluruh hadirin dan memprioritaskan tempat duduk untuk orang yang lebih tua, lebih berilmu dan lebih mulia.

الثالث أن يجلس بارزًا لجميع الحاضرين ويوقر أفاضلهم بالعلم والسن والصلاح والشرف

4.      Ketika hendak memulai kegiatan belajar mengajar seorang guru hendaknya membacakan potongan ayat Al-Qur‟an sebagai bentuk tindakan ngalap berkah dan sebagaimana adat  yang ada juga serta berdoa untuk diri sendiri, para hadirin, dan juga seluruh muslimin.

الرابع  أن يقدم على الشروع في البحث والتدريس قراءة شيء من كتاب الله تعالى تبركًا وتيمنًا وكما هو العادة فإن كان ذلك في مدرسة شرط فيها ذلك اتبع الشرط ويدعو عقيب القراءة لنفسه وللحاضرين وسائر المسلمين.

5.      Ketika  mata  pelajaran  yang  dikaji  banyak,  maka  mata pelajaran yang paling mulia lebih didahulukan, disusul mata pelajaran lain yang paling penting. Seperti mendahulukan mata pelajaran Tafsir al-Qur‟an,  kemudian  hadits,  Ushuluddin,  Madzab,  Perbandingan Madzhab, Nahwu atau diskusi.

الخامس إذا تعددت الدروس قدم الأشرف فالأشرف والأهم فالأهم فيقدم تفسير القرآن ثم الحديث ثم أصول الدين ثم أصول الفقه ثم المذهب ثم الخلاف أو النحو أو الجدل

6.      Seorang guru hendaknya tidak mengencangkan suara secara berlebihan  sampai  di  luar  kebutuhan  dan  hendaknya  tidak  pula mempelankan suara yang berpengaruh pada kesempurnaan faidah.

السادس أن لا يرفع صوته زائدًا على قدر الحاجة ولا يخفضه خفضًا لا يحصل معه كمال الفائدة

7.      Seorang  guru  hendaknya  menjaga  majelisnya  agar  tidak gaduh,  karena  sesungguhnya  kesalahan  (pemahaman  oleh  murid) sering terjadi karena kegaduhan, menjaga majelisnya dari bersendau gurau, dan perdebatan yang tidak karuan.

السابع أن يصون مجلسه عن اللغط فإن الغلط تحت اللغط وعن رفع الأصوات واختلاف جهات البحث

8.      Seorang  guru  hendaknya  memperingatkan  siswa  yang bertindak  menyimpang  saat  pelajaran  atau  menunjukkan  gelagat negatif di dalam forum, beretika tidak baik atau tidak mau menerima kebenaran  dengan  lapang  dada  atau  kerap  berteriak  yang  tidak berguna.

الثامن أن يزجر من تعدى في بحثه أو ظهر منه لدد في بحثه أو سوء أدب أو ترك الإنصاف بعد ظهور الحق أو أكثر الصياح بغير فائدة أو أساء أدبه على غيره من الحاضرين أو الغائبين

9.      Seorang guru hendaknya menjaga objektifitas saat kajian dan presentasi serta menampung pertanyaan yang muncul pasca penyampaian materi.

التاسع أن يلازم الإنصاف في بحثه وخطابه ويسمع السؤال من مورده على وجه

10.  Menyambut baik orang asing yang turut menghadiri forum dan memberikan tempat yang layak karena orang tersebut masih gerogi karena belum mengenal orang-orang yang di dalam forum. Selain itu juga  tidak  telalu  banyak  mengamati  dan  mengarahkan  pandangan kepada orang tersebut karena merasa asing terhadapnya. Tindakan ini justru menyudutkan orang asing tersebut.

العاشرأن يتودد لغريب حضر عنده وينبسط له ليشرح صدره فإن للقادم دهشة ولا يكثر الالتفات والنظر إليه استغرابًا له فإن ذلك مخجله.

11.  Sesuai dengan kebiasaan guru mengatakan: “Allah lebih tahu” di akhir pelajaran. Mufti juga biasanya menuliskan kalimat tersebut di akhir fatwanya.

الحادى عشر جرت العادة أن يقول المدرس عند ختم كل درس: والله أعلم وكذلك يكتب المفتي بعد كتابة الجواب

12.  Tidak menghandle suatu pelajaran  jika bukan pakar di bidangnya  dan  tidak  seharusnya  juga  merefresh  materi  pelajaran padahal  tidak  mengetahuinya  baik  telah  dipesani  sebelumnya  atau tidak.  Karena  tindakan  tersebut  menujukkan  sikap  bermain -main dengan agama dan berpotensi menyesatkan orang.

الثاني عشر أن لا ينتصب للتدريس إذا لم يكن أهلاً له ولا يذكر الدرس مِنْ عِلْمٍ لا يعرفه سواء أشرطه الواقف أو لم يشرطه فإن ذلك لعب في الدين وازدراء بين الناس.

 

I.       Etika Guru kepada Muridnya

Etika Guru kepada muridnya, sebagai berikut:

1.      Seorang guru dalam mengajar dan mendidik murid-muridnya hendaknya benar-benar ikhlas karena Allah, murni menyebarkan ilmu pengetahuan, menghidupkan syariat, menegakkan kebenaran, mencegah kejahatan, dan senantiasa menjaga kemaslahatan umat.

الأول أن يقصد بتعليمهم وتهذيبهم وجه الله تعالى ونشر العلم وإحياء الشرع ودوام ظهور الحق وخمول الباطل ودوام خير الأمة

2.      Seorang guru hendaknya tidak mencegah atau pun menolak murid yang ingin menuntut ilmu kepadanya walaupun niatnya belum sungguh-sungguh. Karena sesungguhnya niat yang baik (bersungguh-sungguh,  ikhlas  karena  Allah)  diharapkan  dapat  terwujud  sebab keberkahan ilmu yang dipelajari dan diperolehnya.

الثاني أن لا يمتنع من تعليم الطالب لعدم خلوص نيته فإن حسن النية مرجو له ببركة العلم

3.      Seorang guru hendaknya mencintai ilmu, memotivasi muridnya untuk mencintai ilmu dan menggunakan waktunya untuk senantiasa belajar serta menuturkan kepada murid tentang segala sesuatu yang telah dijanjikan Allah kepada para ulama (mengangkat derajat para ulama).

الثالث أن يرغبه في العلم وطلبه في أكثر الأوقات بذكر ما أعد الله تعالى للعلماء من منازل الكرامات

4.      Seharusnya seorang guru mencintai muridnya sebagaimana ia   mencintai   dirinya   sendiri.   Seorang   guru   juga   hendaknya memperhatikan kemaslahatan murid sebagaimana ia memperhatikan anak  tercintanya  dengan  penuh  kasih  sayang,  kemurahan  hati,  dan senantiasa sabar atas perilaku buruknya.

الرابع أن يحب لطالبه ما يحب لنفسه وينبغي أن يعتني بمصالح الطالب ويعامله بما يعامل به أعز أولاده من الحنو والشفقة عليه والإحسان إليه والصبر على جَفَاءٍ

5.      Dalam  kegiatan  belajar  mengajar  hendaknya  seorang  guru menggunakan penyampaian yang sesederhana mungkin agar mudah untuk  dipahami  oleh  murid  dan  bersikap  lemah  lembut  dalam menyampaikan materi pelajaran.

الخامس أن يسمح له بسهولة الإلقاء في تعليمه وحسن التلطف في تفهيمه

6.      Hendaknya  seorang  guru  senantiasa  bersemangat  dalam mengajarkan ilmu dan memahamkan bagi murid. Seorang guru juga harus  memperhatikan  kemampuan  murid-muridnya  dengan  tidak memberikan beban yang melebihi kapasitas intelektualnya.

السادس  أن يحرص على تعليمه وتفهيمه ببذل جهده وتقريب المعنى له من غير إكثار لا يحتمله ذهنه

7.      Ketika seorang guru selesai menyampaikan materi pelajaran maka  hendaknya  memberikan  pertanyaan  kepada  muridnya  yang berkaitan  dengan  materi  yang  diajarkan  untuk  mengetahui  kadar kepahaman dan daya tangkap mereka terhadap materi tersebut.

السابع إذا فرغ الشيخ من شرح درس فلا بأس بطرح مسائل تتعلق به على الطلبة يمتحن بها فهمهم وضبطهم لما شرح لهم

8.      Hendaknya  seorang  guru  mengarahkan  murid-muridnya untuk menggunakan sebagian waktunya (waktu-waktu tertentu) untuk mengulang-ulang hafalannya dan menguji daya tangkapnya terhadap materi yang telah lalu terutama pada poin-poin (kaidah-kaidah ) yang dianggap penting.

الثامن أن يطالب الطلبة في بعض الأوقات بإعادة المحفوظات ويمتحن ضبطهم لما قدم لهم من القواعد المهمة

9.      Jika seorang guru mengetahui muridnya sedang berusaha keras  untuk  mencapai  sesuatu  di  luar  batas  kemampuannya  dan khawatir  akan  terjadi  hal  yang  buruk  kepadanya,  maka  hendaknya seorang guru menasihatinya dengan lemah lembut agar beristirahat dan mengurangi intensitas belajar untuk sementara waktu.

التاسع  إذا سلك الطالب في التحصيل فوق ما يقتضيه حاله أو تحمله طاقته وخاف الشيخ ضجره أوصاه بالرفق بنفسه  وكذلك إذا ظهر له منه نوع سآمة أو ضجر ومبادى ذلك أمره بالراحة وتخفيف الاشتغال ولا يشير على الطالب بتعليم ما لا يحتمله فهمه أو سنه ولا بكتاب يقصر ذهنه عن فهمه

10.  Hendaknya  seorang  guru  mengajarkan  tentang  kaidah-kaidah dalam cabang ilmu kepada muridnya . Baik kaidah yang mutlak seperti kaidah “mendahulukan pelaku utama daripada sebab” dalam masalah  dloman,  atau  kaidah  yang  bersifat  umum  seperti  kaidah “sumpah itu haknya muddaa alaih (yang diadukan) ketika tidak ada bukti (dari si pengadu)” kecuali dalam masalah qosamah dan masalah masalah pengecualian dalam kaidah.

العاشر أن يذكر للطلبة قواعد الفن التي لا تنخرم إما مطلقًا كتقديم المباشرة على السبب في الضمان أو غالبًا كاليمين على المدعى عليه إذا لم تكن بينة إلا في القسامة والمسائل المستثناة من القواعد

11.  Hendaknya  seorang  guru  tidak  mengunggulkan  atau mengistimewakan sebagian murid atas murid-murid yang lain dalam hal kemampuan maupun pemberian kasih sayang karena yang seperti itu terkadang dapat membuat iri hati dan menimbulkan kecemburuan di antara mereka.

الحادي عشر أن لا يظهر للطلبة تفضيل بعضهم على بعض عنده في مودة ربما يوحش منه الصدر وينفر القلب

12.  Seorang guru hendaknya senantiasa mengawasi etika/perilaku dan akhlak murid-muridnya baik itu secara dhohir maupun batin.

الثاني عشر أن يراقب أحوال الطلبة في آدابهم وأخلاقهم باطنًا وظاهرًا

13.  Hendaknya  seorang  guru  mementingkan  hal-hal  yang dapat  membuat  maslahah  bagi  para  murid  serta  menolong  mereka dengan jabatan dan kekayaan dengan catatan ia mampu melakukannya

الثالث عشر أن يسعى في مصالح الطلبة ومساعدتهم بما تيسر عليه من جاه ومال عند قدرته على ذلك

14.  Hendaknya seorang guru bersikap rendah hati kepada murid-muridnya dan terhadap setiap orang yang meminta arahan kepadanya. Menghargai hak-hak Allah dan hak orang-orang tersebut.

الرابع عشر أن يتواضع مع الطالب وكل مسترشد سائل إذا قام بما يجب عليه من حقوق الله تعالى وحقوقه [12]



[1] Fatah Yasin,  Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam,  Malang: UIN Malang Press, 2008, hal. 86

[2] Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 160-164

[3] Muhammad Dahan, Landasan dan Tujuan Pendidikan Menurut Al-Quran Serta Implementasinya. (Bandung: CV. Diponegoro, 1991) h.43

[4] Ibid.

[5]  Zakiah Daradjat, Ilmu pendidikan Islam , Jakarta: Bumi Aksara, 2011, hal. 39.

[6]  Ibid., hal. 35

[7] Hasyim AsyariAdabul Alim wal Mutaalim,  Jombang: Maktabah Turats Islami, tt, hal. 12

[8] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Semarang: Toha Putra, tth, Jilid I, hal. 14

[9] Hasyim Asyari, Adabul Alim wal Mutaalim,  hal. 15

[10] Abdurrahman an-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyyah wa Asalibuha fi al-Bayt wa al-Madrasah wa al-Mujtama;, Damaskus: Dar al-Fikir, 1979, hal. 154-155. Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 95-96.

[11] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin,hal. 55-58.

[12] Hasyim Asyari, Adabul Alim wal Mutaalim,  hal. 24-99

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KATA PENGANTAR BUKU ILMU PENDIDIKAN ISLAM

MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

MATERI PERKULIAHAN: TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM