LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
BAB 10
LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
A.
Pengertian Lembaga
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kosa kata lembaga
memiliki empat arti: 1). Asal mula (yang akan jadi sesuatu); benih (bakal
binatang, manusia dan tumbuhan; misalnya Adam, segumpal tanah yang dijadikan
manusia pertama); 2) Bentuk (rupa, wujud) yang asli, acuan; 3). Ikatan (tentang
mata cincin dan sebagainya); 4). Badan (organisasi) yang bermaksud melakukan
suatu penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha.[1]
Dalam tulisan ini, pengertian
lembaga yang dimaksud adalah badan atau organisasi, jika diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris adalah institution, dan
ke dalam bahasa Arab adalah muassasah. Dalam perkembangan selanjutnya, kata lembaga tidak
selamanya mengacu kepada pengertian sebuah badan atau organisasi yang bersifat
formal, melainkan segala bentuk kegiatan yang didalamnya mengandung nilai-nilai
atau aturan dapat disebut lembaga. Dengan demikian, perkawinan, zakat,
ketentuan waris dan jinayat, ketentuan hukuman bagi pelaku tindakan kriminal
misalnya, dapat disebut sebagai lembaga. Hal yang demikian terjadi, karena di
dalam setiap perbuatan tersebut terdapat berbagai ketentuan yang membentuk
sistem yang harus dipedomani.[2]
B.
Pengertian Lembaga Pendidikan Islam
Lembaga
pendidikan Islam adalah suatu bentuk organisasi yang diadakan untuk
mengembangkan lembaga-lembaga sosial, baik yang permanen maupun yang
berubah-ubah. Lembaga ini mempunyai pola-pola tertentu dalam memerankan
fungsinya, serta mempunyai struktur tersendiri yang dapat mengikat individu
yang berada dalam naungannya, sehingga lembaga ini mempunyai kekuatan hukum
tersendiri.[3]
C.
Prinsip-prinsip
Pembentukan
Lembaga
Pendidikan
Islam
1.
Prinsip
pembebasan manusia dari ancaman kesesatan yang menjerumuskan manusia pada api
neraka. Sebagaimana firman Allah Swt:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا
أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
Hai orang-orang
yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka (At-Tahrim:6)
2.
Prinsip pembinaan umat manusia menjadi hamba-hamba Allah
yang memiliki keselarasan dan keseimbangan hidup bahagia didunia dan akhirat,
sebagai realisasi cita-cita bagi orang yang beriman dan bertakwa, yang
senantiasa memanjatkan doa sehari-hari. Sebagaimana firman Allah Swt:
وَمِنْهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِي
الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Dan di antara
mereka ada orang yang berdo'a:"Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di
dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka". (Al-Baqarah : 201)
وَابْتَغِ
فِيمَآءَاتَاكَ اللهُ الدَّارَ اْلأَخِرَةَ ولاَتَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
وَأَحْسِن كَمَآأَحْسَنَ اللهُ إِلَيْكَ وَلاَتَبْغِ الْفَسَادَ فِي اْلأَرْضِ
إِنَّ اللهَ لاَيُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
Dan carilah
pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat,
dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (Al-Qashash :77)
3.
Prinsip pembentukan pribadi manusia yang memancarkan
sinar keimanan yang kaya dengan ilmu pengetahuan, yang satu sama lain saling
mengembangkan hidupnya untuk menghambakan diri pada khaliknya. Keyakinan dan
keimanannya sebagai penyuluh terhadap akal budi yang sekaligus mendasari ilmu
pengetahuannya, bukan sebaliknya, keimanan dikendalikan oleh akal budi. Allah Swt berfirman:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا
يَفْسَحِ اللهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انشُزُوا فَانشُزُوا يَرْفَعِ اللهُ
الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ
بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِير
Dan apabila dikatakan:"Berdirilah kamu, maka
berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.Dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Mujaadilah :11)
4.
Prinsip amar ma’ruf nahi munkar dan membebaskan manusia
dari belenggu-belenggu kenistaan. Sebagaimana firman Allah Swt:
وَلْتَكُن
مِّنكُمْ أُمَّة يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah
ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang
yang beruntung. (Al Imran :104)
كُنتُمْ
خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ
عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلَوْءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ
خَيْرًا لَّهُمْ مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرَهُمُ الْفَاسِقُونَ
Kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang
munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu
lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka
adalah orang-orang yang fasik. (Al Imran :110)
D.
Penyelenggara Lembaga Pendidikan Islam
Yang
berkewajiban menyelenggarakan lembaga pendidikan adalah: (1) rumah tangga,
yaitu pendidikan primer untuk fase bayi dan fase kanak-kanak sampai usia
sekolah. Pendidiknya adalah orang tua, sanak kerabat, famili, saudara-saudara,
teman sepermainan dan kenalan pergaulan; (2) sekolah, yaitu pendidikan yang
mendidik anak mulai dari usia sekolah sampai ia keluar dari sekolah tersebut.
Pendidiknya adalah guru profesional; (3) kesatuan sosial, yaitu pendidikan
tersier yang merupakan pendidikan yang terakhir tapi bersifat permanen.
Pendidiknya adalah kebudayaan, adat istiadat dan suasanan masyarakat setempat.[4] (4)
diri sendiri, Islam mengajarkan agar seorang muslim mencari ilmu secara
individual, karena ilmu merupakan syarat mutlak bagi kehidupan muslim sejati,
baik untuk kehidupan dunia maupun akhirat.[5]
Firman Allah Swt:
وَمَاكَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَآفَةً
فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِنهُمْ طَآئِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي
الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ
يَحْذَرُونَ
Tidak sepatutnya bagi orang-orang
yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari
tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya. (Al-Taubah:122)
Rasulullah Saw juga bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ
فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَإِنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ يَسْتَغْفِرُ لَهُ
كُلُّ شَئٍ حَتَى الْحِيْتَانُ فِيْ الْبَحْرِ
Mencari ilmu
itu Fardlu atas setiap Muslim, dan bahwasanya pencari ilmu itu dimohonkan
ampunan Allah untuknya oleh segala sesuatu, sampai ikat di lautan (HR. Ibnu
Abdul Bar)
E.
Macam-macam Lembaga pendidikan Islam
Macam-macam
lembaga pendidikan Islam antara lain; rumah, masjid, pondok pesantren, madrasah,
kuttab, al-hawanit al-warraqin, al-shalunat al-adabiyah, zawiyah, ribath
dan khanaqah. Penjelasnnya sebagai berikut:
1.
Rumah
Dalam bahasa
Indonesia, rumah diartikan sebagai bangunan tempat tinggal. Dalam bahasa Arab
kata rumah terjemahan dari kata bata, yabitu, baytan, yang artinya
bermalam atau menginap. Kemudian diartikan pula sebagai rumah tinggal dan
tempat diam.
Rumah (al-Bait) adalah salah
satu bangunan yang dijadikan tempat tinggal selama jangka waktu tertentu. Dalam
arti khusus, rumah mengacu pada konsep-konsep sosial-kemasyarakatan yang
terjalin di dalam bangunan tempat tinggal, seperti keluarga, hidup, makan,
tidur, beraktivitas, dan lain-lain
Di dalam
al-Qur’an, kata rumah tidak kurang disebut sebanyak tujuh puluh kali.
Diantaranya ada yang berhubungan dengan rumah Allah (Baitullah) di
Mekkah yang selanjutnya menjadi tempat pelaksanaan ibadah haji dan arah kiblat
dalam shalat. Sebagimana firman Allah Swt:
وَإِذْجَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِّلنَّاسِ
وَأَمْنًا وَاتَّخِذُوا مِن مَّقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى وَعَهِدْنَآ إِلىَ
إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَن طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ
وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
Dan (ingatlah), ketika Kami
menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang
aman. Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami
perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail:"Bersihkanlah rumah-ku untuk orang-orang
yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku', dan yang sujud. (Al-Baqarah : 125)
Ada yang
dihubungkan dengan keluarga Nabi Muhammad Saw (Ahl al-bayt), sebagaimana firman
Allah Swt:
قَالُوا أَتَعْجَبِينَ مِنْ أَمْرِ اللهِ
رَحْمَتُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ إِنَّهُ حَمِيدٌ
مَّجِيدٌ
Para malaikat itu berkata;
"Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah (Itu adalah) rahmat
Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya
Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah (Hud : 73)
Ada yang
dihubungkan dengan rumah laba-laba (bait al-ankabut) yang unik, sebagaimana
firman Allah Swt:
مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِ اللهِ
أَوْلِيَآءَ كَمَثَلِ الْعَنكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا وَإِنَّ أَوْهَنَ
الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنكَبُوتِ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
Perumpamaan orang-orang yang
mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang
membuat rumah.Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba
kalau mereka mengetahui. (Al-Ankabut : 41)
Ada yang
dihubungkan dengan rumah tempat kediaman Rasulullah Saw (bait al-nabi) yang
tidak boleh masuk ke dalamnya kecuali setelah mendapatkan izin, sebagaimana
firman Allah Swt:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَدْخُلُوا
بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلآَّ أَن يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ
إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانتَشِرُوا
وَلاَمُسْتَئْنِسِينَ لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ
فَيَسْتَحْيِ مِنكُمْ وَاللهُ لاَيَسْتَحْيِ مِنَ الْحَقِّ وَإِذَا
سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَسْئَلُوهُنَّ مِن وَرَآءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ
لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ وَمَاكَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللهِ
وَلآَأَن تَنكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِن بَعْدِهِ أَبَدًا إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِندَ
اللهِ عَظِيمًا
Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu
diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya),
tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah
kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan
mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu ke luar), dan
Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila
kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka
mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan
hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula)
mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya
perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah. (Al-Ahzab : 53)
Ada yang
dihubungkan dengan rumah masyarakat pada umumnya yang tidak boleh dimasuki
sebelum meminta izin kepada pemiliknya. Sebagaimana firman Allah Swt:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَدْخُلُوا
بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا
ذَلِكُمْ خَيْر لَّكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan
rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.Yang demikian
itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. (An-Nur : 27).[6]
Adapun rumah
yang pertama kali digunakan sebagai tempat belajar yaitu rumah al-Arqam. Di
tempat itulah untuk pertama kali kaum muslim beserta Rasulullah Saw berkumpul
untuk belajar hukum-hukum dari dasar-dasar agama Islam.
Fungsi Rumah
Sebagai Tempat Pendidikan
Pertama, dari segi pendidikan nonformal, yakni pendidikan yang
dilakukan di rumah yang bentuk materi pengajaran, guru, metode pengajaran dan
lainnya tidak dibakukan secara formal. Pendidikan nonformal yang dilakukan di
rumah ini misalnya pendidikan yang berkaitan dengan penanaman akidah, bimbingan
membaca dan menghafal al-Qur’an, praktik beribadah, dan praktik akhlak mulia.
Kedua, dari segi pendidikan informal, yakni pendidikan yang
dilakukan oleh kedua orangtua terhadap putra-putrinya. Pendidikan di rumah ini
ditekankan pada pembinaan watak, karakter, kepribadian, dan keterampilan
mengerjakan pekerjaan atau tugas keseharian yang biasa terjadi di rumah tangga.
Bagi anak laki-laki misalnya dibiasakan mengerjakan tugas-tugas umum yang
umumnya dilakukan anak laki-laki, seperti memotong rumput, menanam pohon,
bertani, mengembala ternak, memperbaiki rumah, dan sebagainya. Bagi anak
perempuan dibiasakan mengerjakan tugas membersihkan dan merapikan kamar tidur,
memasak dan menyediakan makanan, menjahit, merangkai bunga, dan sebagainya.
Dalam keadaan tertentu pekerjaan anak laki-laki dan perempuan bisa saja bekerja
bersama-sama. Pendidikan watak, karakter, kepribadian dan keterampilan tersebut
dilakukan melalui pemberian contoh, pembiasaan, melakukan sesuatu, bimbingan
dan nasihat. Sehingga diharapkan dapat mengakrabkan keluarga, menumbuhkan rasa
percata diri, kemandirian dan tidak bergantung kepada orang lain.
Kewajiban Orang Tua pada Anak-anaknya
a.
Mendoakan anak anaknya dengan doa
yang baik dan jangan sekali-kali mengutuk anaknya dengan kutukan yang tidak
manusiawi.
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا
مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ
إِمَامًا
Dan orang-orang
yang berkata:"Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami
dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi
orang-orang yang bertaqwa. (Al-Furqan : 74)
b.
Memelihara anak dari api neraka .
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا
أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
Hai orang-orang
yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka (At-Tahrim : 6)
c.
Menyerukan shalat pada anaknya.
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاَةِ وَاصْطَبِرْ
عَلَيْهَا لاَنَسْئَلُكَ رِزْقًا نَّحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى
Dan perintahkanlah kepada keluargamu
mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta
rizki kepadamu, Kamilah yang memberi rizki kepadamu. Dan akibat(yang baik) itu
adalah bagi orang yang bertaqwa. (Thaha : 132)
d.
Menciptakan kedamaian dalam rumah
tangga
وَإِنِ
امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلاَجُنَاحَ
عَلَيْهِمَآ أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْر وَأُحْضِرَتِ
اْلأَنفُسُ الشُّحَّ وَإِن تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللهَ كَانَ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Dan jika
seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka
tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan
perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya
kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu
(dari nusyuz dan sikatak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan. (An-Nisa : 128)
e.
Mencintai dan menyayangi anak-anaknya
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ
كُلَّ شَيْءٍ
Dan rahmatku meliputi sagala sesuatu (Al-A’raf : 156). Sifat rahmat dalam agama kita cakupannya meliputi dunia
dan akhirat, manusia, hewan, bangsa burung dan lingkungan.
f.
Bersikap hati-hati terhadap
anak-anaknya
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلاَدِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ
وَإِن تَعْفُوا وَتُصْفِحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُور رَّحِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di
antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka
berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak
memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. (At-Taghabun : 14)
g.
Mencari nafkah yang halal
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ
وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Dan kewajiban ayah memberi makan dan
pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf. (Al-Baqarah:233)
h.
Mendidik anak agar berbakti pada
bapak-ibu
وَقَضَى
رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلآ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا
يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَا
أُفٍّ وَلاَتَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا
Dan Rabbmu telah memerintahkan
supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada
ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau
kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia. (Al-Isra :23)
dengan cara mendoakannya yang baik.
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ
الرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan
ucapkanlah:"Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua telah mendidik aku waktu kecil". (Al-Isra : 24)
i.
Memberi air susu sampai dua tahun.
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ
حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan pernyusuan (Al-Baqarah: 233)[7]
Sebagai pendidik anak-anaknya, ayah dan ibu mempunyai
kewajiban dan memiliki bentuk yang berbeda karena keduanya berbeda kodrat. Ayah
berkewajiban mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan keluarganya melalui
pemanfaatan karunia Allah Swt di muka bumi
فَإِذَا
قُضِيَتِ الصَّلاَةُ فَانْتَشِرُوا فِي اْلأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللهِ
وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Apabila telah ditunaikan shalat,
maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah
Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Al-Jumu’ah : 10)
dan selanjutnya di nafkahkan pada anak dan istrinya
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ
بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami,
mempunyai saru tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana. (Al-Baqarah : 228)
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ
وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Dan kewajiban ayah memberi makan dan
pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf. (Al-Baqarah : 233)
Kewajiban ibu adalah menjaga, memelihara, dan mengelola
keluarga di rumah suaminya, terlebih lagi mendidik dan merawat anaknya. Dalam
sabda Nabi Muhammad Saw:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ. فَالإمَامُ رَاعٍ
وَهُوَ مَسْئُولٌ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ
وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَهِيَ مَسْئُولَةٌ وَالْعَبْدُ
رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ. أَلاَ
فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ
Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan
dimintai pertanggungjawabannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai
pertanggungjawabannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan
ia akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang wanita adalah pemimpin atas
rumah suaminya, dan ia pun akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang budak
juga pemimpin atas harta tuannya dan ia juga akan dimintai
pertanggungjawabannya. Sungguh setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian
akan dimintai pertanggungjawabannya (HR. Bukhari). Hal itu berimplikasi pada pola dan sistem pendidikan
laki-laki dan pendidikan wanita.[8]
2. Masjid
Secara harfiah,
masjid adalah tempat untuk bersujud. Namun, dalam arti terminologi, masjid
diartikan sebagai tempat khusus untuk melakukan aktivitas ibadah dalam arti
yang luas. Dewasa ini, fungsi masjid mulai menyempit, tidak sebagaimana zaman
Nabi Muhammad Saw. Hal itu terjadi karena lembaga-lembaga sosial keagamaan
semakin memadat, sehingga masjid terkesan sebagai tempat ibadah shalat saja.
Pada mulanya, masjid merupakan sentral kebudayaan masyarakat Islam, pusat
organisasi kemasyarakatan, pusat pendidikan serta tempat ibadah dan i’tikaf.[9]
Di dalam
al-Qur’an, kosakata masjid disebut sebanyak delapan belas kali dan dihubungkan dengan
berbagai hal dan kegiatan. Diantaranya ada kosakata masjid yang dihubungkan
dengan masjidil haram sebanyak 14 kali (lihat al-Baqarah: 144, 149, 150, 191,
196, 217; al-Maidah: 2; al-Anfal; al-Taubah: 7, 19, 28; al-Isra: 1, al-Hajj: 25, salah satunya dalam surat al-Fath, Allah berfirman:
هُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ وَصَدُّوكُمۡ عَنِ
ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ وَٱلۡهَدۡيَ مَعۡكُوفًا أَن يَبۡلُغَ مَحِلَّهُۥۚ
وَلَوۡلَا رِجَالٞ مُّؤۡمِنُونَ وَنِسَآءٞ مُّؤۡمِنَٰتٞ لَّمۡ تَعۡلَمُوهُمۡ أَن
تَطَُٔوهُمۡ فَتُصِيبَكُم مِّنۡهُم مَّعَرَّةُۢ بِغَيۡرِ عِلۡمٖۖ لِّيُدۡخِلَ
ٱللَّهُ فِي رَحۡمَتِهِۦ مَن يَشَآءُۚ لَوۡ تَزَيَّلُواْ لَعَذَّبۡنَا ٱلَّذِينَ
كَفَرُواْ مِنۡهُمۡ عَذَابًا أَلِيمًا
Merekalah orang-orang yang kafir
yang menghalangi kamu dari (masuk) Masjidil Haram dan menghalangi hewan korban
sampai ke tempat (penyembelihan)nya. Dan kalau tidaklah karena laki-laki yang
mukmin dan perempuan-perempuan yang mukmin yang tiada kamu ketahui, bahwa kamu
akan membunuh mereka yang menyebabkan kamu ditimpa kesusahan tanpa
pengetahuanmu (tentulah Allah tidak akan menahan tanganmu dari membinasakan
mereka). Supaya Allah memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam
rahmat-Nya. Sekiranya mereka tidak bercampur-baur, tentulah Kami akan mengazab
orang-orang yag kafir di antara mereka dengan azab yang pedih (al-Fath: 25)
dan ada pula
kosa kata masjid yang dihubungkan sebagai tempat melaksanakan shalat
يَٰبَنِيٓ ءَادَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمۡ عِندَ
كُلِّ مَسۡجِدٖ وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ وَلَا تُسۡرِفُوٓاْۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ
ٱلۡمُسۡرِفِينَ
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu
yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan (al-A’raf: 31). Ada yang dihubungkan dengan masjid yang pertama
kali dibangun oleh Nabi Muhammad Saw di Madinah, sebagaimana firman Allah Saw.
لاَتَقُمْ فِيهِ أَبَدًا لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ
عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ
يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا وَاللهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ
Janganlah kamu shalat dalam mesjid
itu selama-lamanya. Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid
Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di
dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai
orang-orang yang bersih. (al-Taubah : 108)
Masjid Semenjak berdirinya di zaman
Nabi Saw, masjid telah menjadi pusat kegiatan dan informasi berbagai masalah
kaum muslimin, baik yang menyangkut pendidikan maupun sosial ekonomi. Namun,
yang lebih penting adalah sebagai lembaga pendidikan. Perkembangan masjid
sangat signifikan dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat, terlebih lagi
pada saat masyarakat Islam mengalami kemajuan,
urgensi masyarakat terhadap
masjid menjadi semakin kompleks, hal ini menyebabkan karakteristik masjid
berkembang menjadi dua bentuk yaitu masjid sebagai tempat sholat jum’at atau
jami dan masjid biasa. Kurikulum pendidikan dimasjid biasanya merupakan tumpuan
pemerintah untuk memperoleh pejabat-penjabat pemerintah, seperti qodhi,
khotib dan imam masjid.
Masjid juga berperan dalam
pendidikan Islam, masjid pada masa Rasulullah Saw. dijadikan tempat untuk memberi
pelajaran, di antara siswa yang menjadi siswa di Masjid Nabi adalah Ali bin Abi
Talib dan Abdullah bin Abbas, di dalam masjid dipelajari kaidah-kaidah hukum
agama.
Struktur pengajian di Masjid Nabi
lebih merupakan bentuk nonformal, walau bagaimanapun struktur pengajian yang
lebih sistemik dan formal dapat diadakan apabila sebuah surau didirikan
bersambungan dengan masjid tersebut lalu diberi nama al-Suffah. Oleh
karena struktur pengajian di sini lebih sistemik dan formal, di masjid juga
diberikan pengajaran tentang kesehatan
dan obat- obatan (medicine).
Pada masa pemerintahan Umar bin
Khattab, negeri Parsi, Syam, Mesir dan seluruh semenanjung tanah Arab
ditaklukkan, Khalifah Umar bin Khattab telah memerintahkan para gubernurnya
untuk mendirikan masjid-masjid di semua negeri dan kota-kota yang telah dikuasai
oleh pemerintah Islam, pada abad ketiga hijrah, kota Baghdad sudah penuh dengan
masjid, demikian pula kota Mesir, atas perintah khalifah, masjid yang pertama
kali dibangun adalah masjid Amru bin Ash. Di masjid ini diberikan
pelajaran-pelajaran agama dan akhlak dan secara berangsur-angsur pula
pelajaran-pelajaran di masjid ini semakin meningkat.
Pada masa khalifah Umar bin Khattab
juga ada instruksi kepada penduduk kota supaya diajarkan kepada anak-anak
mereka tentang berenang, mengendarai kuda, memanah, dan membaca serta menghafal
syair-syair mudah dan peribahasa, Instruksi Umar itu dilaksanakan oleh
guru-guru di tempat-tempat yang dapat dilaksanakan. Misalnya berenang dapat
dilaksanakan di kota-kota yang mempunyai sungai seperti di Irak, Syam, Mesir
dan lain-lain.
Pada masa Abbasyiah, sekolah-sekolah
terdiri dari beberapa tingkat:
1)
Tingkat
sekolah rendah, yaitu kuttab untuk tempat belajar anak-anak. Di samping kuttab
ada pula anak-anak belajar di rumah, di istana, di toko-toko dan di pinggir
pasar.
2)
Tingkat
sekolah menengah, yaitu di masjid dan di majelis sastra dan ilmu pengetahuan,
sebagai sambungan dari kuttab.
3)
Tingkat
perguruan tinggi, seperti Baitul Hikmah di Bagdad, dan Darul Ilmi di Mesir, di
masjid-masjid dan lain-lain.
Masjid dalam sejarah Islam
sebenarnya merupakan madrasah pertama setelah Dar al-Arqam bin al-Arqam. Di
dalam masjid itulah terkumpul berbagai macam persoalan pokok kaum muslimin
sejak mulai masalah politik, agama, kebudayaan hingga kemasyarakatan. Masjid Bashrah
dan Kuffah, keduanya memegang peranan besar dalam pembinaan kesustraan, ilmu
pengetahuan, bahasa dan agama pada periode awal perkembangan Islam. Masjid
Kairo senantiasa membina para pelajar Universitas al-Azhar dengan menggunakan
gaya dan metode pendidikan yang menggunakan masjid sebagai basis utamanya.
Setiap guru besar atau Syeikh Kabir mengambil tempat di sudut masjid, ia duduk
di sana, dikelilingi oleh para pelajar dan muridnya. Masjid juga digunakan
sebagai tempat bagi para ahli kisah untuk bercerita kepada orang banyak tentang
kisah-kisah yang mengandung ibarat dan yang bergaya hiburan.[10]
Fungsi Utama Masjid
a.
Sebagai lembaga pendidikan informan
dan nonformal. Fungsi masjid sebagai lembaga pendidikan informal dapat dilihat
dari perannya sebagai tempat ibadah shalat lima waktu, berzikir dan berdoa.
Pada semua kegiatan tersebut terdapat nilai-nilai pendidikan mental spiritual
yang amat dalam. Adapun peran masjid sebagai lembaga pendidikan non formal
dapat dilihat dari sejumlah kegiatan pendidikan dan pengajaran dalam bentuk
halaqah yang dipimpin oleh seorang ulama dengan materi utamanya tentang ilmu
agama Islam dengan berbagai cabangnya. Kegiatan tersebut berlangsung mengalir
sedemikian rupa tanpa aturan formal yang tertulis dan mengikat secara kaku.
b.
Fungsi masjid sebagai lembaga
pendidikan sosial kemasyarakatan dan kepemimpinan. Hal-hal yang berkaitan
dengan kepentingan masyarakat dapat dipelajari di masjid dengan cara melibatkan
diri dalam berbagai kegiatan yang bersifat amaliah, seperti al-Suffah. [11]
Fungsi masjid dapat lebih efektif
bila di dalamnya disediakan fasilitas-fasilitas terjadinya proses belajar
mengajar seperti: a) perpustakaan, yang menyiapkan berbagai buku bacaan dengan
berbagai disiplin keilmuan. b) ruang diskusi atau rapat, c) ruang kuliah, baik digunakan untuk
training (tadrib) remaja masjid atau juga untuk madrasah Diniyah, d) teknik khotbah dapat diubah dengan
teknik komunikasi transaksi, yakni antara khatib dengan para audien terjadi
dialog aktif satu sama lain. Mengenai teknik ini Rasulullah Saw pernah melakukannya: Dari Abu Rifa'ah katanya
: ‘Saya sampaikan kepada Rasulullah Saw dan beliau sedang berkhotbah’, saya
berkata, ‘wahai Rasulullah ada seorang musafir (Abu Rifa'ah sendiri) yang baru
tiba, ingin bertanya pada tuan tentang agama, dan dia tak mengetahui apa agamanya’,
kata Abu Rifa'ah. Maka datanglah Rasulullah kepada sayang dengan memutuskan
khotbahnya dan beliau diberi sebuah kursi yang menurut ingatan saya kakinya
dari besi’ katanya Abu Rifa’ah pula, ‘maka
Rasulullah Saw duduk di atas kursi itu dan mulailah beliau mengajari
saya tentang agama dan kemudian beliau kembali lagi untuk meneruskan khotbahnya
sampai selesai’ (HR. Muslim dari Abu Rifa’ah).[12]
3.
Pondok Pesantren
Kehadiran kerajaan bani Umaiyah menjadikan pesatnya ilmu
pengetahuan, sehingga anak-anak masyarakat Islam tidak hanya belajar di masjid
tetapi juga pada lembaga-lembaga yang ketiga, yaitu kuttab. Kuttab dengan
karakteristik khasnya merupakan wahana dan lembaga pendidikan Islam yang semula
sebagai lembaca baca dan tulis dengan system halaqah. Pada tahap berikutnya
kuttab mengalami perkembangan pesat karena didukung oleh dana dari iuran
masyarakat serta adanya peraturan yang harus dipatuhi oleh guru dan murid. Di Indonesia, istilah kuttab lebih dikenal
dengan istilah pondok pesantren yang memiliki ciri adalah adanya kyai, santri, masjid dan
pondok.[13]
Sistem
yang ditampilkan dalam pondok pesantren mempunyai keunikan dibandingkan dengan
sistem yang diterapkan dalam lembaga pendidikan pada umumnya, yaitu:
a.
Memakai sistem tradisional, yang memiliki
kebebasan penuh dibandingkan dengan sekolah modern, sehingga terjadi hubungan
dua arah antara kyai dan santri.
b.
Kehidupan di pesantren menampakkan semangat
demokrasi, karena mereka praktis bekerja sama mengatasi problem mereka sendiri.
c.
Sistem pondok pesantren mengutamakan
kesederhanaan, idealisme, persaudaraan, persamaan, rasa percaya diri dan
keberanian hidup.[14]
d.
Lembaga pendidikan pesantren merupakan pusat
pertemuan antara ulama dan umat, antara ilmuwan dan masyarakat awam, antara
individu dan masyarakat, antara pemimpin dan rakyat dan antara klien dan
konsultan, dan sebagainya.
e.
Pesantren merupakan agen pendalaman,
pengembangan, pemurnian nilai adab dan budaya, serta pusat pelaksanaan proses
akulturasi yang menggunakan pola dan sistem tersendiri. [15]
Sebagai
lembaga yang tertua, sejarah perkembangan pondok pesantren memiliki model-model
pembelajaran antara lain:
a. Metode wetonan
(halaqah). Metode yang di dalamnya terdapat seorang kyai yang membaca
suatu kitab dalam waktu tertentu, sedangkan santrinya membaca kitab yang sama
lalu santri mendengar dan menyimak bacaan kyai. Metode ini dapat dikatakan
sebagai proses belajar mengajar secara kolektif.
b. Metode sorogan.
Metode yang santrinya men-sorog-kan atau mengajukan sebuah kitab kepada kyai
untuk dibaca dihadapannya, kesalahan dalam bacaannya itu langsung dibenahi
kyai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengajar individual. [16]
Ciri-ciri
khusus pondok pesantren adalah isi kurikulum yang dibuat terfokus pada
ilmu-ilmu agama, misalnya tafsir al-Qur’an, hadits, fiqh, tasawuf, tarikh,
retorika dan lain-lain. Literatur ilmu-ilmu tersebut memakai kitab-kitab klasik
yang disebut dengan istilah kitab kuning dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a.
Kitab-kitabnya berbahasa Arab
b.
Umumnya tidak memakai syakal/ harakat
c.
Berisi keilmuan yang cukup berbobot
d.
Banyak diantara kertanya berwana kuning
e.
Lazimnya dikaji dan dipelajari di pondok
pesantren.[17]
Pada
tahap selanjutnya, pondok pesantren mulai menampakkan eksistensinya sebagai
lembaga pendidikan Islam yang mumpuni, yaitu di dalamnya didirikan sekolah.
Akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru
dalam rangka inovasi terhadap sistem yang selama ini digunakan, yaitu:
a.
Mulai akrab dengan metodologi modern
b.
Semakin terbuka pada pendidikan yang
fungsional, artinya terbuka atas perkembangan di luar dirinya
c.
Diversifikasi program dan kegiatan makin
terbuka dan ketergantungannya dengan kyai tidak absolut, dan sekaligus dapat
membekali para santri dengan berbagai pengetahuan di luar mata pelajaran agama
maupun keterampilan yang diperlukan di lapangan kerja
d.
Dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan
masyarakat.
Pondok
pesantren kini mengalami transformasi kultur, sistem dan nilai. Transformasi
tersebut sebagai jawaban atas kritik-kritik yang diberikan pada pesantren dalam
arus transformasi ini, sehingga dalam sistem dan kultur pesantren terjadi
perubahan yang drastic, misalnya:
a.
Perubahan sistem pengajaran dari perseorangan
atau sorogan menjadi sistem klasikal yang kemudia kita kenal dengan istilah
madrasah (sekolah).
b.
Pemberian pengetahuan umum di samping masih
mempertahankan pengetahuan agama dan bahasa Arab
c.
Bertambahnya komponen pendidikan pondok
pesantren, misalnya keterampilan, kepramukaan, kesehatan, olah raga serta
kesenian.
d.
Lulusan pondok pesantren diberikan syahadah
(ijazah) sebagai tanda tamat dari pesantren dan ada sebagian syahadah yang
nilainya sama dengan ijazah negeri.[18]
4.
Madrasah
Dalam catatan
sejarah peradaban Islam diketahui bahwa Islam (di timur tengah) pada akhir abad
VIII, ketika Harun Al-Rasyid memerintah di baghdad tahun 789-809 M. Islam telah
menikmati suatu peradaban budaya yang jauh lebih tinggi dengan eropa barat. Ini bertahan selama lima ratus tahun dari abad VIII sampai abad
XIII, dengan ilmu pengetahuan, seni, dan pemikiran terbukti telah memengaruhi
kebudayaan dunia. Salah satu kemajuan yang patut di banggakan adalah adanya
pendirian madrasah sebagai institusi pendidikan Islam yang memiliki kontribusi
besar dalam melahirkan atau memberikan bekal kepada kaum cendekiawan,
terpelajar, negarawan, dan adminstrator.
Kajian tentang madrasah selama ini
masih berkutat pada aspek madrasah sebagai institusi pendidikan Islam dilihat
dari aspek historis, namun kajian yang di kaitkan dengan aspek sosial bisa
dikatakan masih kurang. Padahal eksistensi madrasah baik pada abad klasik
sampai abad ini tidak jauh berbeda. Dinamika madrasah yang tumbuh dan berakar
dari kultur masyarakat setempat tidak akan luput dari dinamika sdan peradaban
masyarakat.[19]
Madrasah merupakan isim makan
dari darasa yang berarti tempat untuk belajar. Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam muncul
dari penduduk Nisapur,[20]
tetapi tersiarnya melalui menteri saljuqi yang bernama Nizam al-Mulk yang
mendirikan madrasah Nizamiyah (tahun 1065 M). selanjutnya Gibb dan kramers
menuturkan bahwa pendiri madrasah terbesar setelah Nizam al-Mulkum adalah
Shalah al-Din al-Ayyubi.[21]
Ada juga faktor yang melatar
belakangi lembaga pendidikan Islam yang ada di indonesia, sekitar permulaan
abad ke-20, dan secara garis besar di kelompokkan kepada dua hal yaitu: keadaan
bangsa indonesia dan faktor kondisi luar negeri.
a. Keadaan bangsa indonesia
1)
Segi
ajaran Islam
Islam masuk ke indonesia sekitar abad 7-8 M. Kondisi ummat dan
ajaran Islam yang ada di indonesia berbeda dengan negara-negara Islam lainya.
Sebelum Islam datang, di Indonesia sudah terbentuk pola-pola kebudayaan
non-muslim, terutama hindu dan budha, termasuk animisme dan dinamisme. Jadi
Islam masuk ke nusantara tidak dalam kondisi vakum kultural atau vakum
peradaban.
2)
Aktifitas
lembaga pendidikan Islam
Tidak bisa di pungkiri bahwa sistem pendidikan dan pengajaran Islam
pada masa lalu, terutama pesantren yang bersifat tradisional masih terdapat
banyak kelemahan, terutama menyangkut sistem yang terdapat di dalamnya.
Pada awal ke-20, sistem pendidikan
model madrasah bermunculan, sebagaimana halnya pesantren. Kemunculan madrasah
ini minimal dapat di lihat dari dua sisi. Pertama, ia sebagai salah satu bentuk
pengembangan yang berasal dari pesantren. Kedua madrasah lahir dari luar pesantren,
seperti organisasi sosial keagaman atau organisasi sosial politik. Dalam
konteks ini kelahiran madrasah bukan merupakan kelanjutan dari sistem pesantren,
melainkan sistem pendidikan yang berdiri sendiri.
Diantara madrasah yang bermunculan
saat itu madarsah Adabiyah merupakan madrasah pertama kali didirikan di
Indonesia tahun 1909. Pada tahun 1910, berdiri madrasah Muhammadiyah, yang
kemudian berubah menjadi madrasah Mu’allimim Muhammadiyah yang berdiri di
Yogyakarta tahun 1911 yang di pelopori oleh KH. Ahmad Dahlan. Dari pesantren
Tebu Ireng berdiri madrasah Salafiyah tahun 1916.[22]
b.
Faktor
kondisi luar negeri
Keberadaan dunia Islam terutama abad
ke-19 sebagian besar berada di bawah kekuasaan penjajahan barat, menghadapi
keadaan demikian, nampaknya ummat Islam terbagi dalam tiga kelompok dengan
sikap yang berbeda pula,
1)
Mereka
yang menutup diri dan pengaruh modernisasi barat.
2)
Mereka
yang membuka diri terhadap modernisasi barat.
3)
Mereka
yang membuka modernisasi barat dengan penuh selektif.
Ketiga bentuk pembaharuan merambat masuk kedalam dunia pendidikan
Islam. Akhirnya lahirlah pola-pola pembaharuan pendidikan Islam, yaitu sebagai
berikut:
a.
Pola
yang berorientasi pada pendidikan modern di eropa
Pola ini di
upayakan untuk mengambil alih segala bentuk perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang ada di barat. Hal ini di lakukan, karena menurut golongan ini, kemajuan
dunia barat sekarang di sebabkan mereka mewarisi kemajuan yang pernah di miliki
oleh ummat Islam dimasa jayanya. Maka dari itu tidaklah salah apabila kita juga
bersikap sebagai mana orang barat dulu bersikap tehadap kemajuan dunia Islam.
b.
Pola
yang berorientasi pada pemurnian kembali ajaran Islam
Ummat harus
kembali pada ajaran yang asli yang bersumberkan pada al-Qur’an dan hadist tanpa
di tambah ataupun di kurangi. Yang menjadi ciri khas gerakan ini adalah tajdid
terletak pada kemampuan akal maka pengetahuan modern yang lebih menyadarkan
pada akal harus di pelajari di samping pengetahuan tradisional. Sebagai tema
sentral adalah menolak taklid.
c.
Pola
yang berorientasi pada nasionalisme dan kekayaan budaya bangsa masing-masing
Adanya pemahaman bahwa ajaran Islam
dapat diterapkan sesuai dengan kondisi, waktu, dan tempat, melahirkan pemikiran
untuk berupaya memperbaiki ummat Islam dengan memerhatikan kondisi objektif
ummat Islam itu tempat ia berada.
Dengan demikian, kita ketahui bahwa
permulaan abad ke-20, merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan madrasah
hampir di seluruh indonesia, dengan nama dan tingkatan yang bervariasi. Namun
madrasah-madrasah tersebut pada awal perkembangannya, masih bersifat diniyah
semata-mata. Dalam memantapkan keberadaanya dilakukanlah pembaharuan terhadap
madrasah, khususnya dengan penambahan pengetahuan umum.
Usaha ke arah penyatuan dan
penyeragaman sistem tersebut baru di rintis sekitar tahun 1950 setelah
indonesia merdeka. Pada perkembanganya, madrasah terbagi dalam jenjang-jenjang
pendidikan, madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah, dan madrasah aliyah.
Dengan keterangan tersebut dapat di
pahami bahwa madrasah tersebut adalah penekananya sebagai suatu lembaga yang
mengajarkan ilmu-ilmu ke-Islaman. Perkataan madrasah di tanah arab ditujukan
untuk semua sekolah secara umum, akan tetapi di indonesia di tujukan buat
sekolah-sekolah yang mempelajari ajaran-ajaran Islam. Madrasah pada prinsipnya
adalah kelanjutan dari sistem pesantren.[23]
Tumbuh dan berkembangnya madrasah di
Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan tumbuh dan berkembangnya ide-ide
pembaruan dikalangan umat Islam. Di permulaan abad ke-20 timbul beberapa
perubahan bagi umat Islam indonesia.
Diantara ulama yang berjasa dalam
menggagas timbulnya madrasah di Indonesia antara lain Syekh Abdullah Ahmad,
pendiri madrasah Adabiyah di padang pada tahun 1909. Pada tahun 1915 madrasah
ini menjadi HITS Adabiyah yang tetap mengajarkan agama.[24]
Madrasah di Indonesia masih bisa di anggap sebagai perkembangan lanjut atau
pembaharuan dari lembaga pendidikan pesantren dan surau. Menarik untuk di catat
bahwa di ukur dari ketentuan-ketentuan fisik pada abad 11-12 M struktur
pesantren agaknya menyerupai madrasah di baghdad abad 11-12.
Perpaduan antara sistem pada pondok
pesantren atau pendidikan langgar dan sistem yang berlaku pada sekolah-sekolah
modern merupakan sistem pendidikan dan pengajaran yang dipergunakan di
madrasah. Proses perpaduan tersebut berangsur-angsur dan mengikuti sistem
klasikal. Sistem pengajian kitab yang selama ini dilakukan, di ganti dengan
bidang-bidang pelajaran tertentu, walaupun masih menggunakan kitab-kitab yang
lama.
Bahkan, kemudian lahirlah
madrasah-madrasah yang mengikuti sistem perjenjangan dan bentuk-bentuk sekolah
modren, seperti Madrasah Ibtidaiyyah sama dengan Sekolah Dasar, Madrasah Tsanawiyah sama dengan Sekolah Menengah Pertama, dan Madrasah Aliyah sama
dengan Sekolah Menengah Atas. Kurikulum madrasah dan
sekolah–sekolah agama masih mempertahankan agama sebagai mata pelajaran pokok,
walaupun dengan persentase yang berbeda.
Kehadiran madrasah sebagai lembaga
pendidikan Islam setidak-tidaknya mempunyai beberapa latar belakang, di
antaranya:
a.
sebagai
manifestasi dan realisasi pembaharuan sistem pendidikan Islam.
b.
usaha penyempurnaan
terhadap sistem pendidikan
yang lebih memingkinkan lulusanya
memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum, misalnya masalah kesamaan
kesempatan kerja dan perolehan ijazah.
c.
adanya
sikap mental pada sementara golongan ummat Islam yang terpukau pada barat
sebagai sistem pendidikan modern.
d.
Sebaga
upaya untuk menjembatani antara sistem pendidikan tradisional yang dilakukan
oleh pesantren dan sistem pendidikan modern dari hasil akuturasi.[25]
Tugas lembaga madrasah sebagai
lembaga pendidikan Islam adalah:
a.
Merealisasikan
pendidikan Islam yang didasarkan yang didasarkan atas prinsip piker, akidah dan
tasyri’ yang diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan.
b.
Memelihara
fitrah murid sebagai insan yang mulia, agar ia tak menyimpang dari tujuan Allah
menciptakannya.
c.
Memberikan
kepada murid dengan seperangkat peradaban dan kebudayaan islami, dengan cara
mengintegrasikan antara ilmu-ilmu alam, ilmu sosial, ilmu eksakta yang
dilandasakan atas ilmu-ilmu agama, sehingga murid mampu melibatkan dirinya
kepada perkembangan iptek.
d.
Memberikan
wawasan nilai dan moral serta peradaban manusia yang membawa khazanah pemikiran
murid menjadi berkembang.
e.
Menciptakan
suasana kesatuan dan kesamaan antar-murid. Tugas ini tampaknya sulit dilakukan
karena murid masuk lembaga madrasah dengan membawa status sosial dan status
ekonomi yang berbeda.
f.
Menyempurnakan
tugas-tugas lembaga pendidikan keluarga, masjid dan pesantren.
Keberhasilan lembaga madrasah
sebagai wahana pendidikan Islam tidak disangsikan lagi. Para lulusan yang
dihasilkan tampaknya sudah dapat mengimbangi kebutuhan dan tuntunan dan
masyarakat dan zaman. Walaupun demikina, keberhasilan itu membawa efek sampingan.
Hal itu dapat kita sebagai berikut:
a.
Mengekor
dan berkiblat pada kebudayaan Barat serta filsafatnya. Kecenderungan itu dapat
kita lihat bahwa madrasah modern memuat literature yang berisikan peradaban dan
kebudayaan Barat. Memang benar, hal itu tidak menimbulkan kerugian bagi seorang
muslim untuk mengambil hikmah dari hasil non-muslim asal tidak menggoyahkan
akidah saja. Akan tetapi, kalau kita teliti dengan cermat, sebenarnya ilmuwan
barat telah mengubah dasar penelitian yang telah ditentukan oleh leluhur kita,
lalu menggunakan metode-metode yang bersifat logis dan empiris tanpa asas-asas
keagamaan dan idealistis. Demikian pula, ilmu-ilmu barat mempunyai ideologis
yang bertentangan dengan akidah tauhid yang hidup dalam hati sanubari setiap
muslim.
b.
Kepribadian
murid menjadi pecah (sekularis). Kecenderungan pemikiran barat
mendisintegrasikan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, sehingga muncullah
prinsip: “apa milik Tuhan biarlah milik Tuhan dan apa miliki kaisar biarlah
untuk kaisar’. Apalagi filsafat positivism yang hanya mengkaji fakta tanpa
menghubungkan dengan agama. Bila anak telah terperangkap dalam kondisi
demikian, jiwanya akan terpecah-pecah dan memiliki kecenderungan bahwa ilmu
pengetahuan yang dipelajari akan bertambah berkembang apabila bebas dari
nilai-nilai dan moral agama. Inilah yang menyebabkan hilangnya kepribadian
insani dan rabbani yang seharusnya mempunyai sikap mental spiritual yang
tertuang dalam trikotomi pusat kemanusiaan dan trilogi hubungan manusia.
c.
Menjadikan
ijazah dan ujian sebagai tujuan sebagai tujuan pendidikan. Madrasah sekarang
terjebak dengan formalitas. Sebagai akibat yang dihasilkan, output pendidikan
menjadi manusia-manusia yang formalis yang gila pujian, sanjungan gelar
kesarjanaan, dan identitas diri, tanpa mempertimbangkan kemampuan yang
dimiliki. Apabila seorang lulusan madrasah berijazah tinggi tetapi kemampuan
yang dimiliki tidak seimbang, maka akan menimbulkan kesenjangan sosial.[26]
5.
Kuttab
Kuttab (Arabic: كُتَّاب kuttāb, plural: kataatiib, كَتاتِيبُ) adalah pola pendidikan klasik yang sudah ada sebelum masa
Rasulullah SAW. Sistem inilah yang diadopsi menjadi pembelajaran dasar kalangan
anak-anak di zaman Rasulullah SAW. Nabi Muhammad
Saw pernah memerintahkan para tawanan perang Badar yang dapat menulis dan
membaca untuk mengajar sepuluh anak-anak Madinah.
Di antara
penduduk Mekah yang mula-mula belajar menulis huruf Arab di kuttab ini adalah
Sufyan bin Umayyah bin Abdul Syams dan Abu Qais bin Abdul Manaf bin Zuhrah bin
Kilab. Keduanya belajar dari Bisyr bin Abdul Malik yang mempelajarinya
dari Hirah. Kuttab dalam bentuk awalnya berupa ruangan di rumah seorang guru.
Sejalan dengan
meluasnya wilayah kekuasaan kaum muslimin, bertambah pulalah jumlah penduduk
yang memeluk Islam, ketika itu kuttab-kuttab yang hanya mengambil tempat di
ruangan rumah guru mulai dirasakan tidak memadai untuk menampung anak-anak yang
jumlahnya semakin besar, kondisi yang demikian mendorong para guru dan orang
tua murid mencari tempat lain yang lebih lapang untuk ketentraman belajar
anak-anak, tempat yang mereka pilih adalah sudut-sudut masjid.
Selain dari kuttab-kuttab yang
diadakan dalam masjid terdapat pula kuttab umum dalam bentuk madrasah yang mempunyai gedung sendiri dan dapat menampung
ribuan murid. Kuttab jenis ini bersifat formal, Kuttab ini mulai berkembang
karena adanya pengajaran khusus bagi anak-anak keluarga raja, pembesar, dan
pegawai istana yang diasuh oleh seorang mu’addib (pendidik), bentuk pengajaran
yang demikian akhirnya berkembang menjadi kuttab-kuttab umum, pendidik yang
mulai mengembangkan pola pengajaran khusus itu ke arah pembentukan kuttab umum
menurut Ahmad Syalabi ialah Hajjaj bin Yusuf as-Saqafi (w.714). Al-Hajjaj
pada mulanya menjadi
mu’addib anak-anak Sulaiman
bin Na‟im yang menjadi wazir
Abdul Malik bin Marwan, pada saat inilah ia mengembangkan pendidikan anak dari
bentuk khusus di rumah pembesar raja menjadi bentuk pendidikan umum yang disebut
kuttab umum, dari sini pula karir al-Hajjaj meningkat menjadi pembesar
khalifah Bani Umayyah, al-Walid I (705-715).
Pendidikan tingkat rendah Islam
diadakan di kuttab-kuttab juga diberikan di istana untuk
anak-anak pejabat, didasarkan pemikiran bahwa pendidikan itu harus bersifat
menyiapkan anak didik agar mampu melaksanakan tugas-tugas, setelah dewasa
nanti, atas dasar pemikiran tersebut, khalifah dan keluarganya serta para
pembesar istana lainnya berusaha menyiapkan agar anak-anak mereka sejak kecil sudah
diperkenalkan dengan tugas-tugas
yang akan dipikulnya nanti, corak
pendidikan anak-anak di istana berbeda dengan pendidikan anak-anak di
kuttab-kuttab pada umumnya, rencana pelajaran untuk pendidikan di istana pada
garis besarnya sama dengan rencana pelajaran pada kuttab-kuttab hanya sedikit
ditambah dan dikurangi sesuai dengan kehendak orang tua mereka.
Dalam catatan sejarah membuktikan
bahwa perkembangan kuttab berlangsung dengan pesat. Dahhak bin Muzahim, seorang
mufasir, memiliki kuttab yang menampung murid sebanyak 3000 orang, sehingga
Dahhak bin Muzahim harus menunggangi keledai untuk mengecek murid-muridnya.
Pada sisi lain, dalam periode Mamluk, hampir setiap pendiri kuttab mendirikan
kuttab sabil, yaitu kuttab untuk anak yatim piatu. Pendidikan di kuttab sabil
diberikan secara gratis.
Kuttab merupakan tempat pertama
seorang anak belajar membaca Alquran, menulis, prinsip-prinsip agama, bahasa
dan ilmu hitung. Kesenian menulis atau kaligrafi sangat diperhatikan pula
karena merupakan bagian dari kesenian lukis-melukis. Di kuttab disediakan
pengasuh-pengasuh khusus di bidang tesebut di atas secara penuh, demikian pula,
Rasulullah SAW. sendiri telah mempekerjakan orang-orang Islam (para sahabat)
yang tahu tulis baca untuk mencatat ayat-ayat Alquran, untuk mengajar kaum
muslimin pun beliau meminta bantuan orang non-Muslim untuk mengajar kaum
Muslimin membaca dan menulis karena pada masa itu jumlah kaum Muslimin yang
pandai tulis baca masih sedikit.
Keterampilan tulis baca yang
merupakan materi utama pendidikan kuttab – menjadi semakin penting sejalan
dengan berkembangya komunitas Muslim Madinah, kebutuhan paling penting,
tentunya, adalah mencatat wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW. dari waktu
ke waktu. Tetapi tulis-baca ini juga dibutuhkan untuk memungkinkan komunikasi
antara umat Islam dengan suku-suku dan bangsa-bangsa lain, tulis-baca
sebagai sebuah prioritas penting dapat
dilihat dalam peristiwa pembebasan beberapa tawanan perang badar.
6.
Al-Hawanit al-Warraqin (Toko Kitab )
Al-Hawanit
al-Warraqin (arab: حوانيت الوراقين), pada
masa ini bermunculan toko-toko buku sebagai agen komersil dan sekaligus
berfungsi sebagai center of learning. Ini
berawal pada permulaan Daulah Abbasiyah, yang
kemudian menyebar dengan cepat ke berbagai ibukota dan Negara-negara
berbeda di negeri Islam. Para pemilik toko-toko ada yang telah dapat menulis
kitab-kitab monumental dengan karya-karyanya, diantaranya Ibn al-Nadim (995 M)
yang menulis kitab Fihrisat (Indent of Nadim), Ali bin Isa yang menulis
bermacam- macam kitab, dan Yaqut al-Hammi yang menulis Mu’jam al-Udaba, dan Mu’jam
al-Buldam.
Toko-toko buku memiliki peranan
penting dalam kegiatan keilmuan Islam, pada awalnya memang hanya menjual
buku-buku, tetapi berikutnya menjadi sarana untuk berdiskusi dan berdebat, bahkan
pertemuan rutin sering dirancang dan dilaksanakan disitu. Disamping toko buku,
perpustakaan juga memiliki peranan penting dalam kegiatan transfer keilmuan
Islam.
7.
Al-Shalunat
Al-Adabiyah (Sanggar Seni dan Sastra)
Al-Shalunat
al-Adabiyah (arab: الصالونات الأدبية), lembaga ini merupakan pengembangan dari majelis-majelis
al-Khulafa al-Rashidin. Selain mengurus masalah-masalah pemerintahan, juga
memberikan fatwa-fatwa agama melalui forum masjid ataupun diluar masjid. Forum ini mengalami kemajuan yang cukup pesat, karena sering
diadakan semacam perlombaan syair dan perdebatan para fuqaha dan diskusi
diantara para sarjana dari berbagai disiplin ilmu. Sehingga muncullah
tokoh-tokoh yang aktif hadir dalam forum tersebut : 1) Dari Kalangan Penyair:
Abu Nuwas, Abu al-Itahiyah Da‟bal, Muslim Ibn al-Walid dan al-Abbas al-Ahnaf.
2) Dari kalangan musisi, Ibrahim al-Mawali dan anaknya bernama Ishaq. 3) Dari
kalangan ahli Gramatika: Abu Ubaidah, al-Ismail al- Kisa’i, Ibn-Siman, al-Wa’iz dan
al-Waraqid.
8.
Zawiyah
Zawiyah (Arab:
زاوية
) pada
awalnya merujuk pada sudut bangunan, seringkali masjid, tempat sekelompok orang
berkumpul untuk mendengarkan pengajaran seorang Syaikh. Zawiyah seperti ini
terdapat misalnya di Jami’ al-Athiq yang dibangun oleh Amru bin al-Ash begitu
ia menaklukkan Fusthath. Pada Zawiyah ini ilmu fiqh seperti ilmu - ilmu yang
lain sesuai dengan bidang Syaikhnya, merupakan bagian dari kegiatan pewarisan
ilmu. Zawiyah ini adalah bangunan yang
lebih kecil dibandingkan dengan Khanaqah. Zawiyah adalah bangunan kecil yang sederhana,
yang dipusatkan di seputar seorang Syaikh, yang semula adalah tidak permanen
karena sering Syaihnya adalah seorang pendatang.
Zawiyah dibangun oleh seeorang
Syaikh pada tarekat tertentu. Pembangunan ini diharapkan mampu memperhanyak
anggota dari tarekat tersebut, karena bangunan ini lebih kecil dibanding dengan
Khanaqah maka ia tidak mempunyai seperangkat aturan yang jelas. Zawiyah di
Mesir menjelang penaklukan Turki Usmani dikelompokkan ke dalam dua jenis yaitu:
a.
Zawiyah
tradisional yang mempunyai hubungan erat dengan penguasa (Mamluk).
b.
Zawiyah
yang lebih independen, dan Zawiyah inilah yang sering menjalankan fungsinya
sebagai masjid dan Ribath, yaitu menyediakan fasilitas ibadah, makanan dan
perlindungan bagi orang miskin. Contoh dari bagian kedua ini adalah Zawiyah
Syaikh Ibnu Riwam yang selalu menolak bantuan. Meskipun Zawiyah ini pada
awalnya hanya berupa bangunan kecil, namun dalam perkembangannya, menurut
Fernandes banyak bangunan Zawiyah yang berupa aula yang besar, sebagai tempat
pertemuan para sufi. Kemegahan dan kebesaran bangunan Zawiyah ini ditentukan
oleh kemashuran dari Syaikhnya itu.[27]
9.
Ribath
Ribath (Arab: رِبَـاط) adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauhkan
diri dari kehidupan duniawi, dan mengonsentrasikan diri untuk semata–mata
ibadah. Juga memberikan perhatian terhadap kegiatan keilmuan yang dipimpin oleh
seorang syeikh yang terkenal dengan ilmu dan kesalehannya.[28]
Kata Ribath dalam bahasa Arab
memiliki beberapa arti a) Sesuatu yang dibuat untuk mengikat (tali dan sebagainya),
membalut, b) Sekawanan
kuda, rombongan (pasukan) berkuda, c) Tangsi, markas tentara, d) Tempat diwakafkan untuk fakir miskin, e) Hati. Dalam bahasa Indonesia kata
Ribath mengandung
arti gedung atau tempat melakukan pelatihan ibadah dan kewajiban lain. Dalam
bahasa Spanyol kata Ribath berasal dari kata Ribato yang berarti “Serangan balik yang berdasarkan
metode perang klasik”. [29]
Ribath semula adalah barak-barak tentara muslim yang
berada di garis depan pertempuran.
Ribath diposisikan di perbatasan daerah yang masih dikuasai musuh atau
yang sedang dalam proses penaklukan. Seiring dengan perjalanan waktu dan
kondisi politik, maka penghuni
ribath mengalihkan kecenderungan
hidup dari pola perang fisik melawan musuh ke pola perang melawan diri dan jiwa
dengan praktik sufi. Dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam bahwa Syaykh ‘Abd
al-Qadir al-Jailani menggunakan model
ribath untuk tempat tinggal
bersama keluarga dan tempat belajar muridnya dibanding model yang lain.[30]
Sebagian tokoh mengatakan bahwa
istilah Ribath diambil dari firman Allah swt. dalam surat al-Anfal ayat 60 :
وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا ٱسۡتَطَعۡتُم مِّن
قُوَّةٖ وَمِن رِّبَاطِ ٱلۡخَيۡلِ تُرۡهِبُونَ بِهِۦ عَدُوَّ ٱللَّهِ
وَعَدُوَّكُمۡ وَءَاخَرِينَ مِن دُونِهِمۡ لَا تَعۡلَمُونَهُمُ ٱللَّهُ
يَعۡلَمُهُمۡۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيۡءٖ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ يُوَفَّ إِلَيۡكُمۡ
وَأَنتُمۡ لَا تُظۡلَمُونَ
Dan siapkanlah untuk menghadapi
mereka (orang--orang kafir) kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari Ribat
al-Khail (kuda-kuda yang ditambat untuk berperang). (Dengan persiapan itu),
kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang tidak
kamu ketahui, sedangkan Allah mengetahui.
Ribath merupakan pusat kegiatan kaum
sufi, tempat pembinaan dan penggemblengan para calon sufi yang diisi dengan
kegiatan pendidikan, pelatihan, pengkajian agama dan ibadat kepada Allah swt.
Istilah ini banyak digunakan di bagian barat dunia Islam (seperti Maroko dan Tunisia).
Pengertiannya sama dengan Khanqah di bagian Timur (seperti Persia, India),
Zawiyah di bagian Tengah dunia Islam atau Tekke di Turki.
Ribath adalah sebuah istilah yang
menunjukkan tempat berkumpulnya para sufi dan ahli tarekat guna melaksanakan
latihan-latihan spiritual. Menurut Maqrizi, Ribath adalah rumah para sufi,
setiap kelompok (kaum) mempunyai rumah dan ribath adalah rumah para sufi. Dalam
hal ini mereka mirip dengan ahli al-Suffah ( sekelompok sahabat yang mendiami
emperan masjid Nabi di Madinah). Penghuni ribath adalah orang yang mempunyai
ikatan (murabith) dengan maksud, tujuan serta keadaan yang sama. Ribath
dibangun untuk (mempunyai) maksud tujuan ini.[31]
Ribath dibangun untuk mendidik para
calon sufi. Di dalam ribath terdapat berbagai aturan yang berkaitan dengan
urutan jabatan bagi guru, yakni mulai Dari al-mufid (fasilitator), al-mu’id
(asisten), al-mursyid (guru) sampai kepada al-syaikh (maha guru/ guru
besar). Urutan tingkatan pada murid mulai dari tingkat dasar (al-mubtadi’),
menengah (al-mutawasith), tinggi (al-‘ali atau aliyah). Bagi
seorang murid yang sudah tamat dilakukan upacara pelepasan (semacam wisuda),
kemudian diberikan ijazah, dan diberi kewenangan untuk mengajar. Selain itu
terdapat pula lambing-lambang yang membedakan kelompok al-ribath tertentu
dengan al-ribath yang lain. Mereka kemudian membentuk semacam kelompok yang
kompak dan solid, karena didasarkan oleh persamaan ideologi dan ikatan
emosional antara guru dan murid, atau antara kawan dan kawan. [32]
10.
Khanaqoh
Khanaqah (Persia: خانقاه) berasal dari bahasa Persi Okhaniqah yang dalam bentuk jamaknya
adalah Khanqaha. Ada juga yang berpendapat bahwa khanaqah itu berasal dari
bahasa arab Khanqah yang dalam bentuk jamaknya adalah khawaniq, semuanya itu
bermakna ruang atau rumah. Namun istilah Khanqah ini baru mendapat perhatian
dari para sejarawan setelah abad ke-4/10.
Dalam perkembangannya istilah ini
digunakan Muhammad Ibnu Karram (806-869), seorang pelajar hadis dan penyebar
paham asketik di Iran Selatan dan Iran Timur. Dia berhasil meraih pengikut dari
masyarakat kelas bawah transoxania Afganistan dan Iran Timur, Yang mengajarkan
sebuah jalan hidup menuju taqwa Allah.
Guru sufi yang mengikuti tindakannya ialah Syaikh Abu Ishaq Ibrahim al-Kazaruni
(963-1033), dia menampung sejumlah besar pengikut sufi di rumahnya di Iran
Barat. Ia juga membangun 65 Khanaqah Iran Selatan sebagai pusat pengajaran,
pusat misionari dan tempat mendistribusikan shodaqah pada fakir miskin.
Keluarga dekatnya yang bernama Abu Sa’id Ibnu Abu al-Khoir (967-1049) yang
lahir dan meninggal di Nishapur adalah guru besar sufi yang pertama kali menyusun
aturan-aturan peribadatan dan sebuah kitab hukum perilaku dan mengatur
kehidupan komunal khanaqah. Sekitar
akhir abad ke-11 selain berfungsi missionari, tetapi juga digunakan untuk makam
guru-guru besar sufi dan akhirnya menjadi tempat peziarah mukim awam. Aturan-
aturan tersebut antara lain ialah:
a.
Ahli
Khanqah harus memperhatikan kebersihan baik kebersihan fisik maupun kebersihan spiritual.
Seluruh tempat tinggal tempat ibadah, harus selalu dalam keadaan suci. Sangat
dianjurkan mereka agar memelihara wudlu secara berkesinambungan.
b.
Ahli
Khanqah tidak dibenarkan menghabiskan waktu dengan berbincang-bincang,
lebih-lebih di tempat khanqah atau tempat suci lainnya.
c.
Ahli
Khanqah harus melaksanakn shalat lima waktu secara berjama’ah pada awal waktu.
d.
Ahli
Khanqah harus melaksanakan qiyam a1-lail (shalat malam) yang panjang untuk
lebih mendekatkan diri kepada Allah.
e.
Ahli
Khanqah harus menggunakan waktu setelah shalat subuh untuk memanjatkan do’a dan
memohon ampun.
f.
Ketika
menjelang pagi harus melajutkan kegiatannya itu dengan membaca Alqur’an
sebanyak mungkin biasanya sampai siang.
g.
Pada
waktu siangnya juga harus mengurusi fungsi sosial seperti mengurusi orang-orang
fakir yang datang ke khanqah demi untuk mendapatkan sesuap nasi.
h.
Mengembangkan
tradisi makan bersama, demi mempertebal rasa persaudaraan dan kebersamaan dalam
menikmati rahmat Tuhan.
i.
Kebersamaan
ini betul-betul mereka tanamkan, seperti ahli khanqah tidak boleh meninggalkan
khanqah tanpa memberi tahu pada salah seoranag yang hadir di sana.
j.
Waktu
shalat Isya’ keseluruhannya harus dimanfaatkan untuk zikir dan wirid.[33]
F.
Lembaga
Pendidikan
Islam di Indonesia
Pendidikan Islam di Indonesia pada
masa awalnya bersifat informal, yakni melalui interaksi inter-personal yang
berlangsung dalam berbagai kesempatan seperti aktivitas perdagangan, karena
lalu lintas perdagangan laut internasional yang melewati wilayah
nusantara sudah ramai. Dakwah Bil Hal atau keteladanan pada konteks ini
mempunyai pengaruh besar dalam menarik
perhatian dan minat seseorang untuk mengkaji atau memeluk ajaran Islam.
Selanjutnya setelah agama ini berkembang di tiap-tiap desa yang penduduknya
telah menjadi muslim umumnya didirikan
langgar atau masjid, fasilitas
tersebut bukan hanya sebagai tempat
shalat saja, melainkan juga tempat untuk belajar membaca al Qur’an dan
ilmu-ilmu keagamaan yang bersifat elementer lainnya.
Interelasi Islam dan kebudayaan Jawa
di bidang pendidikan tidak lupa dari perjuangan Walisongo dalam mengislamkan
tanah jawa dan perkembangan pendidikan pesantren di tanah Jawa, secara
historis, asal-usul pesantren tidak dapat di pisahkan dari sejarah pengaruh
Walisongo abad 15-16. pesantren merupakan lembaga pendidikan yang unik di
Indonesia. Lembaga pendidikan ini telah berkembang, khususnya di Jawa selama
berabad-abad.
Pesantren Ampel Denta dan Giri
Kedaton adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri
Kedaton, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan
Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan.
Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang
pengaruhnya masih terasa hingga sekarang, sedangkan Sunan Muria adalah
pendamping sejati kaum jelata.
Sunan Ampel menganut fikih mahzab
Hanafi. Namun, pada para
santrinya, ia hanya memberikan pengajaran
sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah
yang mengenalkan istilah
“Mo Limo” (moh
main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon).
Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri,
tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.” Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M
di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
Pesantren Sunan Giri terletak di
daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik, dalam bahasa Jawa, bukit
adalah “giri”, maka ia dijuluki Sunan Giri. Pesantrennya tak hanya dipergunakan
sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat
pengembangan masyarakat. Raja Majapahit konon karena khawatir Sunan Giri
mencetuskan pemberontakan, memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan,
maka pesantren itupun berkembang
menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai
pemimpin pemerintahan, Sunan Giri
juga disebut sebagai Prabu Satmata. Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di
Jawa, waktu itu, Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri
malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak, hal
tersebut tercatat dalam Babad Demak, selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh
Sunan Giri, ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan,
se-Tanah Jawa, Giri
Kedaton bertahan hingga 200 tahun.
Menurut para ahli, pesantren baru
dapat disebut pesantren bila memenuhi lima syarat, yaitu ; (1) ada kiyai;
mungkin mencakup ideal kiyai untuk zaman kini dan nanti.(2) ada pondok; akan
mencakup syarat-syarat fisik dan nonfisik, pembiayaan, tempat dan lain-lain.(3)
ada masjid; cakupannya akan sama dengan masjid.(4) ada Santri; melingkupi
masalah syarat, sifat dan tugas santri.(5) ada pengajaran membaca kitab kuning;
bila diluaskan akan mencakup kurikulum pesantren dalam arti luas.
Klasifikasi pesantren dibagi menjadi
dua macam, pertama, pesantren salafi, yaitu pesantren yang mengajarkan
kitab-kitab islam klasik. Sistem madrasah diterapkan untuk mempermudah teknik
pengajaran sebagai pengganti metode sorogan. Pada pesantren ini tidak diajarkan
pengetahuan umum. Kedua, pesantren khalafi, yang selain memberikan pengajaran
kitab Islam klasik juga membuka sistem sekolah umum di lingkungan dan di bawah
tanggung jawab pesantren.
Kekuatan kiyai pesantren berakar
pada kredibilitas moral dan kemampuan mempertahankan pranata sosial.
Kredibilitas moral itu, dibina antara lain dengan dukungan kealiman
(pengetahuan agama, kemampuan membaca kitab kuning), kesalihan prilaku
(termasuk ketaatan melakukan ibadah ritual), pelayanan kepada masyarakat Muslim
(dalam arti yang luas), serta adanya kemampuan supra rasional yang dimiliki
oleh sebagian kiyai. Terlepas dari benar atau tidaknya kiyai memilki kemampuan
itu, tetapi ternyata Nabi Muhammad SAW memiliki kemampuan seperti itu, seperti
tergambar di dalam al-Quran surat al-Hujarat ayat 14.
Pelaksanaan pendidikan keagamaan
Islam di Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007
tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Peraturan Pemerintah ini
merupakan penjelasan lebih lanjut dari Undang- Undang RI Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang
tertuang dalam PP No. 55 tahun 2007 mengatur tentang pelaksanaan pendidikan
agama dan pendidikan keagamaan pada jenjang pendidikan formal, nonformal, dan
informal. Hal yang menarik dari PP No. 55 tahun 2007 ini adalah diakuinya
majelis taklim, pengajian kitab, pendidikan Alquran dan diniyah takmiliyah
sebagai bagian dari pendidikan keagamaan Islam nonformal.
Majlis taklim telah dipakai dalam
pendidikan sejak abad pertama islam, mulanya ia merujuk pada arti tempat-tempat
pelaksanakan belajar mengajar. Pada perkembangan berikutnya disaat dunia pendidikan islam
mengalami zaman keemasan, majlis berarti sesi di mana aktivitas pengajaran berlangsung.
Seiring dengan perkembangan
pengetahuan dalam islam,majlis digunakan sebagai kegiatan transfer ilmu
pengetahuan, dan majlis banyak ragamnya, menurut Muniruddin Ahmad ada 7
(tujuh) macam majlis, seperti: Majlis Al-Hadits, Majlis
Al-Tadris, Majlis Al- Manazharah, Majlis Muzakarah, Majlis Al-Syu’ara, Majlis
Al-Adab, Majlisal-Fatwa dan Al-Nazar. Majelis taklim merupakan lembaga
pendidikan tertua dalam Islam, sebab sudah dilaksanakan sejak zaman Rasulullah
SAW. Meskipun tidak disebut dengan majelis taklim, pengajian Nabi Muhammad SAW.
yang berlangsung secara sembunyi-sembunyi di rumah Arqam bin Abil Arqam di
zaman Rasul SAW. atau periode Mekah dapat dianggap sebagai majelis taklim dalam
konteks sekarang. Pada periode Madinah, ketika Islam telah menjadi kekuatan
nyata dalam masyarakat, penyelenggaraan pengajian itu lebih pesat. Rasulullah
SAW. duduk di masjid Nabawi untuk memberikan pengajian kepada para sahabat dan
kaum muslimin ketika itu. Hingga saat ini di Masjidilharam terdapat pengajian
(majelis taklim) yang diasuh ulama-ulama terkenal dan terkemuka serta
dikunjungi para jamaah.
Pengajian kitab kuning alias kitab
klasik menjadi ciri khas Pondok Pesantren. Santri yang sudah Pengajian kitab
kuning dilakukan dengan dua cara, yaitu: (a) dengan sistem sorogan atau
wetonan/bandongan dan (b) sistem klasikal di madrasah diniyah (madin).
Madrasah diniyah merupakan lembaga
pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran secara klasikal yang
bertujuan untuk memberi tambahan pengetahuan agama Islam kepada pelajar-pelajar
yang merasa kurang menerima pelajaran agama Islam di sekolahannya. Keberadaan
lembaga ini sangat menjamur dimasyarakat karena merupakan sebuah kebutuhan
pendidikan.
Penyelenggaraan madrasah diniyah
mempunyai ciri berbeda dan orientasi yang beragam. perbedaaan tersebut
disebabkan oleh faktor yang mempengaruhinya, seperti latar belakang yayasan
atau pendiri madrasah diniyah, budaya masyarakat setempat, tingkat kebutuhan
masyarakat terhadap pendidikan agama dan kondisi ekonomi masyarakat dan lain
sebagainya.
G.
Sifat dan Karakter Lembaga Pendidikan Islam
Sifat dan karakter lembaga pendidikan Islam
antara lain:
1.
Lembaga pendidikan Islam bersifat
religius. Hal ini terjadi, karena berdirinya lembaga
pendidikan Islam selain untuk kepentingan pengembangan ilmu dalam rangka mencerdasakan
masyarakat, juga dilakukan karena semata-mata mengharap keridhaan Allah Swt.
Berdirinya lembaga pendidikan Islam bukan atas intruksi atau undang-undang,
melainkan atas dorongan niat yang ikhlas mengharapkan keridhaan Allah Swt.
2.
Lembaga pendidikan Islam bersifat holistik, terdiri dari
lembaga pendidikan informal, nonformal dan formal. Informal dapat diwakili oleh
rumah (al-bait); non formal seperti masjid, zawiyah, ribath; sedangkan yang
formal yaitu madrasah.
3.
Lembaga pendidikan Islam bersifat dinamis dan inovatif.
Dinamakan dinamis, karena lembaga pendidikan Islam tidak terpaku pada satu
bentuk saja, melainkan mengambil berbagai bentuk sesuai dengan kebutuhan ilmu
atau keterampilan yang ingin dikembangkan. Dan dikatakan inovatif, karena
lembaga pendidikan Islam selalu mengalami pembaruan dan pengembangan yang tidak
ada contoh atau model sebelumnya.
4.
Lembaga pendidikan Islam bersifat responsif dan
fleksibel, yakni senantiasa menyesuaikan diri atau menjawab berbagai kebutuhan
masyarakat. Dengan demikian, umat Islam telah menggunakan seluruh kemungkinan
yang tersedia untuk kepentingan pendidikan. Dengan demikian, lembaga pendidikan
Islam telah membuktikan salah satu sifat pendidikan Islam yang menerapkan
prinsip belajar seumur hidup dan belajar di mana saja.
5.
Lembaga pendidikan Islam bersifat terbuka, yakni dapat
diakses atau digunakan untuk seluruh lapisan masyarakat dengan berbagai latar
belakang keahlian, status sosial, ekonomi, budaya, dan lain sebagainya. Hal ini
sejalan dengan prinsip Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh alam.
6.
Lembaga pendidikan Islam berbasis masyarakat. Hal ini
selain karena lembaga pendidikan Islam tersebut dapat digunakan oleh seluruh
masyarakat, juga karena dibangun dan diadakan oleh masyarakat.[34]
[1] W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1991), cet. ke-12, hal. 582.
[2] Abudin Nata, Ilmu pendidikan Islam, hal 189-190.
[3]
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 223
[4] Sidi Gazalba, Pendidikan Umat Islam: Masalah Terbesar Kurun Kini Menentukan
Nasib Umat, Jakarta: Bhratara, 1970, hal. 26-27.
[5]
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 225
[6] Abudin Nata, Ilmu pendidikan Islam, hal 191.
[7] Abd al-Rahman al-Nahlawi, ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibuha,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1979), hal. 123-127.
[8]
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 226
[9] Ibid., hal. 231
[10]
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 194-195
[11] Ibid., hal. 195.
[12]
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 232-233
[13] Ibid., hal. 234
[14] Ibid., hal. 235
[15] Ibid., hal. 240
[16] Ibid., hal. 236
[17] Ibid., hal. 238
[18] Ibid., hal. 238
[19]
Enung K Rukianta, Sejarah Pendidikan Islam, Bandung: CV pustaka setia, 2006, hal.113
[20] Ibid.
[21]
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1988, hal. 111-112
[22] Abdur
Rahman Assegaf, Pendidikan Islam Di Indonesia,
Yogyakarta: Suka Press 2007, hal.94
[23] Haidar Putra Daulay, Sejarah dan Pertumbuhan Pendidikan Islam, Jakarta: kencana, 2007, hal. 93
[24]
Ibid, hlm. 96
[25]
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 241
[26]
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 250
[27]
Emroni, Kontribusi Lembaga Sufi Dalam Pendidikan Islam, Jurnal Taswir, Vol. 3
No. 5, Januari – Maret, 2015, hal. 122
[28] Iskandar
Engku dan
Siti Zubaidah, Sejarah Pendidikan Islami, PT.
Remaja Rosdakarya, Bandung, 2014, hal.
43.
[29] Emroni. Kontribusi Lembaga Sufi Dalam Pendidikan Islam, hal. 121
[30]
Sahri, Dimensi Politik dalam Ajaran-ajaran Tasawuf : Studi Kasus atas Manaqib Syaikh Abd Al Qadir Al
- Jailani ), Asy Syir’ah : Jurnal Ilmu
Syari’ah dan Hukum, Vol. 45 No. II, Juli
– Desember, 2011, hal. 131
[31] Emroni, Kontribusi Lembaga Sufi Dalam Pendidikan Islam, hal. 122
[32]
Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 204
[33]
Emroni, Kontribusi Lembaga Sufi Dalam Pendidikan Islam, hal. 123
[34]
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 194-195
Komentar
Posting Komentar