LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

  

BAB 10

LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

 

A.    Pengertian Lembaga

            Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kosa kata lembaga memiliki empat arti: 1). Asal mula (yang akan jadi sesuatu); benih (bakal binatang, manusia dan tumbuhan; misalnya Adam, segumpal tanah yang dijadikan manusia pertama); 2) Bentuk (rupa, wujud) yang asli, acuan; 3). Ikatan (tentang mata cincin dan sebagainya); 4). Badan (organisasi) yang bermaksud melakukan suatu penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha.[1]

  Dalam tulisan ini, pengertian lembaga yang dimaksud adalah badan atau organisasi, jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris adalah institution, dan  ke dalam bahasa Arab adalah muassasah. Dalam perkembangan selanjutnya, kata lembaga tidak selamanya mengacu kepada pengertian sebuah badan atau organisasi yang bersifat formal, melainkan segala bentuk kegiatan yang didalamnya mengandung nilai-nilai atau aturan dapat disebut lembaga. Dengan demikian, perkawinan, zakat, ketentuan waris dan jinayat, ketentuan hukuman bagi pelaku tindakan kriminal misalnya, dapat disebut sebagai lembaga. Hal yang demikian terjadi, karena di dalam setiap perbuatan tersebut terdapat berbagai ketentuan yang membentuk sistem yang harus dipedomani.[2]

 

B.     Pengertian Lembaga Pendidikan Islam

Lembaga pendidikan Islam adalah suatu bentuk organisasi yang diadakan untuk mengembangkan lembaga-lembaga sosial, baik yang permanen maupun yang berubah-ubah. Lembaga ini mempunyai pola-pola tertentu dalam memerankan fungsinya, serta mempunyai struktur tersendiri yang dapat mengikat individu yang berada dalam naungannya, sehingga lembaga ini mempunyai kekuatan hukum tersendiri.[3]

 

C.    Prinsip-prinsip Pembentukan Lembaga Pendidikan Islam

1.      Prinsip pembebasan manusia dari ancaman kesesatan yang menjerumuskan manusia pada api neraka. Sebagaimana firman Allah Swt:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka (At-Tahrim:6)

2.      Prinsip pembinaan umat manusia menjadi hamba-hamba Allah yang memiliki keselarasan dan keseimbangan hidup bahagia didunia dan akhirat, sebagai realisasi cita-cita bagi orang yang beriman dan bertakwa, yang senantiasa memanjatkan doa sehari-hari. Sebagaimana firman Allah Swt:

وَمِنْهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Dan di antara mereka ada orang yang berdo'a:"Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka". (Al-Baqarah : 201)

وَابْتَغِ فِيمَآءَاتَاكَ اللهُ الدَّارَ اْلأَخِرَةَ ولاَتَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَآأَحْسَنَ اللهُ إِلَيْكَ وَلاَتَبْغِ الْفَسَادَ فِي اْلأَرْضِ إِنَّ اللهَ لاَيُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (Al-Qashash :77)

3.      Prinsip pembentukan pribadi manusia yang memancarkan sinar keimanan yang kaya dengan ilmu pengetahuan, yang satu sama lain saling mengembangkan hidupnya untuk menghambakan diri pada khaliknya. Keyakinan dan keimanannya sebagai penyuluh terhadap akal budi yang sekaligus mendasari ilmu pengetahuannya, bukan sebaliknya, keimanan dikendalikan oleh akal budi.  Allah Swt berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انشُزُوا فَانشُزُوا يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِير

Dan apabila dikatakan:"Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Mujaadilah :11)

4.      Prinsip amar ma’ruf nahi munkar dan membebaskan manusia dari belenggu-belenggu kenistaan. Sebagaimana firman Allah Swt:

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّة يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung. (Al Imran :104)

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلَوْءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرَهُمُ الْفَاسِقُونَ

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (Al Imran :110)

 

D.    Penyelenggara Lembaga Pendidikan Islam

Yang berkewajiban menyelenggarakan lembaga pendidikan adalah: (1) rumah tangga, yaitu pendidikan primer untuk fase bayi dan fase kanak-kanak sampai usia sekolah. Pendidiknya adalah orang tua, sanak kerabat, famili, saudara-saudara, teman sepermainan dan kenalan pergaulan; (2) sekolah, yaitu pendidikan yang mendidik anak mulai dari usia sekolah sampai ia keluar dari sekolah tersebut. Pendidiknya adalah guru profesional; (3) kesatuan sosial, yaitu pendidikan tersier yang merupakan pendidikan yang terakhir tapi bersifat permanen. Pendidiknya adalah kebudayaan, adat istiadat dan suasanan masyarakat setempat.[4] (4) diri sendiri, Islam mengajarkan agar seorang muslim mencari ilmu secara individual, karena ilmu merupakan syarat mutlak bagi kehidupan muslim sejati, baik untuk kehidupan dunia maupun akhirat.[5] Firman Allah Swt:

وَمَاكَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَآفَةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِنهُمْ طَآئِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (Al-Taubah:122)

Rasulullah Saw juga bersabda:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَإِنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ يَسْتَغْفِرُ لَهُ كُلُّ شَئٍ حَتَى الْحِيْتَانُ فِيْ الْبَحْرِ

Mencari ilmu itu Fardlu atas setiap Muslim, dan bahwasanya pencari ilmu itu dimohonkan ampunan Allah untuknya oleh segala sesuatu, sampai ikat di lautan (HR. Ibnu Abdul Bar)

 

E.     Macam-macam Lembaga pendidikan Islam

Macam-macam lembaga pendidikan Islam antara lain; rumah, masjid, pondok pesantren, madrasah, kuttab, al-hawanit al-warraqin, al-shalunat al-adabiyah, zawiyah, ribath dan khanaqah. Penjelasnnya sebagai berikut:

 

1.      Rumah

Dalam bahasa Indonesia, rumah diartikan sebagai bangunan tempat tinggal. Dalam bahasa Arab kata rumah terjemahan dari kata bata, yabitu, baytan, yang artinya bermalam atau menginap. Kemudian diartikan pula sebagai rumah tinggal dan tempat diam.

Rumah (al-Bait) adalah salah satu bangunan yang dijadikan tempat tinggal selama jangka waktu tertentu. Dalam arti khusus, rumah mengacu pada konsep-konsep sosial-kemasyarakatan yang terjalin di dalam bangunan tempat tinggal, seperti keluarga, hidup, makan, tidur, beraktivitas, dan lain-lain

Di dalam al-Qur’an, kata rumah tidak kurang disebut sebanyak tujuh puluh kali. Diantaranya ada yang berhubungan dengan rumah Allah (Baitullah) di Mekkah yang selanjutnya menjadi tempat pelaksanaan ibadah haji dan arah kiblat dalam shalat. Sebagimana firman Allah Swt:

وَإِذْجَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِّلنَّاسِ وَأَمْنًا وَاتَّخِذُوا مِن مَّقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى وَعَهِدْنَآ إِلىَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَن طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail:"Bersihkanlah rumah-ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku', dan yang sujud. (Al-Baqarah : 125)

Ada yang dihubungkan dengan keluarga Nabi Muhammad Saw (Ahl al-bayt), sebagaimana firman Allah Swt:

قَالُوا أَتَعْجَبِينَ مِنْ أَمْرِ اللهِ رَحْمَتُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ إِنَّهُ حَمِيدٌ مَّجِيدٌ

Para malaikat itu berkata; "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah (Hud : 73)

Ada yang dihubungkan dengan rumah laba-laba (bait al-ankabut) yang unik, sebagaimana firman Allah Swt:

مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِ اللهِ أَوْلِيَآءَ كَمَثَلِ الْعَنكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنكَبُوتِ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah.Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui. (Al-Ankabut : 41)

Ada yang dihubungkan dengan rumah tempat kediaman Rasulullah Saw (bait al-nabi) yang tidak boleh masuk ke dalamnya kecuali setelah mendapatkan izin, sebagaimana firman Allah Swt:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلآَّ أَن يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانتَشِرُوا وَلاَمُسْتَئْنِسِينَ لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِ مِنكُمْ وَاللهُ لاَيَسْتَحْيِ مِنَ الْحَقِّ وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَسْئَلُوهُنَّ مِن وَرَآءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ وَمَاكَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللهِ وَلآَأَن تَنكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِن بَعْدِهِ أَبَدًا إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِندَ اللهِ عَظِيمًا

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu ke luar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah. (Al-Ahzab : 53)

Ada yang dihubungkan dengan rumah masyarakat pada umumnya yang tidak boleh dimasuki sebelum meminta izin kepada pemiliknya. Sebagaimana firman Allah Swt:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْر لَّكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. (An-Nur : 27).[6]

Adapun rumah yang pertama kali digunakan sebagai tempat belajar yaitu rumah al-Arqam. Di tempat itulah untuk pertama kali kaum muslim beserta Rasulullah Saw berkumpul untuk belajar hukum-hukum dari dasar-dasar agama Islam.

 

Fungsi Rumah Sebagai Tempat Pendidikan

Pertama, dari segi pendidikan nonformal, yakni pendidikan yang dilakukan di rumah yang bentuk materi pengajaran, guru, metode pengajaran dan lainnya tidak dibakukan secara formal. Pendidikan nonformal yang dilakukan di rumah ini misalnya pendidikan yang berkaitan dengan penanaman akidah, bimbingan membaca dan menghafal al-Qur’an, praktik beribadah, dan praktik akhlak mulia.

Kedua, dari segi pendidikan informal, yakni pendidikan yang dilakukan oleh kedua orangtua terhadap putra-putrinya. Pendidikan di rumah ini ditekankan pada pembinaan watak, karakter, kepribadian, dan keterampilan mengerjakan pekerjaan atau tugas keseharian yang biasa terjadi di rumah tangga. Bagi anak laki-laki misalnya dibiasakan mengerjakan tugas-tugas umum yang umumnya dilakukan anak laki-laki, seperti memotong rumput, menanam pohon, bertani, mengembala ternak, memperbaiki rumah, dan sebagainya. Bagi anak perempuan dibiasakan mengerjakan tugas membersihkan dan merapikan kamar tidur, memasak dan menyediakan makanan, menjahit, merangkai bunga, dan sebagainya. Dalam keadaan tertentu pekerjaan anak laki-laki dan perempuan bisa saja bekerja bersama-sama. Pendidikan watak, karakter, kepribadian dan keterampilan tersebut dilakukan melalui pemberian contoh, pembiasaan, melakukan sesuatu, bimbingan dan nasihat. Sehingga diharapkan dapat mengakrabkan keluarga, menumbuhkan rasa percata diri, kemandirian dan tidak bergantung kepada orang lain.

 

Kewajiban Orang Tua pada Anak-anaknya

a.       Mendoakan anak anaknya dengan doa yang baik dan jangan sekali-kali mengutuk anaknya dengan kutukan yang tidak manusiawi.

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

Dan orang-orang yang berkata:"Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa. (Al-Furqan : 74)

b.      Memelihara anak dari api neraka .

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka (At-Tahrim : 6)

c.       Menyerukan shalat pada anaknya.

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاَةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لاَنَسْئَلُكَ رِزْقًا نَّحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى

Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rizki kepadamu, Kamilah yang memberi rizki kepadamu. Dan akibat(yang baik) itu adalah bagi orang yang bertaqwa. (Thaha : 132)

d.      Menciptakan kedamaian dalam rumah tangga

وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلاَجُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْر وَأُحْضِرَتِ اْلأَنفُسُ الشُّحَّ وَإِن تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikatak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (An-Nisa : 128)

e.       Mencintai dan menyayangi anak-anaknya

وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ

Dan rahmatku meliputi sagala sesuatu (Al-A’raf : 156). Sifat rahmat dalam agama kita cakupannya meliputi dunia dan akhirat, manusia, hewan, bangsa burung dan lingkungan.

f.        Bersikap hati-hati terhadap anak-anaknya

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلاَدِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِن تَعْفُوا وَتُصْفِحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُور رَّحِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (At-Taghabun : 14)

g.      Mencari nafkah yang halal

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf. (Al-Baqarah:233)

h.      Mendidik anak agar berbakti pada bapak-ibu

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلآ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلاَتَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا

Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (Al-Isra :23)

dengan cara mendoakannya yang baik.

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah:"Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (Al-Isra : 24)

i.        Memberi air susu sampai dua tahun.

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan pernyusuan (Al-Baqarah: 233)[7]

Sebagai pendidik anak-anaknya, ayah dan ibu mempunyai kewajiban dan memiliki bentuk yang berbeda karena keduanya berbeda kodrat. Ayah berkewajiban mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan keluarganya melalui pemanfaatan karunia Allah Swt di muka bumi

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاَةُ فَانْتَشِرُوا فِي اْلأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللهِ وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Al-Jumu’ah : 10)

dan selanjutnya di nafkahkan pada anak dan istrinya

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai saru tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Al-Baqarah : 228)

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf. (Al-Baqarah : 233)

Kewajiban ibu adalah menjaga, memelihara, dan mengelola keluarga di rumah suaminya, terlebih lagi mendidik dan merawat anaknya. Dalam sabda Nabi Muhammad Saw:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ. فَالإمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَهِيَ مَسْئُولَةٌ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ. أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ

Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya, dan ia pun akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang budak juga pemimpin atas harta tuannya dan ia juga akan dimintai pertanggungjawabannya. Sungguh setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya (HR. Bukhari). Hal itu berimplikasi pada pola dan sistem pendidikan laki-laki dan pendidikan wanita.[8]

 

2.   Masjid

Secara harfiah, masjid adalah tempat untuk bersujud. Namun, dalam arti terminologi, masjid diartikan sebagai tempat khusus untuk melakukan aktivitas ibadah dalam arti yang luas. Dewasa ini, fungsi masjid mulai menyempit, tidak sebagaimana zaman Nabi Muhammad Saw. Hal itu terjadi karena lembaga-lembaga sosial keagamaan semakin memadat, sehingga masjid terkesan sebagai tempat ibadah shalat saja. Pada mulanya, masjid merupakan sentral kebudayaan masyarakat Islam, pusat organisasi kemasyarakatan, pusat pendidikan serta tempat ibadah dan i’tikaf.[9]

Di dalam al-Qur’an, kosakata masjid disebut sebanyak delapan belas kali dan dihubungkan dengan berbagai hal dan kegiatan. Diantaranya ada kosakata masjid yang dihubungkan dengan masjidil haram sebanyak 14 kali (lihat al-Baqarah: 144, 149, 150, 191, 196, 217; al-Maidah: 2; al-Anfal; al-Taubah: 7, 19, 28; al-Isra: 1, al-Hajj: 25, salah satunya dalam surat al-Fath, Allah berfirman:  

هُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ وَصَدُّوكُمۡ عَنِ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ وَٱلۡهَدۡيَ مَعۡكُوفًا أَن يَبۡلُغَ مَحِلَّهُۥۚ وَلَوۡلَا رِجَالٞ مُّؤۡمِنُونَ وَنِسَآءٞ مُّؤۡمِنَٰتٞ لَّمۡ تَعۡلَمُوهُمۡ أَن تَطَ‍ُٔوهُمۡ فَتُصِيبَكُم مِّنۡهُم مَّعَرَّةُۢ بِغَيۡرِ عِلۡمٖۖ لِّيُدۡخِلَ ٱللَّهُ فِي رَحۡمَتِهِۦ مَن يَشَآءُۚ لَوۡ تَزَيَّلُواْ لَعَذَّبۡنَا ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۡهُمۡ عَذَابًا أَلِيمًا

Merekalah orang-orang yang kafir yang menghalangi kamu dari (masuk) Masjidil Haram dan menghalangi hewan korban sampai ke tempat (penyembelihan)nya. Dan kalau tidaklah karena laki-laki yang mukmin dan perempuan-perempuan yang mukmin yang tiada kamu ketahui, bahwa kamu akan membunuh mereka yang menyebabkan kamu ditimpa kesusahan tanpa pengetahuanmu (tentulah Allah tidak akan menahan tanganmu dari membinasakan mereka). Supaya Allah memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Sekiranya mereka tidak bercampur-baur, tentulah Kami akan mengazab orang-orang yag kafir di antara mereka dengan azab yang pedih (al-Fath: 25)

dan ada pula kosa kata masjid yang dihubungkan sebagai tempat melaksanakan shalat

يَٰبَنِيٓ ءَادَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمۡ عِندَ كُلِّ مَسۡجِدٖ وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ وَلَا تُسۡرِفُوٓاْۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُسۡرِفِينَ

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan (al-A’raf: 31). Ada yang dihubungkan dengan masjid yang pertama kali dibangun oleh Nabi Muhammad Saw di Madinah, sebagaimana firman Allah Saw.

لاَتَقُمْ فِيهِ أَبَدًا لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا وَاللهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ

Janganlah kamu shalat dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih. (al-Taubah : 108)

Masjid Semenjak berdirinya di zaman Nabi Saw, masjid telah menjadi pusat kegiatan dan informasi berbagai masalah kaum muslimin, baik yang menyangkut pendidikan maupun sosial ekonomi. Namun, yang lebih penting adalah sebagai lembaga pendidikan. Perkembangan masjid sangat signifikan dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat, terlebih lagi pada saat masyarakat Islam mengalami kemajuan,  urgensi  masyarakat terhadap masjid menjadi semakin kompleks, hal ini menyebabkan karakteristik masjid berkembang menjadi dua bentuk yaitu masjid sebagai tempat sholat jum’at atau jami dan masjid biasa. Kurikulum pendidikan dimasjid biasanya merupakan tumpuan pemerintah untuk memperoleh pejabat-penjabat pemerintah, seperti qodhi, khotib dan imam masjid.

Masjid juga berperan dalam pendidikan Islam, masjid pada masa Rasulullah Saw. dijadikan tempat untuk memberi pelajaran, di antara siswa yang menjadi siswa di Masjid Nabi adalah Ali bin Abi Talib dan Abdullah bin Abbas, di dalam masjid dipelajari kaidah-kaidah hukum agama.

Struktur pengajian di Masjid Nabi lebih merupakan bentuk nonformal, walau bagaimanapun struktur pengajian yang lebih sistemik dan formal dapat diadakan apabila sebuah surau didirikan bersambungan dengan masjid tersebut lalu diberi nama al-Suffah. Oleh karena struktur pengajian di sini lebih sistemik dan formal, di masjid juga diberikan pengajaran tentang kesehatan  dan  obat- obatan (medicine).

Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, negeri Parsi, Syam, Mesir dan seluruh semenanjung tanah Arab ditaklukkan, Khalifah Umar bin Khattab telah memerintahkan para gubernurnya untuk mendirikan masjid-masjid di semua negeri dan kota-kota yang telah dikuasai oleh pemerintah Islam, pada abad ketiga hijrah, kota Baghdad sudah penuh dengan masjid, demikian pula kota Mesir, atas perintah khalifah, masjid yang pertama kali dibangun adalah masjid Amru bin Ash. Di masjid ini diberikan pelajaran-pelajaran agama dan akhlak dan secara berangsur-angsur pula pelajaran-pelajaran di masjid ini semakin meningkat.

Pada masa khalifah Umar bin Khattab juga ada instruksi kepada penduduk kota supaya diajarkan kepada anak-anak mereka tentang berenang, mengendarai kuda, memanah, dan membaca serta menghafal syair-syair mudah dan peribahasa, Instruksi Umar itu dilaksanakan oleh guru-guru di tempat-tempat yang dapat dilaksanakan. Misalnya berenang dapat dilaksanakan di kota-kota yang mempunyai sungai seperti di Irak, Syam, Mesir dan lain-lain.

Pada masa Abbasyiah, sekolah-sekolah terdiri dari beberapa tingkat:

1)      Tingkat sekolah rendah, yaitu kuttab untuk tempat belajar anak-anak. Di samping kuttab ada pula anak-anak belajar di rumah, di istana, di toko-toko dan di pinggir pasar.

2)      Tingkat sekolah menengah, yaitu di masjid dan di majelis sastra dan ilmu pengetahuan, sebagai sambungan dari kuttab.

3)      Tingkat perguruan tinggi, seperti Baitul Hikmah di Bagdad, dan Darul Ilmi di Mesir, di masjid-masjid dan lain-lain.

Masjid dalam sejarah Islam sebenarnya merupakan madrasah pertama setelah Dar al-Arqam bin al-Arqam. Di dalam masjid itulah terkumpul berbagai macam persoalan pokok kaum muslimin sejak mulai masalah politik, agama, kebudayaan hingga kemasyarakatan. Masjid Bashrah dan Kuffah, keduanya memegang peranan besar dalam pembinaan kesustraan, ilmu pengetahuan, bahasa dan agama pada periode awal perkembangan Islam. Masjid Kairo senantiasa membina para pelajar Universitas al-Azhar dengan menggunakan gaya dan metode pendidikan yang menggunakan masjid sebagai basis utamanya. Setiap guru besar atau Syeikh Kabir mengambil tempat di sudut masjid, ia duduk di sana, dikelilingi oleh para pelajar dan muridnya. Masjid juga digunakan sebagai tempat bagi para ahli kisah untuk bercerita kepada orang banyak tentang kisah-kisah yang mengandung ibarat dan yang bergaya hiburan.[10]

 

Fungsi  Utama Masjid

a.       Sebagai lembaga pendidikan informan dan nonformal. Fungsi masjid sebagai lembaga pendidikan informal dapat dilihat dari perannya sebagai tempat ibadah shalat lima waktu, berzikir dan berdoa. Pada semua kegiatan tersebut terdapat nilai-nilai pendidikan mental spiritual yang amat dalam. Adapun peran masjid sebagai lembaga pendidikan non formal dapat dilihat dari sejumlah kegiatan pendidikan dan pengajaran dalam bentuk halaqah yang dipimpin oleh seorang ulama dengan materi utamanya tentang ilmu agama Islam dengan berbagai cabangnya. Kegiatan tersebut berlangsung mengalir sedemikian rupa tanpa aturan formal yang tertulis dan mengikat secara kaku.

b.      Fungsi masjid sebagai lembaga pendidikan sosial kemasyarakatan dan kepemimpinan. Hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dapat dipelajari di masjid dengan cara melibatkan diri dalam berbagai kegiatan yang bersifat amaliah, seperti al-Suffah. [11]

Fungsi masjid dapat lebih efektif bila di dalamnya disediakan fasilitas-fasilitas terjadinya proses belajar mengajar seperti: a) perpustakaan, yang menyiapkan berbagai buku bacaan dengan berbagai disiplin keilmuan. b) ruang diskusi atau rapat, c) ruang kuliah, baik digunakan untuk training (tadrib) remaja masjid atau juga untuk madrasah Diniyah, d) teknik khotbah dapat diubah dengan teknik komunikasi transaksi, yakni antara khatib dengan para audien terjadi dialog aktif satu sama lain. Mengenai teknik ini Rasulullah Saw  pernah melakukannya: Dari Abu Rifa'ah katanya : ‘Saya sampaikan kepada Rasulullah Saw dan beliau sedang berkhotbah’, saya berkata, ‘wahai Rasulullah ada seorang musafir (Abu Rifa'ah sendiri) yang baru tiba, ingin bertanya pada tuan tentang agama, dan dia tak mengetahui apa agamanya’, kata Abu Rifa'ah. Maka datanglah Rasulullah kepada sayang dengan memutuskan khotbahnya dan beliau diberi sebuah kursi yang menurut ingatan saya kakinya dari besi’ katanya Abu Rifa’ah pula, ‘maka  Rasulullah Saw duduk di atas kursi itu dan mulailah beliau mengajari saya tentang agama dan kemudian beliau kembali lagi untuk meneruskan khotbahnya sampai selesai’ (HR. Muslim dari Abu Rifa’ah).[12]

 

3.      Pondok Pesantren

Kehadiran kerajaan bani Umaiyah menjadikan pesatnya ilmu pengetahuan, sehingga anak-anak masyarakat Islam tidak hanya belajar di masjid tetapi juga pada lembaga-lembaga yang ketiga, yaitu kuttab. Kuttab dengan karakteristik khasnya merupakan wahana dan lembaga pendidikan Islam yang semula sebagai lembaca baca dan tulis dengan system halaqah. Pada tahap berikutnya kuttab mengalami perkembangan pesat karena didukung oleh dana dari iuran masyarakat serta adanya peraturan yang harus dipatuhi oleh guru dan murid.  Di Indonesia, istilah kuttab lebih dikenal dengan istilah pondok pesantren yang memiliki ciri  adalah adanya kyai, santri, masjid dan pondok.[13]

Sistem yang ditampilkan dalam pondok pesantren mempunyai keunikan dibandingkan dengan sistem yang diterapkan dalam lembaga pendidikan pada umumnya, yaitu:

a.       Memakai sistem tradisional, yang memiliki kebebasan penuh dibandingkan dengan sekolah modern, sehingga terjadi hubungan dua arah antara kyai dan santri.

b.      Kehidupan di pesantren menampakkan semangat demokrasi, karena mereka praktis bekerja sama mengatasi problem mereka sendiri.

c.       Sistem pondok pesantren mengutamakan kesederhanaan, idealisme, persaudaraan, persamaan, rasa percaya diri dan keberanian hidup.[14]

d.      Lembaga pendidikan pesantren merupakan pusat pertemuan antara ulama dan umat, antara ilmuwan dan masyarakat awam, antara individu dan masyarakat, antara pemimpin dan rakyat dan antara klien dan konsultan, dan sebagainya.

e.       Pesantren merupakan agen pendalaman, pengembangan, pemurnian nilai adab dan budaya, serta pusat pelaksanaan proses akulturasi yang menggunakan pola dan sistem tersendiri. [15]

Sebagai lembaga yang tertua, sejarah perkembangan pondok pesantren memiliki model-model pembelajaran antara lain:

a.       Metode wetonan (halaqah). Metode yang di dalamnya terdapat seorang kyai yang membaca suatu kitab dalam waktu tertentu, sedangkan santrinya membaca kitab yang sama lalu santri mendengar dan menyimak bacaan kyai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengajar secara kolektif.

b.      Metode sorogan. Metode yang santrinya men-sorog-kan atau mengajukan sebuah kitab kepada kyai untuk dibaca dihadapannya, kesalahan dalam bacaannya itu langsung dibenahi kyai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengajar individual. [16]

Ciri-ciri khusus pondok pesantren adalah isi kurikulum yang dibuat terfokus pada ilmu-ilmu agama, misalnya tafsir al-Qur’an, hadits, fiqh, tasawuf, tarikh, retorika dan lain-lain. Literatur ilmu-ilmu tersebut memakai kitab-kitab klasik yang disebut dengan istilah kitab kuning dengan ciri-ciri sebagai berikut:

a.       Kitab-kitabnya berbahasa Arab

b.      Umumnya tidak memakai syakal/ harakat

c.       Berisi keilmuan yang cukup berbobot

d.      Banyak diantara kertanya berwana kuning

e.       Lazimnya dikaji dan dipelajari di pondok pesantren.[17]

Pada tahap selanjutnya, pondok pesantren mulai menampakkan eksistensinya sebagai lembaga pendidikan Islam yang mumpuni, yaitu di dalamnya didirikan sekolah. Akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka inovasi terhadap sistem yang selama ini digunakan, yaitu:

a.       Mulai akrab dengan metodologi modern

b.      Semakin terbuka pada pendidikan yang fungsional, artinya terbuka atas perkembangan di luar dirinya

c.       Diversifikasi program dan kegiatan makin terbuka dan ketergantungannya dengan kyai tidak absolut, dan sekaligus dapat membekali para santri dengan berbagai pengetahuan di luar mata pelajaran agama maupun keterampilan yang diperlukan di lapangan kerja

d.      Dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat.

Pondok pesantren kini mengalami transformasi kultur, sistem dan nilai. Transformasi tersebut sebagai jawaban atas kritik-kritik yang diberikan pada pesantren dalam arus transformasi ini, sehingga dalam sistem dan kultur pesantren terjadi perubahan yang drastic, misalnya:

a.       Perubahan sistem pengajaran dari perseorangan atau sorogan menjadi sistem klasikal yang kemudia kita kenal dengan istilah madrasah (sekolah).

b.      Pemberian pengetahuan umum di samping masih mempertahankan pengetahuan agama dan bahasa Arab

c.       Bertambahnya komponen pendidikan pondok pesantren, misalnya keterampilan, kepramukaan, kesehatan, olah raga serta kesenian.

d.      Lulusan pondok pesantren diberikan syahadah (ijazah) sebagai tanda tamat dari pesantren dan ada sebagian syahadah yang nilainya sama dengan ijazah negeri.[18]

 

4.      Madrasah

Dalam catatan sejarah peradaban Islam diketahui bahwa Islam (di timur tengah) pada akhir abad VIII, ketika Harun Al-Rasyid memerintah di baghdad tahun 789-809 M. Islam telah menikmati suatu peradaban budaya yang jauh lebih tinggi dengan eropa barat. Ini bertahan selama lima ratus tahun dari abad VIII sampai abad XIII, dengan ilmu pengetahuan, seni, dan pemikiran terbukti telah memengaruhi kebudayaan dunia. Salah satu kemajuan yang patut di banggakan adalah adanya pendirian madrasah sebagai institusi pendidikan Islam yang memiliki kontribusi besar dalam melahirkan atau memberikan bekal kepada kaum cendekiawan, terpelajar, negarawan, dan adminstrator.

Kajian tentang madrasah selama ini masih berkutat pada aspek madrasah sebagai institusi pendidikan Islam dilihat dari aspek historis, namun kajian yang di kaitkan dengan aspek sosial bisa dikatakan masih kurang. Padahal eksistensi madrasah baik pada abad klasik sampai abad ini tidak jauh berbeda. Dinamika madrasah yang tumbuh dan berakar dari kultur masyarakat setempat tidak akan luput dari dinamika sdan peradaban masyarakat.[19]

Madrasah merupakan isim makan dari darasa yang berarti tempat untuk belajar.  Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam muncul dari penduduk Nisapur,[20] tetapi tersiarnya melalui menteri saljuqi yang bernama Nizam al-Mulk yang mendirikan madrasah Nizamiyah (tahun 1065 M). selanjutnya Gibb dan kramers menuturkan bahwa pendiri madrasah terbesar setelah Nizam al-Mulkum adalah Shalah al-Din al-Ayyubi.[21]

Ada juga faktor yang melatar belakangi lembaga pendidikan Islam yang ada di indonesia, sekitar permulaan abad ke-20, dan secara garis besar di kelompokkan kepada dua hal yaitu: keadaan bangsa indonesia dan faktor kondisi luar negeri.

a.       Keadaan bangsa indonesia

1)      Segi ajaran Islam

Islam masuk ke indonesia sekitar abad 7-8 M. Kondisi ummat dan ajaran Islam yang ada di indonesia berbeda dengan negara-negara Islam lainya. Sebelum Islam datang, di Indonesia sudah terbentuk pola-pola kebudayaan non-muslim, terutama hindu dan budha, termasuk animisme dan dinamisme. Jadi Islam masuk ke nusantara tidak dalam kondisi vakum kultural atau vakum peradaban.

2)      Aktifitas lembaga pendidikan Islam

Tidak bisa di pungkiri bahwa sistem pendidikan dan pengajaran Islam pada masa lalu, terutama pesantren yang bersifat tradisional masih terdapat banyak kelemahan, terutama menyangkut sistem yang terdapat di dalamnya.

Pada awal ke-20, sistem pendidikan model madrasah bermunculan, sebagaimana halnya pesantren. Kemunculan madrasah ini minimal dapat di lihat dari dua sisi. Pertama, ia sebagai salah satu bentuk pengembangan yang berasal dari pesantren. Kedua madrasah lahir dari luar pesantren, seperti organisasi sosial keagaman atau organisasi sosial politik. Dalam konteks ini kelahiran madrasah bukan merupakan kelanjutan dari sistem pesantren, melainkan sistem pendidikan yang berdiri sendiri.

Diantara madrasah yang bermunculan saat itu madarsah Adabiyah merupakan madrasah pertama kali didirikan di Indonesia tahun 1909. Pada tahun 1910, berdiri madrasah Muhammadiyah, yang kemudian berubah menjadi madrasah Mu’allimim Muhammadiyah yang berdiri di Yogyakarta tahun 1911 yang di pelopori oleh KH. Ahmad Dahlan. Dari pesantren Tebu Ireng berdiri madrasah Salafiyah tahun 1916.[22]

b.      Faktor kondisi luar negeri

Keberadaan dunia Islam terutama abad ke-19 sebagian besar berada di bawah kekuasaan penjajahan barat, menghadapi keadaan demikian, nampaknya ummat Islam terbagi dalam tiga kelompok dengan sikap yang berbeda pula,

1)      Mereka yang menutup diri dan pengaruh modernisasi barat.

2)      Mereka yang membuka diri terhadap modernisasi barat.

3)      Mereka yang membuka modernisasi barat dengan penuh selektif.

Ketiga bentuk pembaharuan   merambat masuk kedalam dunia pendidikan Islam. Akhirnya lahirlah pola-pola pembaharuan pendidikan Islam, yaitu sebagai berikut:

a.       Pola yang berorientasi pada pendidikan modern di eropa

Pola ini di upayakan untuk mengambil alih segala bentuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada di barat. Hal ini di lakukan, karena menurut golongan ini, kemajuan dunia barat sekarang di sebabkan mereka mewarisi kemajuan yang pernah di miliki oleh ummat Islam dimasa jayanya. Maka dari itu tidaklah salah apabila kita juga bersikap sebagai mana orang barat dulu bersikap tehadap kemajuan dunia Islam.

b.      Pola yang berorientasi pada pemurnian kembali ajaran Islam

Ummat harus kembali pada ajaran yang asli yang bersumberkan pada al-Qur’an dan hadist tanpa di tambah ataupun di kurangi. Yang menjadi ciri khas gerakan ini adalah tajdid terletak pada kemampuan akal maka pengetahuan modern yang lebih menyadarkan pada akal harus di pelajari di samping pengetahuan tradisional. Sebagai tema sentral adalah menolak taklid.

c.       Pola yang berorientasi pada nasionalisme dan kekayaan budaya bangsa masing-masing

Adanya pemahaman bahwa ajaran Islam dapat diterapkan sesuai dengan kondisi, waktu, dan tempat, melahirkan pemikiran untuk berupaya memperbaiki ummat Islam dengan memerhatikan kondisi objektif ummat Islam itu tempat ia berada.

Dengan demikian, kita ketahui bahwa permulaan abad ke-20, merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan madrasah hampir di seluruh indonesia, dengan nama dan tingkatan yang bervariasi. Namun madrasah-madrasah tersebut pada awal perkembangannya, masih bersifat diniyah semata-mata. Dalam memantapkan keberadaanya dilakukanlah pembaharuan terhadap madrasah, khususnya dengan penambahan pengetahuan umum.

Usaha ke arah penyatuan dan penyeragaman sistem tersebut baru di rintis sekitar tahun 1950 setelah indonesia merdeka. Pada perkembanganya, madrasah terbagi dalam jenjang-jenjang pendidikan, madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah, dan madrasah aliyah.

Dengan keterangan tersebut dapat di pahami bahwa madrasah tersebut adalah penekananya sebagai suatu lembaga yang mengajarkan ilmu-ilmu ke-Islaman. Perkataan madrasah di tanah arab ditujukan untuk semua sekolah secara umum, akan tetapi di indonesia di tujukan buat sekolah-sekolah yang mempelajari ajaran-ajaran Islam. Madrasah pada prinsipnya adalah kelanjutan dari sistem pesantren.[23]

Tumbuh dan berkembangnya madrasah di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan tumbuh dan berkembangnya ide-ide pembaruan dikalangan umat Islam. Di permulaan abad ke-20 timbul beberapa perubahan bagi umat Islam indonesia.

Diantara ulama yang berjasa dalam menggagas timbulnya madrasah di Indonesia antara lain Syekh Abdullah Ahmad, pendiri madrasah Adabiyah di padang pada tahun 1909. Pada tahun 1915 madrasah ini menjadi HITS Adabiyah yang tetap mengajarkan agama.[24] Madrasah di Indonesia masih bisa di anggap sebagai perkembangan lanjut atau pembaharuan dari lembaga pendidikan pesantren dan surau. Menarik untuk di catat bahwa di ukur dari ketentuan-ketentuan fisik pada abad 11-12 M struktur pesantren agaknya menyerupai madrasah di baghdad abad 11-12.

Perpaduan antara sistem pada pondok pesantren atau pendidikan langgar dan sistem yang berlaku pada sekolah-sekolah modern merupakan sistem pendidikan dan pengajaran yang dipergunakan di madrasah. Proses perpaduan tersebut berangsur-angsur dan mengikuti sistem klasikal. Sistem pengajian kitab yang selama ini dilakukan, di ganti dengan bidang-bidang pelajaran tertentu, walaupun masih menggunakan kitab-kitab yang lama.

Bahkan, kemudian lahirlah madrasah-madrasah yang mengikuti sistem perjenjangan dan bentuk-bentuk sekolah modren, seperti Madrasah Ibtidaiyyah sama dengan Sekolah Dasar, Madrasah Tsanawiyah sama dengan Sekolah Menengah Pertama, dan Madrasah Aliyah sama dengan Sekolah Menengah Atas. Kurikulum madrasah dan sekolah–sekolah agama masih mempertahankan agama sebagai mata pelajaran pokok, walaupun dengan persentase yang berbeda.

Kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam setidak-tidaknya mempunyai beberapa latar belakang, di antaranya:

a.       sebagai manifestasi dan realisasi pembaharuan sistem pendidikan Islam.

b.      usaha  penyempurnaan  terhadap  sistem  pendidikan  yang  lebih memingkinkan lulusanya memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum, misalnya masalah kesamaan kesempatan kerja dan perolehan ijazah.

c.       adanya sikap mental pada sementara golongan ummat Islam yang terpukau pada barat sebagai sistem pendidikan modern.

d.      Sebaga upaya untuk menjembatani antara sistem pendidikan tradisional yang dilakukan oleh pesantren dan sistem pendidikan modern dari hasil akuturasi.[25]

Tugas lembaga madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam adalah:

a.       Merealisasikan pendidikan Islam yang didasarkan yang didasarkan atas prinsip piker, akidah dan tasyri’ yang diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan.

b.      Memelihara fitrah murid sebagai insan yang mulia, agar ia tak menyimpang dari tujuan Allah menciptakannya.

c.       Memberikan kepada murid dengan seperangkat peradaban dan kebudayaan islami, dengan cara mengintegrasikan antara ilmu-ilmu alam, ilmu sosial, ilmu eksakta yang dilandasakan atas ilmu-ilmu agama, sehingga murid mampu melibatkan dirinya kepada perkembangan iptek.

d.      Memberikan wawasan nilai dan moral serta peradaban manusia yang membawa khazanah pemikiran murid menjadi berkembang.

e.       Menciptakan suasana kesatuan dan kesamaan antar-murid. Tugas ini tampaknya sulit dilakukan karena murid masuk lembaga madrasah dengan membawa status sosial dan status ekonomi yang berbeda.

f.        Menyempurnakan tugas-tugas lembaga pendidikan keluarga, masjid dan pesantren.

Keberhasilan lembaga madrasah sebagai wahana pendidikan Islam tidak disangsikan lagi. Para lulusan yang dihasilkan tampaknya sudah dapat mengimbangi kebutuhan dan tuntunan dan masyarakat dan zaman. Walaupun demikina, keberhasilan itu membawa efek sampingan. Hal itu dapat kita sebagai berikut:

a.       Mengekor dan berkiblat pada kebudayaan Barat serta filsafatnya. Kecenderungan itu dapat kita lihat bahwa madrasah modern memuat literature yang berisikan peradaban dan kebudayaan Barat. Memang benar, hal itu tidak menimbulkan kerugian bagi seorang muslim untuk mengambil hikmah dari hasil non-muslim asal tidak menggoyahkan akidah saja. Akan tetapi, kalau kita teliti dengan cermat, sebenarnya ilmuwan barat telah mengubah dasar penelitian yang telah ditentukan oleh leluhur kita, lalu menggunakan metode-metode yang bersifat logis dan empiris tanpa asas-asas keagamaan dan idealistis. Demikian pula, ilmu-ilmu barat mempunyai ideologis yang bertentangan dengan akidah tauhid yang hidup dalam hati sanubari setiap muslim.

b.      Kepribadian murid menjadi pecah (sekularis). Kecenderungan pemikiran barat mendisintegrasikan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, sehingga muncullah prinsip: “apa milik Tuhan biarlah milik Tuhan dan apa miliki kaisar biarlah untuk kaisar’. Apalagi filsafat positivism yang hanya mengkaji fakta tanpa menghubungkan dengan agama. Bila anak telah terperangkap dalam kondisi demikian, jiwanya akan terpecah-pecah dan memiliki kecenderungan bahwa ilmu pengetahuan yang dipelajari akan bertambah berkembang apabila bebas dari nilai-nilai dan moral agama. Inilah yang menyebabkan hilangnya kepribadian insani dan rabbani yang seharusnya mempunyai sikap mental spiritual yang tertuang dalam trikotomi pusat kemanusiaan dan trilogi hubungan manusia.

c.       Menjadikan ijazah dan ujian sebagai tujuan sebagai tujuan pendidikan. Madrasah sekarang terjebak dengan formalitas. Sebagai akibat yang dihasilkan, output pendidikan menjadi manusia-manusia yang formalis yang gila pujian, sanjungan gelar kesarjanaan, dan identitas diri, tanpa mempertimbangkan kemampuan yang dimiliki. Apabila seorang lulusan madrasah berijazah tinggi tetapi kemampuan yang dimiliki tidak seimbang, maka akan menimbulkan kesenjangan sosial.[26]

 

5.      Kuttab

Kuttab (Arabic: كُتَّابkuttāb, plural: kataatiib, كَتاتِيبُ) adalah pola pendidikan klasik yang sudah ada sebelum masa Rasulullah SAW. Sistem inilah yang diadopsi menjadi pembelajaran dasar kalangan anak-anak di zaman Rasulullah SAW. Nabi Muhammad Saw pernah memerintahkan para tawanan perang Badar yang dapat menulis dan membaca untuk mengajar sepuluh anak-anak Madinah.

Di antara penduduk Mekah yang mula-mula belajar menulis huruf Arab di kuttab ini adalah Sufyan bin Umayyah bin Abdul Syams dan Abu Qais bin Abdul Manaf bin Zuhrah bin Kilab. Keduanya belajar dari Bisyr bin Abdul Malik yang mempelajarinya dari Hirah. Kuttab dalam bentuk awalnya berupa ruangan di rumah seorang guru.

Sejalan dengan meluasnya wilayah kekuasaan kaum muslimin, bertambah pulalah jumlah penduduk yang memeluk Islam, ketika itu kuttab-kuttab yang hanya mengambil tempat di ruangan rumah guru mulai dirasakan tidak memadai untuk menampung anak-anak yang jumlahnya semakin besar, kondisi yang demikian mendorong para guru dan orang tua murid mencari tempat lain yang lebih lapang untuk ketentraman belajar anak-anak, tempat yang mereka pilih adalah sudut-sudut masjid.

Selain dari kuttab-kuttab yang diadakan dalam masjid terdapat pula kuttab umum dalam bentuk madrasah yang  mempunyai gedung sendiri dan dapat menampung ribuan murid. Kuttab jenis ini bersifat formal, Kuttab ini mulai berkembang karena adanya pengajaran khusus bagi anak-anak keluarga raja, pembesar, dan pegawai istana yang diasuh oleh seorang mu’addib (pendidik), bentuk pengajaran yang demikian akhirnya berkembang menjadi kuttab-kuttab umum, pendidik yang mulai mengembangkan pola pengajaran khusus itu ke arah pembentukan kuttab umum menurut Ahmad Syalabi ialah Hajjaj bin Yusuf as-Saqafi (w.714). Al-Hajjaj pada  mulanya  menjadi  mu’addib  anak-anak  Sulaiman  bin  Na‟im yang menjadi wazir Abdul Malik bin Marwan, pada saat inilah ia mengembangkan pendidikan anak dari bentuk khusus di rumah pembesar raja menjadi bentuk pendidikan umum yang  disebut  kuttab umum, dari sini pula karir al-Hajjaj meningkat menjadi pembesar khalifah Bani Umayyah, al-Walid I (705-715).

Pendidikan tingkat rendah Islam diadakan  di  kuttab-kuttab juga diberikan di istana untuk anak-anak pejabat, didasarkan pemikiran bahwa pendidikan itu harus bersifat menyiapkan anak didik agar mampu melaksanakan tugas-tugas, setelah dewasa nanti, atas dasar pemikiran tersebut, khalifah dan keluarganya serta para pembesar istana lainnya berusaha menyiapkan agar  anak-anak mereka sejak kecil sudah diperkenalkan dengan tugas-tugas  yang  akan dipikulnya nanti, corak pendidikan anak-anak  di  istana berbeda dengan pendidikan anak-anak di kuttab-kuttab pada umumnya, rencana pelajaran untuk pendidikan di istana pada garis besarnya sama dengan rencana pelajaran pada kuttab-kuttab hanya sedikit ditambah dan dikurangi sesuai dengan kehendak orang tua mereka.

Dalam catatan sejarah membuktikan bahwa perkembangan kuttab berlangsung dengan pesat. Dahhak bin Muzahim, seorang mufasir, memiliki kuttab yang menampung murid sebanyak 3000 orang, sehingga Dahhak bin Muzahim harus menunggangi keledai untuk mengecek murid-muridnya. Pada sisi lain, dalam periode Mamluk, hampir setiap pendiri kuttab mendirikan kuttab sabil, yaitu kuttab untuk anak yatim piatu. Pendidikan di kuttab sabil diberikan secara gratis.

Kuttab merupakan tempat pertama seorang anak belajar membaca Alquran, menulis, prinsip-prinsip agama, bahasa dan ilmu hitung. Kesenian menulis atau kaligrafi sangat diperhatikan pula karena merupakan bagian dari kesenian lukis-melukis. Di kuttab disediakan pengasuh-pengasuh khusus di bidang tesebut di atas secara penuh, demikian pula, Rasulullah SAW. sendiri telah mempekerjakan orang-orang Islam (para sahabat) yang tahu tulis baca untuk mencatat ayat-ayat Alquran, untuk mengajar kaum muslimin pun beliau meminta bantuan orang non-Muslim untuk mengajar kaum Muslimin membaca dan menulis karena pada masa itu jumlah kaum Muslimin yang pandai tulis baca masih sedikit.

Keterampilan tulis baca yang merupakan materi utama pendidikan kuttab – menjadi semakin penting sejalan dengan berkembangya komunitas Muslim Madinah, kebutuhan paling penting, tentunya, adalah mencatat wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW. dari waktu ke waktu. Tetapi tulis-baca ini juga dibutuhkan untuk memungkinkan komunikasi antara umat Islam dengan suku-suku dan bangsa-bangsa lain, tulis-baca sebagai  sebuah prioritas penting dapat dilihat dalam peristiwa pembebasan beberapa tawanan perang badar.

 

6.      Al-Hawanit al-Warraqin (Toko Kitab )

Al-Hawanit al-Warraqin (arab: حوانيت الوراقين), pada masa ini bermunculan toko-toko buku sebagai agen komersil dan sekaligus berfungsi sebagai center of learning. Ini berawal pada permulaan Daulah Abbasiyah, yang   kemudian menyebar dengan cepat ke berbagai ibukota dan Negara-negara berbeda di negeri Islam. Para pemilik toko-toko ada yang telah dapat menulis kitab-kitab monumental dengan karya-karyanya, diantaranya Ibn al-Nadim (995 M) yang menulis kitab Fihrisat (Indent of Nadim), Ali bin Isa yang menulis bermacam- macam kitab, dan Yaqut al-Hammi yang menulis Mu’jam al-Udaba, dan Mu’jam al-Buldam.

Toko-toko buku memiliki peranan penting dalam kegiatan keilmuan Islam, pada awalnya memang hanya menjual buku-buku, tetapi berikutnya menjadi sarana untuk berdiskusi dan berdebat, bahkan pertemuan rutin sering dirancang dan dilaksanakan disitu. Disamping toko buku, perpustakaan juga memiliki peranan penting dalam kegiatan transfer keilmuan Islam.

 

7.      Al-Shalunat Al-Adabiyah (Sanggar Seni dan Sastra)

Al-Shalunat al-Adabiyah (arab: الصالونات الأدبية), lembaga ini merupakan pengembangan dari majelis-majelis al-Khulafa al-Rashidin. Selain mengurus masalah-masalah pemerintahan, juga memberikan fatwa-fatwa agama melalui forum masjid ataupun diluar masjid. Forum ini mengalami kemajuan yang cukup pesat, karena sering diadakan semacam perlombaan syair dan perdebatan para fuqaha dan diskusi diantara para sarjana dari berbagai disiplin ilmu. Sehingga muncullah tokoh-tokoh yang aktif hadir dalam forum tersebut : 1) Dari Kalangan Penyair: Abu Nuwas, Abu al-Itahiyah Da‟bal, Muslim Ibn al-Walid dan al-Abbas al-Ahnaf. 2) Dari kalangan musisi, Ibrahim al-Mawali dan anaknya bernama Ishaq. 3) Dari kalangan ahli Gramatika: Abu Ubaidah, al-Ismail al- Kisai, Ibn-Siman, al-Wa’iz dan al-Waraqid.

 

8.      Zawiyah

Zawiyah (Arab: زاوية ) pada awalnya merujuk pada sudut bangunan, seringkali masjid, tempat sekelompok orang berkumpul untuk mendengarkan pengajaran seorang Syaikh. Zawiyah seperti ini terdapat misalnya di Jami’ al-Athiq yang dibangun oleh Amru bin al-Ash begitu ia menaklukkan Fusthath. Pada Zawiyah ini ilmu fiqh seperti ilmu - ilmu yang lain sesuai dengan bidang Syaikhnya, merupakan bagian dari kegiatan pewarisan ilmu.  Zawiyah ini adalah bangunan yang lebih kecil dibandingkan dengan Khanaqah. Zawiyah adalah bangunan kecil yang sederhana, yang dipusatkan di seputar seorang Syaikh, yang semula adalah tidak permanen karena sering Syaihnya adalah seorang pendatang.

Zawiyah dibangun oleh seeorang Syaikh pada tarekat tertentu. Pembangunan ini diharapkan mampu memperhanyak anggota dari tarekat tersebut, karena bangunan ini lebih kecil dibanding dengan Khanaqah maka ia tidak mempunyai seperangkat aturan yang jelas. Zawiyah di Mesir menjelang penaklukan Turki Usmani dikelompokkan ke dalam dua jenis yaitu:

a.         Zawiyah tradisional yang mempunyai hubungan erat dengan penguasa (Mamluk).

b.         Zawiyah yang lebih independen, dan Zawiyah inilah yang sering menjalankan fungsinya sebagai masjid dan Ribath, yaitu menyediakan fasilitas ibadah, makanan dan perlindungan bagi orang miskin. Contoh dari bagian kedua ini adalah Zawiyah Syaikh Ibnu Riwam yang selalu menolak bantuan. Meskipun Zawiyah ini pada awalnya hanya berupa bangunan kecil, namun dalam perkembangannya, menurut Fernandes banyak bangunan Zawiyah yang berupa aula yang besar, sebagai tempat pertemuan para sufi. Kemegahan dan kebesaran bangunan Zawiyah ini ditentukan oleh kemashuran dari Syaikhnya itu.[27]

 

9.         Ribath

Ribath (Arab: رِبَـاط) adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauhkan diri dari kehidupan duniawi, dan mengonsentrasikan diri untuk semata–mata ibadah. Juga memberikan perhatian terhadap kegiatan keilmuan yang dipimpin oleh seorang syeikh yang terkenal dengan ilmu dan kesalehannya.[28]

Kata Ribath dalam bahasa Arab memiliki beberapa arti a) Sesuatu yang dibuat untuk mengikat (tali dan sebagainya), membalut, b) Sekawanan kuda, rombongan (pasukan) berkuda, c) Tangsi, markas tentara, d) Tempat diwakafkan untuk fakir miskin, e) Hati. Dalam bahasa Indonesia kata Ribath mengandung arti gedung atau tempat melakukan pelatihan ibadah dan kewajiban lain. Dalam bahasa Spanyol kata Ribath berasal dari kata Ribato yang berarti “Serangan balik yang berdasarkan metode perang klasik”. [29]

Ribath  semula adalah barak-barak tentara muslim yang berada di garis depan pertempuran.  Ribath diposisikan di perbatasan daerah yang masih dikuasai musuh atau yang sedang dalam proses penaklukan. Seiring dengan perjalanan waktu dan kondisi politik, maka penghuni  ribath  mengalihkan kecenderungan hidup dari pola perang fisik melawan musuh ke pola perang melawan diri dan jiwa dengan praktik sufi. Dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam bahwa Syaykh ‘Abd al-Qadir al-Jailani menggunakan model  ribath  untuk tempat tinggal bersama keluarga dan tempat belajar muridnya dibanding model yang lain.[30]

Sebagian tokoh mengatakan bahwa istilah Ribath diambil dari firman Allah swt. dalam surat al-Anfal ayat 60 :

وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا ٱسۡتَطَعۡتُم مِّن قُوَّةٖ وَمِن رِّبَاطِ ٱلۡخَيۡلِ تُرۡهِبُونَ بِهِۦ عَدُوَّ ٱللَّهِ وَعَدُوَّكُمۡ وَءَاخَرِينَ مِن دُونِهِمۡ لَا تَعۡلَمُونَهُمُ ٱللَّهُ يَعۡلَمُهُمۡۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيۡءٖ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ يُوَفَّ إِلَيۡكُمۡ وَأَنتُمۡ لَا تُظۡلَمُونَ 

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka (orang--orang kafir) kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari Ribat al-Khail (kuda-kuda yang ditambat untuk berperang). (Dengan persiapan itu), kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang tidak kamu ketahui, sedangkan Allah mengetahui.

Ribath merupakan pusat kegiatan kaum sufi, tempat pembinaan dan penggemblengan para calon sufi yang diisi dengan kegiatan pendidikan, pelatihan, pengkajian agama dan ibadat kepada Allah swt. Istilah ini banyak digunakan di bagian barat dunia Islam (seperti Maroko dan Tunisia). Pengertiannya sama dengan Khanqah di bagian Timur (seperti Persia, India), Zawiyah di bagian Tengah dunia Islam atau Tekke di Turki.

Ribath adalah sebuah istilah yang menunjukkan tempat berkumpulnya para sufi dan ahli tarekat guna melaksanakan latihan-latihan spiritual. Menurut Maqrizi, Ribath adalah rumah para sufi, setiap kelompok (kaum) mempunyai rumah dan ribath adalah rumah para sufi. Dalam hal ini mereka mirip dengan ahli al-Suffah ( sekelompok sahabat yang mendiami emperan masjid Nabi di Madinah). Penghuni ribath adalah orang yang mempunyai ikatan (murabith) dengan maksud, tujuan serta keadaan yang sama. Ribath dibangun untuk (mempunyai) maksud tujuan ini.[31]

Ribath dibangun untuk mendidik para calon sufi. Di dalam ribath terdapat berbagai aturan yang berkaitan dengan urutan jabatan bagi guru, yakni mulai Dari al-mufid (fasilitator), al-mu’id (asisten), al-mursyid (guru) sampai kepada al-syaikh (maha guru/ guru besar). Urutan tingkatan pada murid mulai dari tingkat dasar (al-mubtadi’), menengah (al-mutawasith), tinggi (al-‘ali atau aliyah). Bagi seorang murid yang sudah tamat dilakukan upacara pelepasan (semacam wisuda), kemudian diberikan ijazah, dan diberi kewenangan untuk mengajar. Selain itu terdapat pula lambing-lambang yang membedakan kelompok al-ribath tertentu dengan al-ribath yang lain. Mereka kemudian membentuk semacam kelompok yang kompak dan solid, karena didasarkan oleh persamaan ideologi dan ikatan emosional antara guru dan murid, atau antara kawan dan kawan. [32]

 

10.  Khanaqoh

Khanaqah (Persia: خانقاه) berasal dari bahasa Persi Okhaniqah yang dalam bentuk jamaknya adalah Khanqaha. Ada juga yang berpendapat bahwa khanaqah itu berasal dari bahasa arab Khanqah yang dalam bentuk jamaknya adalah khawaniq, semuanya itu bermakna ruang atau rumah. Namun istilah Khanqah ini baru mendapat perhatian dari para sejarawan setelah abad ke-4/10.

Dalam perkembangannya istilah ini digunakan Muhammad Ibnu Karram (806-869), seorang pelajar hadis dan penyebar paham asketik di Iran Selatan dan Iran Timur. Dia berhasil meraih pengikut dari masyarakat kelas bawah transoxania Afganistan dan Iran Timur, Yang mengajarkan sebuah jalan hidup menuju  taqwa Allah. Guru sufi yang mengikuti tindakannya ialah Syaikh Abu Ishaq Ibrahim al-Kazaruni (963-1033), dia menampung sejumlah besar pengikut sufi di rumahnya di Iran Barat. Ia juga membangun 65 Khanaqah Iran Selatan sebagai pusat pengajaran, pusat misionari dan tempat mendistribusikan shodaqah pada fakir miskin. Keluarga dekatnya yang bernama Abu Sa’id Ibnu Abu al-Khoir (967-1049) yang lahir dan meninggal di Nishapur adalah guru besar sufi yang pertama kali menyusun aturan-aturan peribadatan dan sebuah kitab hukum perilaku dan mengatur kehidupan  komunal khanaqah. Sekitar akhir abad ke-11 selain berfungsi missionari, tetapi juga digunakan untuk makam guru-guru besar sufi dan akhirnya menjadi tempat peziarah mukim awam. Aturan- aturan tersebut antara lain ialah:

a.       Ahli Khanqah harus memperhatikan kebersihan baik kebersihan fisik maupun kebersihan spiritual. Seluruh tempat tinggal tempat ibadah, harus selalu dalam keadaan suci. Sangat dianjurkan mereka agar memelihara wudlu secara berkesinambungan.

b.      Ahli Khanqah tidak dibenarkan menghabiskan waktu dengan berbincang-bincang, lebih-lebih di tempat khanqah atau tempat suci lainnya.

c.       Ahli Khanqah harus melaksanakn shalat lima waktu secara berjama’ah pada awal waktu.

d.      Ahli Khanqah harus melaksanakan qiyam  a1-lail (shalat malam) yang panjang untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah.

e.       Ahli Khanqah harus menggunakan waktu setelah shalat subuh untuk memanjatkan do’a dan memohon ampun.

f.        Ketika menjelang pagi harus melajutkan kegiatannya itu dengan membaca Alqur’an sebanyak mungkin biasanya sampai siang.

g.      Pada waktu siangnya juga harus mengurusi fungsi sosial seperti mengurusi orang-orang fakir yang datang ke khanqah demi untuk mendapatkan sesuap nasi.

h.      Mengembangkan tradisi makan bersama, demi mempertebal rasa persaudaraan dan kebersamaan dalam menikmati rahmat Tuhan.

i.        Kebersamaan ini betul-betul mereka tanamkan, seperti ahli khanqah tidak boleh meninggalkan khanqah tanpa memberi tahu pada salah seoranag yang hadir di sana.

j.        Waktu shalat Isya’ keseluruhannya harus dimanfaatkan untuk zikir dan wirid.[33]

 

F.     Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia

Pendidikan Islam di Indonesia pada masa awalnya bersifat informal, yakni melalui interaksi inter-personal yang berlangsung dalam berbagai kesempatan seperti aktivitas perdagangan,  karena  lalu lintas perdagangan laut internasional yang melewati wilayah nusantara sudah ramai. Dakwah Bil Hal atau keteladanan pada konteks ini mempunyai pengaruh besar dalam menarik  perhatian dan minat seseorang untuk mengkaji atau memeluk ajaran Islam. Selanjutnya setelah agama ini berkembang di tiap-tiap desa yang penduduknya telah menjadi muslim umumnya didirikan  langgar  atau masjid, fasilitas tersebut bukan hanya  sebagai  tempat  shalat saja, melainkan juga tempat untuk belajar membaca al Qur’an dan ilmu-ilmu keagamaan yang bersifat elementer lainnya.

Interelasi Islam dan kebudayaan Jawa di bidang pendidikan tidak lupa dari perjuangan Walisongo dalam mengislamkan tanah jawa dan perkembangan pendidikan pesantren di tanah Jawa, secara historis, asal-usul pesantren tidak dapat di pisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo abad 15-16. pesantren merupakan lembaga pendidikan yang unik di Indonesia. Lembaga pendidikan ini telah berkembang, khususnya di Jawa selama berabad-abad.

Pesantren Ampel Denta dan Giri Kedaton adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri Kedaton, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang, sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.

Sunan Ampel menganut fikih  mahzab  Hanafi.  Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran  sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang  mengenalkan  istilah  “Mo  Limo”  (moh  main,  moh  ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.” Sunan   Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.

Pesantren Sunan Giri terletak di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik, dalam bahasa Jawa, bukit adalah “giri”, maka ia dijuluki Sunan Giri. Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan, memberi keleluasaan padanya untuk mengatur  pemerintahan,  maka  pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton.  Sebagai  pemimpin  pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata. Giri Kedaton  tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu, Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak, hal tersebut tercatat dalam Babad Demak, selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri, ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah  Jawa,  Giri  Kedaton bertahan hingga 200 tahun.

Menurut para ahli, pesantren baru dapat disebut pesantren bila memenuhi lima syarat, yaitu ; (1) ada kiyai; mungkin mencakup ideal kiyai untuk zaman kini dan nanti.(2) ada pondok; akan mencakup syarat-syarat fisik dan nonfisik, pembiayaan, tempat dan lain-lain.(3) ada masjid; cakupannya akan sama dengan masjid.(4) ada Santri; melingkupi masalah syarat, sifat dan tugas santri.(5) ada pengajaran membaca kitab kuning; bila diluaskan akan mencakup kurikulum pesantren dalam arti luas.

Klasifikasi pesantren dibagi menjadi dua macam, pertama, pesantren salafi, yaitu pesantren yang mengajarkan kitab-kitab islam klasik. Sistem madrasah diterapkan untuk mempermudah teknik pengajaran sebagai pengganti metode sorogan. Pada pesantren ini tidak diajarkan pengetahuan umum. Kedua, pesantren khalafi, yang selain memberikan pengajaran kitab Islam klasik juga membuka sistem sekolah umum di lingkungan dan di bawah tanggung jawab pesantren.

Kekuatan kiyai pesantren berakar pada kredibilitas moral dan kemampuan mempertahankan pranata sosial. Kredibilitas moral itu, dibina antara lain dengan dukungan kealiman (pengetahuan agama, kemampuan membaca kitab kuning), kesalihan prilaku (termasuk ketaatan melakukan ibadah ritual), pelayanan kepada masyarakat Muslim (dalam arti yang luas), serta adanya kemampuan supra rasional yang dimiliki oleh sebagian kiyai. Terlepas dari benar atau tidaknya kiyai memilki kemampuan itu, tetapi ternyata Nabi Muhammad SAW memiliki kemampuan seperti itu, seperti tergambar di dalam al-Quran surat al-Hujarat ayat 14.

Pelaksanaan pendidikan keagamaan Islam di Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Peraturan Pemerintah ini merupakan penjelasan lebih lanjut dari Undang- Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang tertuang dalam PP No. 55 tahun 2007 mengatur tentang pelaksanaan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan pada jenjang pendidikan formal, nonformal, dan informal. Hal yang menarik dari PP No. 55 tahun 2007 ini adalah diakuinya majelis taklim, pengajian kitab, pendidikan Alquran dan diniyah takmiliyah sebagai bagian dari pendidikan keagamaan Islam nonformal.

Majlis taklim telah dipakai dalam pendidikan sejak abad pertama islam, mulanya ia merujuk pada arti tempat-tempat pelaksanakan belajar mengajar. Pada perkembangan  berikutnya disaat dunia pendidikan islam mengalami zaman keemasan, majlis berarti sesi di mana aktivitas pengajaran  berlangsung.  Seiring  dengan perkembangan pengetahuan dalam islam,majlis digunakan sebagai kegiatan transfer ilmu pengetahuan, dan majlis banyak ragamnya, menurut Muniruddin Ahmad ada 7 (tujuh)  macam  majlis, seperti: Majlis Al-Hadits, Majlis Al-Tadris, Majlis Al- Manazharah, Majlis Muzakarah, Majlis Al-Syu’ara, Majlis Al-Adab, Majlisal-Fatwa dan Al-Nazar. Majelis taklim merupakan lembaga pendidikan tertua dalam Islam, sebab sudah dilaksanakan sejak zaman Rasulullah SAW. Meskipun tidak disebut dengan majelis taklim, pengajian Nabi Muhammad SAW. yang berlangsung secara sembunyi-sembunyi di rumah Arqam bin Abil Arqam di zaman Rasul SAW. atau periode Mekah dapat dianggap sebagai majelis taklim dalam konteks sekarang. Pada periode Madinah, ketika Islam telah menjadi kekuatan nyata dalam masyarakat, penyelenggaraan pengajian itu lebih pesat. Rasulullah SAW. duduk di masjid Nabawi untuk memberikan pengajian kepada para sahabat dan kaum muslimin ketika itu. Hingga saat ini di Masjidilharam terdapat pengajian (majelis taklim) yang diasuh ulama-ulama terkenal dan terkemuka serta dikunjungi para jamaah.

Pengajian kitab kuning alias kitab klasik menjadi ciri khas Pondok Pesantren. Santri yang sudah Pengajian kitab kuning dilakukan dengan dua cara, yaitu: (a) dengan sistem sorogan atau wetonan/bandongan dan (b) sistem klasikal di madrasah diniyah (madin).

Madrasah diniyah merupakan lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran secara klasikal yang bertujuan untuk memberi tambahan pengetahuan agama Islam kepada pelajar-pelajar yang merasa kurang menerima pelajaran agama Islam di sekolahannya. Keberadaan lembaga ini sangat menjamur dimasyarakat karena merupakan sebuah kebutuhan pendidikan.

Penyelenggaraan madrasah diniyah mempunyai ciri berbeda dan orientasi yang beragam. perbedaaan tersebut disebabkan oleh faktor yang mempengaruhinya, seperti latar belakang yayasan atau pendiri madrasah diniyah, budaya masyarakat setempat, tingkat kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan agama dan kondisi ekonomi masyarakat dan lain sebagainya.

 

G.    Sifat dan Karakter Lembaga Pendidikan Islam

Sifat dan karakter lembaga pendidikan Islam antara lain:

1.      Lembaga pendidikan Islam bersifat religius. Hal ini terjadi, karena berdirinya lembaga pendidikan Islam selain untuk kepentingan pengembangan ilmu dalam rangka mencerdasakan masyarakat, juga dilakukan karena semata-mata mengharap keridhaan Allah Swt. Berdirinya lembaga pendidikan Islam bukan atas intruksi atau undang-undang, melainkan atas dorongan niat yang ikhlas mengharapkan keridhaan Allah Swt.

2.      Lembaga pendidikan Islam bersifat holistik, terdiri dari lembaga pendidikan informal, nonformal dan formal. Informal dapat diwakili oleh rumah (al-bait); non formal seperti masjid, zawiyah, ribath; sedangkan yang formal yaitu madrasah.

3.      Lembaga pendidikan Islam bersifat dinamis dan inovatif. Dinamakan dinamis, karena lembaga pendidikan Islam tidak terpaku pada satu bentuk saja, melainkan mengambil berbagai bentuk sesuai dengan kebutuhan ilmu atau keterampilan yang ingin dikembangkan. Dan dikatakan inovatif, karena lembaga pendidikan Islam selalu mengalami pembaruan dan pengembangan yang tidak ada contoh atau model sebelumnya.

4.      Lembaga pendidikan Islam bersifat responsif dan fleksibel, yakni senantiasa menyesuaikan diri atau menjawab berbagai kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, umat Islam telah menggunakan seluruh kemungkinan yang tersedia untuk kepentingan pendidikan. Dengan demikian, lembaga pendidikan Islam telah membuktikan salah satu sifat pendidikan Islam yang menerapkan prinsip belajar seumur hidup dan belajar di mana saja.

5.      Lembaga pendidikan Islam bersifat terbuka, yakni dapat diakses atau digunakan untuk seluruh lapisan masyarakat dengan berbagai latar belakang keahlian, status sosial, ekonomi, budaya, dan lain sebagainya. Hal ini sejalan dengan prinsip Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh alam.

6.      Lembaga pendidikan Islam berbasis masyarakat. Hal ini selain karena lembaga pendidikan Islam tersebut dapat digunakan oleh seluruh masyarakat, juga karena dibangun dan diadakan oleh masyarakat.[34]



[1] W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), cet. ke-12, hal. 582.

[2] Abudin Nata, Ilmu pendidikan Islam, hal 189-190.

[3] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 223

[4] Sidi Gazalba, Pendidikan Umat Islam: Masalah Terbesar Kurun Kini Menentukan Nasib Umat, Jakarta: Bhratara, 1970, hal. 26-27.

[5] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 225

[6] Abudin Nata, Ilmu pendidikan Islam, hal 191.

[7] Abd al-Rahman al-Nahlawi, ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibuha, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), hal. 123-127.

[8] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 226

[9] Ibid.,  hal. 231

[10] Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 194-195

[11] Ibid.,  hal. 195.

[12] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 232-233

[13] Ibid.,  hal. 234

[14] Ibid.,  hal. 235

[15] Ibid.,  hal. 240

[16] Ibid., hal. 236

[17] Ibid.,  hal. 238

[18] Ibid.,  hal. 238

[19] Enung K Rukianta, Sejarah Pendidikan Islam, Bandung: CV pustaka setia, 2006, hal.113

[20] Ibid.

[21] Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1988, hal. 111-112

[22] Abdur Rahman Assegaf, Pendidikan Islam Di Indonesia, Yogyakarta: Suka Press 2007, hal.94

[23] Haidar Putra Daulay, Sejarah dan Pertumbuhan Pendidikan Islam, Jakarta: kencana, 2007, hal. 93

[24] Ibid, hlm. 96

[25] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 241

[26] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 250

[27] Emroni, Kontribusi Lembaga Sufi Dalam Pendidikan Islam, Jurnal Taswir, Vol. 3 No. 5, Januari – Maret, 2015, hal. 122

[28] Iskandar Engku dan  Siti Zubaidah, Sejarah Pendidikan Islami, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2014, hal. 43.

[29] Emroni. Kontribusi Lembaga Sufi Dalam Pendidikan Islam, hal. 121

[30] Sahri, Dimensi Politik  dalam Ajaran-ajaran Tasawuf : Studi Kasus atas Manaqib Syaikh Abd Al Qadir Al -  Jailani ), Asy Syir’ah : Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, Vol. 45 No. II, Juli  – Desember, 2011, hal. 131

[31] Emroni, Kontribusi Lembaga Sufi Dalam Pendidikan Islam, hal. 122

[32] Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 204

[33] Emroni, Kontribusi Lembaga Sufi Dalam Pendidikan Islam, hal. 123

[34] Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 194-195

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KATA PENGANTAR BUKU ILMU PENDIDIKAN ISLAM

MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

MATERI PERKULIAHAN: TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM