MURID DALAM PENDIDIKAN ISLAM

 BAB 8

MURID DALAM PENDIDIKAN ISLAM

 

A.    Pengertian Murid

Secara etimologi, murid berarti ‘orang yang menghendaki’. Sedangkan menurut arti terminologi, murid adalah pencari hakikat di bawah bimbingan dan arahan seorang pembimbing spiritual (mursyid). Sedangkan thalib secara bahasa berarti ‘orang yang mencari’, sedang menurut istilah tasawuf adalah ‘penempuh jalan spiritual’  di mana ia berusaha keras menempuh dirinya untuk mencapai derajat sufi”. Penyebutan murid ini akhirnya dipakai untuk menyebut peserta didik pada tingkat sekolah dasar dan menengah sementara perguruan tinggi lazimnya disebut dengan mahasiswa (thalib).

Istilah murid atau thalib ini sesungguhnya memiliki kedalaman makna daripada penyebutan siswa. Artinya, dalam proses pendidikan itu terdapat individu yang secara sungguh-sungguh menghendaki dan mencari ilmu pengetahuan. Hal ini menunjukkan bahwa istilah murid dan thalib menghendaki keaktifan pada peserta didik dalam proses belajar mengajar, bukan pada pendidik. Namun dalam pepetah dinyatakan: ‘tiada tepuk sebelah tangan”. Pepatah ini mengisyaratkan adanya active learning bagi peserta didik dan active teaching bagi pendidik, sehingga kedua belah pihak menjadi “gayung bersambung” dalam proses pendidikan agar tercapai hasil secara maksimal. Ada juga yang menamainya dengan peserta didik agar cakupannya bisa lebih luas, yakni tidak hanya melibatkan anak anak tetapi juga orang dewasa. Begitu juga lebih mengisyaratkan bahwa lembaga pendidikan bukan hanya di sekolah saja tetapi juga di pendidikan non formal seperti majelis taklim, tempat pelatihan, kursus, dan sebagainya.[1]

Dalam literatur bahasa arab peserta didik memiliki banyak istilah antara lain; a) mutarabbiy yaitu orang yang sedang dijadikan sebagai sasaran untuk dididik dalam arti diciptakan, dipelihara, diatur, diurus, diperbaiki melalui kegiatan pendidikan yang dilakukan secara bersama-sama dengan murabbiy (guru). b) muta’allim yaitu orang yang sedang belajar menerima/mempelajari ilmu dari seorang mu’allim (guru) melalui proses kegiatan belajar mengajar. c) muta’addib yaitu orang yang sedang belajar meniru, mencontoh sikap dan perilaku yang sopan dan santun melalui kegiatan pendidikan dari seorang mu’addib (guru). d) daaris yaitu orang yang sedang berusaha belajar melatih intelektualnya melalui proses pembelajaran sehingga memiliki kecerdasan dan keterampilan yang dibina oleh seorang mudarris (guru).

Dari beberapa penjelasan di atas dapat diambil sebuah pengertian bahwa peserta didik/ murid dalam perspektif Islam adalah orang yang membutuhkan arahan, bimbingan, maupun pelatihan agar potensi yang dimilikinya dapat berkembang dan tumbuh secara optimal.

 

B.     Karakteristik Murid Berdasarkan Usia

Dilihat dari segi usia, dapat dibagi menjadi lima tahapan, sebagai berikut:

1.      Tahap asuhan (usia 0-2 tahun). Pada tahap ini individu belum memiliki kesadaran dan daya intelektual. Ia hanya mampu menerima rangsangan yang bersifat biologis dan psikologis melalui air susu ibunya. Dalam ajaran Islam terdapat tradisi keagamaan yang dapat diberlakukan pada usia ini, antara lain dengan memberi azan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri pada saat baru lahir (HR. Abu Ya’la). Azan dan iqamat ibarat password untuk membuka sistem saraf rohani agar anak teringat pada Allah yang pernah diikrarkan ketika berada dalam alam arwah (Al-A’raf: 172). Selain itu dilakukan aqiqah sebagai tanda syukur, pengorbanan dan kepedullian terhadap bayinya, agar anaknya menjadi anak yang saleh, memberi nama yang baik, karena nama dapat menjadi kebanggaan dan do’a bagi yang beri nama, memberikan makan madu yang melambangkan makanan yang halal dan baik, memberi air susu ibu, menggambarkan makanan yang sehat dan bergizi, serta kedekatan anak dan orang tua.

2.      Tahap jasmani (usia 2-12 tahun). Tahap ini lazim disebut sebagai fase kanak-kanak (ath-thifl/shabi), yaitu mulai masa neonates sampai masa mimpi basah. Pada tahap ini, anak mulai memiliki potensi biologis, pedagogis dan psikologis, sehingga seorang anak sudah mulai dapat dibina, dilatih, dibimbing, diberikan pelajaran dan pendidikan yang disesuaikan dengan bakat, minat dan kemampuannya.

3.      Tahap psikologis (usia 12-20 tahun). Tahap ini disebut dengan tahap mukalaf atau baligh, yaitu tahap kewajiban menerima dan memikul beban tanggung jawab (taklif). Pada masa ini seorang anak sudah dapat dibina, dibimbing dan dididik untuk melaksanakan tugas-tugas yang menuntut komitmen dan tanggung jawab dalam arti yang luas.

4.      Tahap dewasa (20-30 tahun). Pada tahap ini, seseorang sudah tidak disebut lagi anak-anak atau remaja, melaikan sudah disebut dewasa dalam arti sesungguhnya, yakni kedewasaan secara biologis, soisal psikologis, religious dan lain sebagainya. Pada fase ini, mereka sudah memiliki kematangan dalam bertindak, bersikap dan mengambil keputusan untuk menentukan masa depannya sendiri.

5.      Tahap bijaksana (30 sampai akhir hayat). Pada fase ini, manusia telah menemukan jati dirinya yang hakiki, sehingga tindakannya sudah memiliki makna dan mengandung kebijaksanaan yang mampu memberi naungan dan perlindungan bagi orang lain. Pendidikan pada tahap ini dilakukan dengan cara mengajak mereka agar mau mengamalkan ilmu, keterampilan, pengalaman, harta benda, kekuasaan dan pengaruhnya untuk kepentingan masyarakat.[2]

 

C.    Karakteristik Murid Berdasarkan Teori Fitrah

Di dalam al-Qur’an Allah Swt menyatakan:

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَتَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَيَعْلَمُونَ

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, (Ar-Rum :30)

Selanjutnya di dalam haditsnya, Rasulullah Saw bersabda:

كُلّ موْلودٍ يُولدُ على الفِطرَة فأبواه يُهَوِّدانه أو يُنصِّرانه أو يُمجسّانه

Setiap anak yang dilahirkan memiliki fithrah, sehingga kedua orangtualah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi (HR. al-Aswad bin sari)

Di dalam pandangan Islam,  fitrah mengandung makna kejadian yang di dalamnya berisi potensi dasar beragama yang benar dan lurus (al-dien al-qayyim) yaitu Islam. Potensi dasar ini tidak dapat diubah oleh siapa pun atau lingkungan apa pun, karena fitrah itu merupakan ciptaan Allah yang tidak akan mengalami perubahan baik isi maupun bentuknya dalam tiap pribadi manusia. [3]

 

D.    Karakteristik Murid Berdasarkan Tingkat Kecerdasan

Kepada orang yang genius penyampaian pelajaran lebih cocok jika dilakukan dengan metode dan pendekatan yang berpusat pada peserta didik (student centris), yaitu metode dan pendekatan yang lebih banyak melibatkan peserta didik untuk terlibat dalam memecahkan masalah (problem solving), melakukan uji coba sebuah teori (eksperimen), penugasan (resitasi) dan sebagainya.  Selanjutnya kepada orang yang idiot, debil dan embisil, penyampaian pelajaran lebih cocok jika dilakukan dengan metode dan pendekatan yang berpusat pada guru (teacher sentris), yaitu metode dan pendekatan yang lebih banyak melibatkan guru untuk memberikatan bimbingan, contoh, model, petunjuk, arahan, pengawasan dan sebagainya. Adapun kepada orang yang IQ-nya biasa saja dapat dilakukan metode dan pendekatan yang menggabungkan antara aktivitas guru dan aktivitas murid, seperti dengan menggunakan metode diskusi, tanya jawab, seminar, dramatisasi dan sebagainya.  Di samping memiliki kecerdasan intelektual (IQ), manusia juga memiliki kecerdasan bahasa, kecerdasan matematika, kecerdasan estetika, kecerdasan etika, kecerdasan sosial, kecerdasan emosional, kecerdasan ruangan (spesial), kecerdasan olah gerak tubuh (kinestetik). Untuk itu, sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai, setiap guru perlu memiliki data yang memadai tentang kondisi setiap peserta didik yang akan mereka didik.[4]

 

E.     Karakteristik Murid Berdasarkan Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya

Dalam kaitan dengan latar belakang ekonomi dapat diketahui adanya murid yang berlatar belakang sebagai orang yang mampu, kurang mampu, miskin, sangat miskin atau sedang-sedang saja.  Dalam kaitan dengan latar belakang status sosial dapat diketahui adanya murid yang berlatar belakang sebagai anak pejabat tinggi, pejabat menengah, pegawai rendahan dan rakyat biasa. Selanjutnya dalam kaitan dengan latar belakang budaya dapat diketahui adanya peserta didik yang berlatar belakang sebagai anak yang tinggal dalam budaya perkotaan, budaya pedesaan, budaya daerah tertentu dan lain sebagainya.  Dengan mengetahui latar belakang sosial ekonomi dan budaya tersebut, maka seorang guru dapat menentukan metode dan pendekatan yang tepat dalam memberlakukan mereka, serta membangun  komunikasi yang tepat, wajar dan proposional, tanpa ada maksud untuk memberikan perlakuan yang istimewa antara satu dan lainnya atau menampakkan sikap dan perlakuan yang deskriminatif di antara mereka.[5]

 

F.     Etika Murid Terhadap Dirinya Sendiri

Etika murid terhadap dirinya sendiri,[6] yaitu:

1.      Hendaknya siswa membersihkan hatinya dari segala macam kotoran, rasa hasud, akidah yang buruk serta akhlak yang tercela.

الأول أن يطهر قلبه من كل غش ودنس وغلّ وحسد وسوء عقيدة وخلق

2.      Seorang menuntut ilmu yaitu semata-mata karena ridlo Allah SWT.

الثاني حسن النية في طلب العلم بأن يقصد به وجه الله تعالى

3.      Seorang murid hendaknya memanfaatkan masa mudanya dan waktu-waktunya untuk mencapai keberhasilan dalam menuntut ilmu dan tidak terbujuk pada kebiasaan buruk yaitu menunda-nunda dan berkhayal atau berangan-angan.

الثالث أن يبادر شبابه وأوقات عمره إلى التحصيل ولا يغتر بخدع التسويف والتأميل

4.      Seorang murid sebaiknya menerima apa yang ada padanya baik itu berupa pakaian, makanan, dan lain sebagainya.

الرابع  أن يقنع من القوت بما تيسر وإن كان يسيرًا ومن اللباس بما يستر مثله

5.      Seorang murid seyogianya mengatur waktu antara siang dan malam.   Menggunakan   dengan   sungguh-sungguh   umur   yang dimilikinya untuk belajar. Karena umur adalah hal yang tak ternilai harganya.

الخامس أن يقسم أوقات ليله ونهاره ويغتنم ما بقي من عمره فإن بقية العمر لا قيمة له

6.      Salah satu kiat terbaik agar fokus belajar, mudah paham dan tidak bosan adalah memakan makanan yang halal seperlunya saja.

السادس من أعظم الأسباب المعينة على الاشتغال والفهم وعدم الملال أكل القدر اليسير من الحلال

7.      Hendaknya seorang murid bersifat wara dalam segala hal. Mencari atau memilih yang halal baik itu makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan pada seluruh yang dia butuhkan.

السابع  أن يأخذ نفسه بالورع في جميع شأنه ويتحرى الحلال في طعامه وشرابه ولباسه ومسكنه وفي جميع ما يحتاج إليه

8.      Seorang  murid  hendaknya  menyedikitkan  makan  yang dapat menjadikan bodoh dan lemahnya panca indera seperti apel yang masam, kubis dan minum cuka.

الثامن أن يقلل استعمال المطاعم التي هي من أسباب البلادة وضعف الحواس كالتفاح الحامض والباقلا وشرب الخل

9.      Seorang  murid  sebaiknya  meminimalkan  waktu  tidur selagi tidak berdampak buruk pada diri sendiri, akal, dan hatinya serta tidak menambah alokasi waktu tidur lebih dari 8 jam (sepertiga waktu) dalam sehari semalam.

التاسع أن يقلل نومه ما لم يلحقه ضرر في بدنه وذهنه ولا يزيد في نومه في اليوم والليلة على ثمان ساعات وهو ثلث الزمان

10.  Hendaknya seorang murid meninggalkan banyak pergaulan yang tidak penting. sebab meninggalkan hal tersebut sangat baik bagi murid  apalagi  pada  lawan  jenis. 

العاشر أن يترك العشرة فإن تركها من أهم ما ينبغي لطالب العلم ولاسيما لغير الجنس وخصوصًا لمن كثر لعبه

 

G.    Etika Murid Terhadap Gurunya

Etika murid terhadap gurunya[7] sebagai berikut:                   

1.      Seorang murid seyogyanya memprioritaskan untuk memilih guru  dan  beristikharah  kepada  Allah  perihal  kepada  siapa  ia  akan menuntut  ilmu.  Sebaiknya  memilih  guru  yang  akhlaknya  baik demikian pula dengan adabnya.

الأول أنه ينبغي للطالب أن يقدم النظر ويستخير الله فيمن يأخذ العلم عنه ويكتسب حسن الأخلاق والآداب منه

2.      Hendaknya  seorang  murid  senantiasa  taat  kepada  gurunya dalam segala hal. Tidak diperbolehkan keluar dari pengamatan guru, senantiasa bersamanya (dekat dengan guru) seperti orang sakit yang senantiasa didampingi oleh seorang dokter ahli.

الثاني أن ينقاد لشيخه في أموره ولا يخرج عن رأيه وتدبيره بل يكون معه كالمريض مع الطبيب الماهر

3.      Seorang  murid  hendaknya  memandang  gurunya  dengan pandangan yang terhormat dan berkeyakinan pada sang guru bahwa beliau memiliki derajat yang sempurna.

الثالث أن ينظره بعين الإجلال ويعتقد فيه درجة الكمال            

4.      Hendaknya seorang murid mengetahui hak-hak gurunya dan tidak lupa akan keutamaan beliau.

الرابع أن يعرف له حقه ولا ينسى له فضله

5.      Hendaknya seorang murid senantiasa sabar terhadap perilaku buruk gurunya dan tidak memalingkan hal tersebut dari ketetapan serta bagusnya akidah.

الخامس أن يصبر على جفوة تصدر من شيخه أو سوء خلق ولا يصده ذلك عن ملازمته وحسن عقيدته

6.      Hendaknya  seorang murid  berterimakasih  kepada  gurunya atas kelulusannya. Karena terdapat keutamaan di sana, berterimakasih atas sindirannya karena ada kekurangan di sana, juga karena diatur-atur saat malas, perhatiannya dan sebagainya.

السادس أن يشكر الشيخ على توقيفه على ما فيه فضيلة وعلى توبيخه على ما فيه نقيصة أو على كسل يعتريه أو قصور يعاينه أو غير ذلك

7.      Hendaknya  seorang  murid  tidak  datang  ke  dalam  majelis gurunya kecuali mendapat izin dari beliau seperti halnya ketika beliau sendiri maupun sedang bersama dengan orang lain.

السابع أن لا يدخل على الشيخ في غير المجلس العام إلا باستئذان سواء كان الشيخ وحده أو كان معه غيره

8.      Hendaknya seorang murid duduk di depan gurunya dengan sopan, seperti halnya anak kecil yang duduk di depan guru, atau duduk bersila dengan tawadlu, rendah hati, tenang dan khusyu

الثامن أن يجلس بين يدي الشيخ جلسة الأدب كما يجلس الصبي بين يدي المقري أو متربعًا بتواضع وخضوع وسكون وخشوع

9.      Hendaknya murid sebisa mungkin harus sopan tutur katanya kepada guru. Tidak boleh berkata “kenapa? ” (seakan tidak percaya dan meremehkan apa yang disampaikan guru), “baiklah saya terima” (saat si murid minta penjelasan dan agak kurang memuaskan), “siapa yang menukil ini?” (seakan tidak yakin dengan yang disampaikan guru), “mana tempatnya?” (meragukan amanah ilmiyah guru), dan semacamnya.

التاسع أن يحسن خطابه مع الشيخ بقدر الإمكان ولا يقول له لم ولا لا نسلم ولا من نقل هذا ولا أين موضعه وشبه ذلك

10.  Jikalau mendengarkan guru yang membicarakan tentang masalah hukum, atau faidah-faidah yang asing, atau bercerita tentang sebuah  kisah,  atau  melantukan  syiir  sedangkan  murid  sudah  hafal maka  sebaiknya  seorang  murid  mendengarkan  hal  tersebut  dengan antusias, mengambil manfaat dari beliau, seolah-olah pelum pernah mendengarkan sekalipun.

العاشر إذا سمع الشيخ يذكر حكمًا في مسألة أو فائدة مستغربة أو يحكي حكاية أو ينشد شعرًا وهو يحفظ ذلك أصغى إليه إصغاء مستفيد له في الحال متعطش إليه فرح به كأنه لم يسمعه قط. قال عطاء: إني لأسمع الحديث من الرجل وأنا أعلم به منه فأريه من نفسي أني لا أحسن منه شيئًا .

11.  Hendaknya seorang murid tidak mendahului gurunya dalam menjelaskan suatu masalah atau menjawab persoalan dari masalah tersebut atau selainnya. Tidak memperlihatkan kalau ia mengetahui penjelasan daripadanya sebelum guru menjelaskan. Namun, apabila guru mempersilahkan muridnya untuk mendahuluinya maka hal itu tidak apa-apa (diperbolehkan).

الحادي عشر أن لا يسبق الشيخ إلى شرح مسالة أو جواب سؤال منه أو من غيره ولا يساوقه فيه ولا يظهر معرفته به أو إدراكه له قبل الشيخ فإن عرض الشيخ عليه ذلك ابتداء والتمسه منه فلا بأس.

12.  Jikalau  seorang murid  menerima  sesuatu  dari  gurunya maka murid harus menerimanya dengan menggunakan tangan kanan.

الثاني عشر إذا ناوله الشيخ شيئًا تناوله باليمين

13.  Jika  seorang  murid  sedang  berjalan  bersama  dengan gurunya maka hendaknya berjalan di depannya ketika malam hari, dan berjalan di belakangnya ketika siang hari, kecuali jika kondisinya tidak mendukung  karena  keramaian  atau  semisalnya.  Murid  berjalan  di depan  guru  saat  di  tempat-tempat  yang  tidak  diketahui  kondisi keamanannya  seperti  di  daerah  lumpur,  telaga  atau  tempat-tempat berbahaya lainnya.

الثالث عشر إذا مشى مع الشيخ فليكن أمامه بالليل وخلفه بالنهار إلا أن يقتضي الحال خلاف ذلك لزحمة أو غيرها ويتقدم عليه في المواطئ المجهولة الحال كوحل أو حوض أو المواطئ الخطرة

 

H.    Etika Murid Ketika Belajar

Etika murid ketika belajar[8] sebagai berikut:

1.      Seorang murid hendaknya mengawali pembelajaran dengan menggunakan kitab suci Al-Qur‟an yang lebih ditekankan untuk menghafalnya. Bersungguh-sungguh dalam mendalami tafsir Al-Al-Quran dan segala ilmu yang berkaitan dengannya. Karena sesungguhnya Ilmu Tafsir/ Al-Qur’an merupakan induk dari segala jenis ilmu sehingga amat penting untuk dipelajari.

الأول أن يبتدئ أولاً بكتاب الله العزيز فيتقنه حفظًا ويجتهد على إتقان تفسيره وسائر علومه فإنه أصل العلوم وأمها وأهمها

2.      Bagi pemula, hendaknya seorang murid jangan menyibukkan diri dengan masalah yang terdapat dalam perbedaan pendapat ulama dahulu atau di antara manusia, baik dalam masalah ‘aqliyat  maupun sam’iyat (hal-hal ghaib) karena dapat membuat kebimbangan dalam hati dan akal.

الثاني أن يحذر في ابتداء أمره من الاشتغال في الاختلاف بين العلماء أو بين الناس مطلقًا في العقليات والسمعيات فإنه يحير الذهن ويدهش العقل

3.      Hendaknya seorang murid mentashih bacaannya (Al-Qur‟an) sebelum  ia  menghafalnya  baik  gurunya  yang  mentashih  ataupun lainnya yang sekiranya dapat membantunya. Kemudian setelah selesai ditashih baru menghafalnya dengan teratur/telaten dan juga senantiasa mengulang-ulang hafalannya dengan baik.

الثالث أن يصحح ما يقرؤه قبل حفظه تصحيحًا متقنًا إما على الشيخ أو على غيره مما يعينه ثم يحفظه بعد ذلك حفظًا محكمًا ثم يكرر عليه بعد حفظه تكرارًا جيدً

4.      Hendaknya seorang murid menyibukkan diri terhadap ilmu-ilmu hadits baik yang berkaitan dengan sanadnya, rowinya, hukumnya, faidahnya, bahasanya, maupun sejarahnya.

الرابع أن يبكر بسماع والنظر في إسناده ورجاله وأحكامه وفوائده ولغته وتواريخه

5.      Kalau sudah bisa memahami yang sederhana dan menangkap maksud  yang  terkandung  di  dalamnya  silahkan  pindah  ke  level berikutnya.  Memahami  materi  tingkat  menengah  dengan  senantiasa mengkaji  ulang materi-materi  yang sudah  diperoleh,  merespon  dan mencatat masukan-masukan yang di dapati, persoalan-persoalan yang rumit, dan kasus-kasus yang asing, menjawab pertanyaan-pertanyaan serta menelaah perbedaan-perbedaan antara kasus-kasus yang mirip.

الخامس إذا شرح محفوظاته المختصرات وضبط ما فيها من الإشكالات والفوائد المهمات انتقل إلى بحث المبسوطات مع المطالعة الدائمة وتعليق ما يمر به أو يسمعه من الفوائد النفيسة والمسائل الدقيقة والفروع الغريبة وحل المشكلات والفروق بين أحكام المتشابهات

6.      Hendaknya murid menghadiri halaqoh gurunya dalam hal pengajaran  dan  pembacaan  (Al-Qur’an),  bahkan  semua  majelisnya jika memungkinkan. Sesungguhnya hal tersebut tidak akan menambah kecuali pada kebaikan, keberhasilan, adab, dan juga keutamaan.

السادس أن يلزم حلقة شيخه في التدريس والإقراء بل وجميع مجالسه إذا أمكن فإنه لا يزيده إلا خيرًا وتحصيلاً وأدبًا وتفضيلاً

7.      Ketika  hadir  dalam  majelis  gurunya,  hendaknya  seorang murid mengucapkan salam kepada seluruh hadirin dengan suara yang bisa didengar oleh mereka khususnya oleh guru untuk menambah rasa hormat dan kesopanan begitu juga ketika hendak pulang.

السابع إذا حضر مجلس الشيخ سلم على الحاضرين بصوت يسمع جميعه ويخص الشيخ بزيادة تحية وإكرام

8.      Seorang murid hendaknya bersikap sopan santun dengan seluruh yang hadir di dalam majelis gurunya. Sesungguhnya  bersikap sopan santun kepada seluruh yang hadir dan memuliakannya termasuk menghormati gurunya.

الثامن أن يتأدب مع حاضري مجلس الشيخ فإنه أدب معه واحترام لمجلسه

9.      Seorang  murid  sebaiknya  tidak  malu  untuk  bertanya tentang  sesuatu  yang  menurutnya  sulit/susah  dan  berusaha  untuk memahaminya  dengan  pelan -pelan  dan  hendaknya  bertanya  dengan adab yang baik.

التاسع أن لا يستحيي من سؤال ما أشكل عليه وتفهم ما لم يتعقد بتلطف وحسن خطاب وأدب وسؤال.

10.  Hendaknya seorang murid menunggu giliran untuk maju dengan tidak mendahului yang lainnya, terkecuali mendapat ridla (izin) dari orang lain tersebut.

العاشر مراعاة نوبته فلا يتقدم عليه بغير رضا من هي له

11.  Seorang murid seharusnya menjaga posisi duduk di depan gurunya  seperti  penjabaran  yang  telah  dijelaskan  sebelumnya, berperilaku  sopan  santun  terhadapnya,  mengeluarkan  buku  yang  ia pelajari di hadapan guru dan membawanya sendiri.

الحادي عشر أن يكون جلوسه بين يدي الشيخ على ما تقدم تفصيله وهيأته في أدبه مع شيخه ويحضر كتابه الذي يقرأ منه معه ويحمله بنفسه.

12.  Apabila sampai pada gilirannya untuk membuka pelajaran dan sudah meminta izin guru. Jika guru sudah memberikan izin, maka hendaknya  murid  membuka  pelajaran  dengan  membaca  ta‟awudz, basmalah, tahmid, dan shalawat kepada Nabi Muhammad saw berserta keluarga  dan  sahabatnya.  Kemudian  berdoa  untuk  guru,  kedua orangtua, diri sendiri, dan seluruh umat Islam.

الثاني عشر  إذا حضرت نوبته استأذن الشيخ كما ذكرناه فإذا أذن له استعاذ بالله من الشيطان الرجيم ثم يسمي الله تعالى ويحمده ويصلي على النبي - صلى الله عليه وسلم - وعلى آله وصحبه ثم يدعو للشيخ ولوالديه ولمشايخه ولنفسه ولسائر المسلمين

13.  Hendaknya para murid mendorong semangat temannya dalam menuntut ilmu, membantu menghilangkan keraguan dan kemalasan, serta senang hati membagi pengetahuan yang diperoleh.

 الثالث عشر أن يرغب بقية الطلبة في التحصيل ويدلهم على مظانه ويصرف عنهم الهموم المشغلة عنه ويهون عليهم مؤنته ويذاكرهم بما حصله من الفوائد

 

I.        Etika Murid Terhadap Bukunya

Etika murid terhadap buku-bukunya[9] sebagai berikut:  

1.      Seyogyanya bagi murid berusaha dalam memperoleh buku-buku yang dibutuhkannya, apabila memungkinkan dengan cara membeli dan apabila tidak maka dengan cara menyewa atau meminjam karena itu semua merupakan salah satu alat dalam menghasilkan ilmu pengetahuan.

الأول ينبغي لطالب العلم إن يعتني بتحصيل الكتب المحتاج إليها ما أمكنه شراء وإلا فإجارة أو عارية لأنها آلة التحصيل

2.      Diajurkan meminjamkan buku kepada orang yang tidak menyebabkan buku tersebut rusak

الثاني يستحب إعارة الكتب لمن لا ضرر عليه فيها ممن لا ضرر منه بها لما فيه من الإعانة على العلم مع ما في مطلق العارية من الفضل والأجر.

3.      Jika kita menyalin dari buku tersebut atau muthola’ah (membaca ulang) maka janganlah meletakkan dalam tanah dalam keadaan terbuka.

الثالث إذا نسخ من الكتاب أو طالعه فلا يضعه على الأرض مفروشاً منشوراً

4.      Apabila meminjam sebuah buku atau membelinya maka telitilah dahulu pada awalnya, akhirnya, dan tengahnya dan urut-urutannya pada setiap babnya dan halaman atau lembarnya.

الرابع إذا استعار كتاباً فينبغي له إن يتفقده عند إرادة أخذه ورده وإذا رأى كتاباً تعهد أوله وآخره ووسطه وترتيب أبوابه وكراريسه وتصفح أوراقه

5.      Apabila menyalin sesuatu berupa ilmu pengetahuan syari’at maka sebaiknya dalam keadaan suci dan menghadap kiblat.

الخامس: إذا نسخ شيئاً من كتب العلوم الشرعية فينبغي أن يكون على طهارة مستقبلاً القبلة طاهر البدن والثياب

J.      Pendidikan Seumur Hidup

Pada prinsipnya pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan rumah tangga atau keluarga, sekolah, dan masyarakat. Karena itu pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. Konsep pendidikan seumur hidup atau pendidikan sepanjnag hayat, merumuskan suatu asas bahwa pendidikan adalah suatu proses yang terus-menerus (continue) dari bayi sampai meninggal dunia. Konsep ini sesuai dengan konsep Islam “Utlubul ilma minal mahdi ilallahdiyang artinya menuntut ilmu dari mulai buaian sampai ke liang lahat.

Ide atau gagasan pendidikan seumur hidup baru populer sejak terbitnya buku Paul Langrend yang berjudul “An Introduction to Life Long Education” sesudah Perang Dunia II, yang kemudian diambil alih oleh “International Commision on the Development of Education” PBB (UNESCO).

Dalam sistem pendidikan di Indonesia, dikenal adanya pendidikan sekolah (pendi-dikan formal), dan pendidikan luar sekolah (pendidikan nonformal dan informal). Pendidikan luar sekolah dibagi dua, yaitu yang dilembagakan dan yang tidak dilembagakan.

Pendidikan sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan di sekolah, yang teratur, sistematis, mempunyai jenjang, dan pelaksanaannya dibagi dalam waktu-waktu tertentu yang berlangsung dari mulai taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Memang sekolah bukan satu-satunya tempat bagi setiap orang untuk belajar. Namun perlu disadari bahwa sekolah merupakan tempat dan periode yang sangat strategis bagi pemerintah dan masyarakat dalam membina seseorang untuk meng-hadapi masa depannya.

Pendidikan luar sekolah yang dilembagakan adalah semua bentuk pendidikan yang diselenggarakan dengan sengaja, tertib, terarah dan berencana di luar kegiatan persekolahan. Di sini, tenaga pengajar, fasilitas, cara penyampaian materi atau bahan jar, dan waktu yang dipakai, serta komponen-komponen lainnya disesuaikan dengan keadaan peserta didik agar mendapatkan hasil yang baik. Bagi masyarakat kita yang masih banyak dipengaruhi oleh proses belajar tradisional, maka pendidikan luar sekolah yang dilembagakan merupakan cara yang baik dan mudah, dan mendorong masyarakat mau belajar, karena proses pembelajarannya dapat disesuaikan dengan keadaan lingkungan dan kebutuhan peserta didik. Pendidikan luar sekolah yang dilem-bagakan bersifat fungsional dan praktis, serta pendekatannya lebih luwes (fleksibel). Calon peserta didiknya (raw input) adalah :

1.      Penduduk usia sekolah yang tidak mendapat kesempatan bersekolah.

2.      Orang dewasa yang tidak pernah bersekolah.

3.      Siswa sekolah yang putus sekolah (drop-out), baik dari pendidikan tingkat dasar, menengah, atau pun tinggi.

4.      Siswa yang telah lulus dalam satu jenjang dan jalur pendidikan sekolah, tetapi tidak dapat melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi.

5.      Orang yang telah bekerja, dan ingin menambah keterampilan lain.

Lembaga pendidikan luar sekolah yang dilembagakan wujudnya adalah lembaga pendidikan nonformal. Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidik-an kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampu-an peserta didik. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.

Pendidikan luar sekolah yang tidak dilembagakan dikenal dengan pendidikan informal. Kegiatan pendidikan informal dilakukan oleh keluarga dan lingkungan, berbentuk kegiatan belajar mandiri. Juga merupakan proses pendidikan yang diperoleh seseorang dari pengalamannya sehari-hari dengan sadar atau tidak sadar, yang pada umumnya tidak teratur dan tidak sistematis, seperti di dalam keluarga (rumah tangga), tetangga, pekerjaan, hiburan, pasar, dan lain-lain. Namun demikian, pengaruh dan peranannya sangat besar dalam kehidupan seseorang, karena:

1.      Pendidikan dalam keluarga adalah pendidikan yang pertama dan utama bagi setiap orang. Setiap orang sejak anak-anak, remaja dan dewasa akan lebih banyak berada di rumah, dan pada masa itulah diletakkan dasar-dasar kepribadian seseorang.

2.      Pendidikan di lingkungan masyarakat adalah pendidikan sekaligus tempat praktek dalam kehidupan yang sebenarnya, sehingga orang akan menimba pengalaman, pengetahuan, keterampilan, sehingga bermanfaat dalam kehidupannya.

Cara berpikir menurut asas pendidikan seumur hidup akan mengubah pandangan kita mengenai status dan fungsi sekolah, bagaimana cara anak/peserta didik belajar, peranan guru sebagai pengajar sekaligus motivator, stimulator, dan petunjuk jalan bagi peserta didik dalam hal proses pembelajaran, dan sekolah sebagai pusat kegiatan belajar (learning centre) bagi masyarakat sekitarnya. Dengan demikian, dalam pandangan pendidikan seumur hidup, semua orang secara potensial merupakan peserta didik.

Pendidikan seumur hidup yang merupakan asas pendidikan dewasa, diamati di negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang. Dalam konteks ini diperlukan adanya strategi dalam penerapan pendidikan seumur hidup sehinga pendidikan dapat diartikan secara tepat dan benar.

Konsep kunci pendidikan seumur hidup, yaitu :

1.      Konsep pendidikan seumur hidup itu sendiri, yang diartikan sebagai tujuan atau ide formal untuk pengorganisasian dan penstrukturan pengalaman-pengalaman pendidikan. Ini berarti, pendidikan akan mencakup seluruh rentangan usia, dari yang paling muda sampai yang paling tua, dan adanya basis institusi yang berbeda dengan basis yang mendasari persekolahan konvensional;

2.      Konsep belajar seumur hidup, berarti peserta didik belajar karena respons terhadap keinginan atau angan-angan pendidikan menyediakan kondisi-kondisi yang membantu proses belajar;

3.      Konsep metode belajar seumur hidup, sebagai cara yang logis untuk mengatasi problema dan sangat terdorong untuk belajar di seluruh tingkat usia, serta menerima tantangan dan perubahan seumur hidup. Dalam keadaan demikian, perlu adanya sistem pendidikan yang bertujuan membantu perkembangan orang-orang secara sadar dan sistematik merespons untuk beradaptasi dengan lingkungan mereka seumur hidup;

4.      Kurikulum yang membantu pendidikan seumur hidup, yang didesain atas dasar prinsip pendidikan seumur hidup dan secara berurutan melaksanakan proses belajar seumur hidup. Kurikulumnya praktis untuk mencapai tujuan pendidikan dan mengimplementasikan prinsip-prinsip pendidikan seumur hidup.

 

K.    Demokrasi Pendidikan Menurut Islam

Secara etimologis, istilah demokrasi barasal dari bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat, dan cratos atau cratein, yang berarti kekuasaan atau pemerintahan. Jadi, demokrasi adalah kekuasaan atau pemerintahan rakyat. Sedangkan menurut KUBI, demokrasi diartikan sebagai, “pemerintahan rakyat; (bentuk) pemerintahan yang segenap rakyat turut serta memerintah dengan perantaran wakil-wakinya”. Di Indonesia hal ini sesuai dengan Pasal 31 Ayat (1) UUD 1945, yaitu, “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Sedangkan demokrasi secara vertikal maksudnya bahwa setiap anak (warga negara) mendapat kesempatan yang sama untuk mencapai tingkat pendidikan sekolah yang setinggi-tingginya, sesuai dengan kemampuannya.

Prinsipnya Islam memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk mengembangkan nilai-nilai fitrah yang ada dalam dirinya untuk menyelaraskan dengan perkembangan zaman. Bahkan Islam memberikan petunjuk kepada para pendidik, sekaligus menghendaki agar mereka tidak mengekang kebebasan individu dalam mengembangkan potensinya itu yang telah dibawa sejak lahir.

Demokrasi pendidikan dalam Islam, tercermin dari kewajiban semua manusia untuk menuntut ilmu, dan selalu bertanya kepada ahli ilmu.

1.    Terdapat hadits Nabi Muhammad Saw. yang artinya :

طلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

Menuntut ilmu itu diwajibkan bagi setiap orang Islam” (Riwayat Ibnu Majah, Al-Baihaqi, Ibnu Abdil Barr, dan Ibnu Adi, dari Anas bin Malik)

2.    Di dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ إِلَّا رِجَالٗا نُّوحِيٓ إِلَيۡهِمۡۖ فَاسْأَلُوا أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ 

Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kamu kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kami tidak mengetahui (Surat An-Nahl: 43)

Ayat ini mengisyaratkan bahwa jika guru dan murid dalam proses belajar mengajar dan dalam pemahaman ilmu-ilmu tersebut menghadapi hal-hal yang kurang dipahami, maka perlu bertanya kepada ahli dalam bidang ilmu bersangkutan. Jadi, memang seharusnyalah umat Islam memiliki ahli-ahli dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan tertentu. Dengan demikian umat Islam perlu terus memacu dirinya agar tidak ketinggalan zaman di bidang penguasan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dalam kaitan dengan demokrasi pendidikan, ada beberapa pedoman tata karma dalam pelaksanaan unsur demokrasi dimaksud baik bagi murid maupun guru :

1.      Saling harga-menghargai merupakan wujud dari perasaan bahwa manusia adalah makhluk yang dimuliakan Alloh Swt. Hal ini terlukis dalam firman Allah Swt:

وَلَقَدۡ كَرَّمۡنَا بَنِيٓ ءَادَمَ وَحَمَلۡنَٰهُمۡ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ وَرَزَقۡنَٰهُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَفَضَّلۡنَٰهُمۡ عَلَىٰ كَثِيرٖ مِّمَّنۡ خَلَقۡنَا تَفۡضِيلٗا 

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan (Al-Isra : 70).

2.      Penyampaian pengajaran harus dengan bahasa dan praktek yang berdasar kebaikan dan kebjiaksanaan. Allah berfirman:

ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ 

Suruhlah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik (An-Nahl :125)

3.      Perlakuan yang adil terhadap anak didik, tidak pilih kasih.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُونُواْ قَوَّٰمِينَ لِلَّهِ شُهَدَآءَ بِٱلۡقِسۡطِۖ وَلَا يَجۡرِمَنَّكُمۡ شَنََٔانُ قَوۡمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعۡدِلُواْۚ ٱعۡدِلُواْ هُوَ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ 

 Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Alloh, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencian terhadap sesuatu kaum,mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Alloh, sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (Al-Maidah : 8)

4.      Terjalinnya rasa kasioh saying antara pendidik dengan anak didik. Dalam hal ini ada hadits Rasulullah Saw. yang artinya,

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Belum dikatakan beriman di antara kamu sehingga kamu menyayangi saudaranya seperti kamu menyayangi dirimu sendiri.

5.      Tertanamnya pada jiwa pendidik dan anak didik akan kebutuhan taufik dan hidayah Allah Swt. Hal ini tergambarkan pada Surat Alfaatihah : 1-7.

Dari uraian-uraian tersebut di atas, jelaslah kiranya bahwa Islam memberi-kan dasar demokrasi dalam penyelenggaraan pendidikan, dan dengan demokrasi dalam pendidikan akan melahirkan kemajuan-kemajuan yang sangat berarti bagi umat manusia.

 

 

 

 

 

 



[1] Abdul Mujid dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 103-104

[2] Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 175-176

[3] Ibid.,, hal. 176-177

[4] Ibid., , hal. 179-180

[5] Ibid.,  hal. 180-181

[6] Hasyim Asyari, Adab Alim wa Mutaallimin, hal. 24-29

[7] Ibid., , hal. 29-42

[8] Ibid.,  hal. 42-54

[9] Ibid.,  hal. 95-102

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KATA PENGANTAR BUKU ILMU PENDIDIKAN ISLAM

MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

MATERI PERKULIAHAN: TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM