PEMBIAYAAN PENDIDIKAN ISLAM

 BAB 11

PEMBIAYAAN PENDIDIKAN ISLAM

 

A.    Pengertian Pembiayaan Pendidikan Islam

Pembiayaan pendidikan dapat diartikan sebagai ongkos yang harus tersedia dan diperlukan dalam menyelenggarakan pendidikan dalam rangka mencapai visi, misi, tujuan, sasaran, dan strategisnya. Pembiayaan pendidikan tersebut diperlukan untuk pengadaan gedung, infrastruktur dan peralatan belajar mengajar, gaji guru, gaji karyawan dan sebagainya.[1] Jadi dapat diartikan bahwa pembiayaan pendidikan Islam adalah merupakan aktivitas yang berkenaan dengan perolehan dana yang diterima dan bagaimana cara penggunaan dana untuk kemaslahatan sekolah agar tujuan pendidikan yang sudah ditetapkan bisa berjalan dengan efektif dan efisien.

 

B.     Konsep Pembiayaan Pendidikan dalam Islam

Konsep pembiayaan lembaga pendidikan Islam, secara tersirat sudah ada sejak dahulu kala, Allah Swt berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 197:

ٱلۡحَجُّ أَشۡهُرٞ مَّعۡلُومَٰتٞۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ ٱلۡحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي ٱلۡحَجِّۗ وَمَا تَفۡعَلُواْ مِنۡ خَيۡرٖ يَعۡلَمۡهُ ٱللَّهُۗ وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيۡرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقۡوَىٰۖ وَٱتَّقُونِ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ 

 (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats, berbuat Fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya Sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal. (Al-Baqarah: 197).

Bertolak dari ayat di atas, Allah Swt tidak serta merta memerintahkan kita melakukan langkah manajemen modern. Allah Swt juga tidak secara implisit mengajarkan kepada manusia tentang definisi manajemen pembiayaan pendidikan. Tetapi dengan ayat di atas, Allah seakan-akan mengatakan bahwa umat manusia harusnya bisa sukses.

Secara lebih eksplisit lagi, konsep manajemen pembiayaan pendidikan adalah nasehat Imam Syafi'i kepada para penuntut ilmu.

أَخِي لَنْ تَنَالَ العِلْمَ إِلاَّ بِسِتَّةٍ سَأُنْبِيْكَ عَنْ تَفْصِيْلِهَاٍ بِبَيَانٍ: ذَكَاءٌ وَحِرْصٌ وَاجْتِهَادٌ وَدِرْهَمٌ وَصُحْبَةُ أُسْتَاذٍ وَطُوْلُ زَمَان

Saudaraku, ilmu tidak akan diperoleh kecuali dengan enam perkara yang akan saya beritahukan rinciannya: (1) kecerdasan, (2) semangat, (3) bersungguh-sungguh, (4) dirham (kesediaan keluarkan uang), (5) bersahabat dengan ustadz, (6) memerlukan waktu yang lama.[2]

Secara jelas, syair di atas mengungkapkan betapa pentingnya arti kata biaya dan manajemennya dalam dunia pendidikan. Biaya sangat menentukan terhadap terlaksananya kegiatan suatu lembaga atau organisasi. Tanpa biaya suatu perencanaan progam sekolah/madrasah yang sudah ditentukan maka kegiatan kegiatan tersebut tidak akan terlaksana dengan baik.

 

C.    Sejarah Pembiayaan Pendidikan Islam

Dalam Islam, pembiayaan pendidikan untuk seluruh tingkatan sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara. Seluruh pembiayaan pendidikan, baik menyangkut gaji para guru/dosen, maupun menyangkut infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban negara. Ringkasnya, dalam Islam, pendidikan disediakan secara gratis oleh negara.[3]

Sebab negara berkewajiban menjamin tiga kebutuhan pokok masyarakat, yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Berbeda dengan kebutuhan pokok individu, yaitu sandang, pangan, dan papan, di mana negara memberi jaminan tak langsung. Sementara itu, dalam hal pendidikan, kesehatan, dan keamanan, jaminan negara bersifat langsung. Maksudnya, tiga kebutuhan ini diperoleh secara cuma-cuma sebagai hak rakyat atas negara.

Lebih dari itu, setelah perang Badar, sebagian tawanan yang tidak sanggup menebus pembebasannya, diharuskan mengajari baca tulis kepada sepuluh anak-anak Madinah sebagai ganti tebusannya. Ini menunjukkan perhatian pemimpin Islam pada masalah pendidikan umat Islam.

Ijma’ sahabat juga telah menunjukkan kewajiban negara menjamin pembiayaan pendidikan. Khalifah Umar dan Utsman memberikan gaji kepada para guru, muadzin, dan imam sholat jama’ah. Khalifah Umar memberikan gaji tersebut dari pendapatan negara (Baitul Mal) yang berasal dari jizyah, kharaj (pajak tanah), dan usyur (pungutan atas harta non muslim yang melintasi tapal batas negara).

Di dunia Islam, khususnya pada zaman klasik (abad ke-7 hingga 13 M), kesadaran untuk mengeluarkan biaya yang besar untuk kegiatan pendidikan sesungguhnya sudah pula terjadi. Namun berbeda motif dan tujuannya dengan motif dan tujuan yang dilakukan negara-negara maju sebagaimana tersebut di atas.

Di zaman klasik atau kejayaan Islam, motif dan tujuan pengeluaran biaya pendidikan yang besar bukan untuk mencari keuntungan yang bersifat material atau komersial, melainkan semata-mata untuk memajukan umat manusia, dengan cara memajukan ilmu pengetahuan, kebudayaan dan peradabannya.[4]

Salah satu contoh kecil perhatian pemerintah Islam dalam pendidikan adalah ketika khalifah Harun al-Rasyid membuat keputusan: “barang siapa di antara kalian yang secara rutin mengumandangkan adzan di wilayah kalian, maka catatlah pemberian hadiah sebesar 1000 dinar. Siapapun yang menghafal al-qur’an, tekun menuntut ilmu, dan rajin meramaikan majelis-majelis ilmu dan tempat pendidikan adalah berhak memperoleh 1000 dinar. Siapa saja yang menghafal al-Qur’an, meriwayatkan hadist, mendalami ilmu syariat Islam adalah berhak atas pemberian 1000 dinar”.[5]

Sejarah Islam pun telah mencatat kebijakan para khalifah yang menyediakan pendidikan gratis bagi rakyatnya. Sejak abad IV H para khalifah membangun berbagai perguruan tinggi dan berusaha melengkapinya dengan berbagai sarana dan prasarananya seperti perpustakaan.

Setiap perguruan tinggi itu dilengkapi dengan “Diwan” (auditorium), asrama mahasiswa, juga perumahan dosen dan ulama. Selain itu, perguruan tinggi tersebut juga dilengkapi taman rekreasi, kamar mandi, dapur, dan ruang makan.[6]

Di antara perguruan tinggi terpenting adalah Madrasah Nizhamiyah dan Madrasah Al-Mustanshiriyah di Baghdad, Madrasah Al-Nuriyah di Damaskus, serta Madrasah An-Nashiriyah di Kairo. Madrasah Mustanshiriyah didirikan oleh Khalifah Al-Mustanshir pada abad VI H dengan fasilitas yang lengkap. Selain memiliki auditorium dan perpustakaan, lembaga ini juga dilengkapi pemandian dan rumah sakit yang dokternya selalu siap di tempat.[7]

 

D.    Pembiayaan Pendidikan Islam di Indonesia

1.      Manajemen Pembiayaan Pendidikan Islam pada Masa Pra-Kemerdekaan.

Pendidikan Islam telah mulai berlangsung di Indonesia sejak masuknya para pedagang muslim ke negeri ini pada abad VII M. Mula-mula pendidikan agama hanya berlangsung antara individu dengan individu lainnya. Materi yang diajarkan pun hanya berkisar pada prasyarat seseorang menjadi muslim. Proses pendidikan Islam kemudian berkembang ke arah kolektif ketika sudah memberi pengaruh yang signifikan di masyarakat Indonesia.

Pengaruh pendidikan agama yang dilaksanakan oleh para dai muslim menemukan hasilnya ketika pada abad X berdiri kerajaan Islam pertama di Aceh yang bernama Pase atau kerajaan samudra (kerajaan ini juga dikenal dengan samudera pasai). Di kerajaan ini dilangsungkan pendidikan agama dengan menggunakan bahasa Arab sebagai pengantarnya.

Hal ini sesuai dengan laporan Ibnu Batutah dalam bukunya Rihlah Ibnu Batutah bahwa ketika ia berkunjung ke samudra pasai pada tahun 1354 ia mengikuti raja mengadakan halaqah setelah shalat jumat sampai waktu asar. Dari keterangan itu diduga kerajaan samudra pasai ketika itu sudah merupakan pusat agama Islam dan tempat berkumpul ulama dari berbegai negara Islam untuk berdiskusi tentang masalah-masalah keagamaan dan keduniawian sekaligus.

Zuhairi dkk. melihat bahwa pendidikan agama semi formal pertama yang berlangsung di Indonesia adalah majlis ilmu yang berlansung di kerajaan samudera pasai. Sistem pendidikan agama yang berlasung di kerajaan ini adalah sebagai berikut:

a.       Materi pendidikan dan pengajaran agama bidang syariat ialah fiqh Madzhab Syafi’i.

b.      Sistem pendidikannya secara nonformal berupa majlis taklim dan halaqah.

c.       Tokoh pemerintahan merangkap sebagai tokoh ulama.

d.      Biaya pendidikan agama bersumber dari negara.

Jadi, pada masa kerajaan Islam Pasai ini, pendidikan agama dilangsungkan oleh kerajaan dan dibiayai oleh kerajaan itu sendiri. Bahkan, setelah berdirinya Kerajaan Perlak pendidikan agama berkembang sangat baik. Sultan Mahdum Alaudin Muhammad Amin, Raja keenam Perlak, mendirikan perguruan tinggi Islam yang diperuntukkan bagi siswa yang telah alim. Dengan dukungan pendanaan dari kerajaan, perguruan ini dapat mengajarkan dan membacakan kitab-kitab agama yang berbobot pengetahuan tinggi seperti Kitab al-Umm karangan Imam Syafi’i dan sebagainya.

Berawal dari Aceh, Pendidikan Islam terus berkembang ke penjuru nusantara. Di Jawa, misi ini diusung oleh Sunan Giri menitikberatkan kegiatannya pada bidang pendidikan. Dalam hal kurikulumnya ia mengadakan kontak dengan kerajaan Pase yang bermadzhab Syafi’i.

Pendidikan Islam selanjutnya berkembang dari majlis taklim di kerajaan terus berkembang ke surau-surau dan masjid. Di Sumatera Barat surau-surau berkembang menjadi tempat pengajian untuk pemuda-pemuda muslim. Salah satunya surau besar yang mirip konsep pesantren muncul di Batuhampar Payakumbuh yang didirikan oleh Syaikh Abdurrahman pada tahun 1777.

Kompleks ini kemudian dikenal sebagai “Kampung Dagang”. Kampung Dagang dibangun dengan sarana dan fasilitas penunjang yang cukup lengkap. Di dalam kawasan yang luasnya sekitar 3 hektare ini ada sebuah pasar kecil, di mana terdapat beberapa kedai tempat menjual berbagai kebutuhan murid sehari-hari. Jumlah orang siak (santri) yang belajar di Kampung Dagang ini berkisar antara 1000 sampai 2000 orang.

Untuk mengikuti pelajaran di surau santri tidak dikenakan pungutan atau pembayaran apapun, tidak dikenakan uang sekolah, uang asrama atau uang makan. Jarang sekali santri memberikan uang kepada syaikh. Kalaupun ada, di samping oleh keluarga yang bersangkutan, diberikan atas dasar kerelaan dan keikhlasan.

Biaya hidup dari santri berasal dari orang kampung yang berdekatan dengan surau, biasanya dijemput sendiri atau diantarkan oleh orang tua mereka. dalam menunjang pemenuhan kebutuhan hidup santri, masyarakat kota yang berdekatan, seperti payakumbuh, juga tidak kurang pula partisipasinya. Setiap hari minggu mereka mengantarkan beras, sayur dan kebutuhan pokok lainnya ke surau dengan pedati. Sedangkan santri yang datang dari negeri yang jauh, biasanya tiap hari kamis menyebar ke negeri-negeri sekitar Batuhampar dengan membawa buntil (tempat beras seperti kantong terigu) dan sore harinya kembali dengan membawa buntilan beras dan uang untuk biaya seminggu.

 

2.      Manajemen Pembiayaan Pendidikan Islam pada Masa Pasca-Kemerdekaan.

Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa sebagai lembaga pendidikan tertua di Jawa pesantren telah berupaya memperbaharui sistem pendidikannya. Pada masa ini telah muncul pesantren-pesantren yang berupaya mengadaptasi perubahan sistem pendidikan konvensional. Sedikitnya terdapat dua cara yang dilakukan pesantren dalam merespon perubahan ini : Pertama, merevisi kurikulumnya dengan memasukkan sebagian mata pelajaran dan keterampilan umum. Kedua, membuka kelembagan dan fasilitas pendidikannya bagi kepentingan pendidikan umum. Dengan kedua cara tersebut maka persentuhan antara sistem pesantren dengan sistem madrasah sudah sangat terasa. Untuk itu, setidak-tidaknya pada masa ini muncul empat tipe pondok pesantren di Nusantara:

a.       Ponpes tipe A adalah pondok yang seluruhnya dilaksanakan secara tradisional

b.      Ponpes tipe B adalah pondok yang menyelenggarakan pengajaran secara klasikal (madrasi)

c.       Ponpes tipe C adalah pondok yang hanya merupakan asrama, sedangkan santrinya belajar di luar

d.      Ponpes tipe D adalah pondok yang menyelenggarakan sistem ponpes sekaligus sistem sekolah dan madrasah.

Namun dari segi manajemen pembiayaan belum muncul konsep yang baru dari beberapa tipe pesantren yang muncul. Meski kemandirian telah menjadi pola hidup pesantren, tetapi pada umumnya pembiyaan pesantren masih bergantung pada usaha yang dilakukan oleh kyai dan sumbangan pihak luar. Rata-rata pesantren tidak memiliki usaha yang dapat menjamin keberlangsungan pesantren.

Hal ini tentu bukan realitas yang menggembirakan, mengingat usaha yang dilakukan kyai secara individu tidak berjalan selamanya. Di samping itu, pada dasarnya setiap lembaga pendidikan membutuhkan penopang dana abadi demi memenuhi kebutuhan-kebutuhan pesantren di masa yang akan datang.

Hingga muncul harapan baru dari beberapa pengasuh pesantren yang mencoba menggagas alternatif sumber pendanaan lembaga pendidikannya. Di antaranya adalah dilakukan oleh Pesantren Pertanian Darul Falah Bogor, Pesantren Al Zaitun, Pesantren Gontor dan lain-lain.

Sebagai gambaran, akan diuraikan salah satu gagasan dari konsep pembiayaan berbasis wakaf yang ditawarkan oleh pesantren Gontor. Meniru apa yang dilakukan oleh pengelola al-Azhar di Mesir dan Aligarh di India yang terjamin kelangsungan lembaganya karena kekayaan wakaf yang di miliki, maka di pesantren ini juga berupaya mengelola perekonomiannya dengan basis wakaf. Untuk itu, pesantren ini memulai pewakafan pondok pada tanggal 28 Rabiul Awwal 1378/12 Oktober 1958. Pewakafan dilakukan oleh pendiri pesantren Gontor kepada Ikatan Keluarga Pondok Modern Darussalam Gontor yang diwakili oleh 15 orang yang dipercaya sebagai nadhir. Para nadhir yang berjumlah 15 orang tersebut kemudian dilembagakan menjadi Badan Wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor.

Badan Wakaf Gontor kemudian menjadi badan tertinggi yang membawahi beberapa lembaga di pesantren tersebut. Demi menjaga dan mengembangkan harta wakaf yang dimiliki maka Badan Wakaf Gontor membentuk Yayasan Pemeliharaan dan Perluasan Wakaf Pondok Modern (YPPWPM) yang merupakan salah satu lembaga yang mempunyai tanggung jawab besar dalam mengatur jalur perekonomian, khususnya berkaitan dengan pengelolaan dan pengembangan wakaf, sehingga dapat menjadi sumber dana yang halal serta dapat menjamin kemandirian Pondok. Lembaga ini berada di bawah kendali langsung badan tertinggi pondok, yaitu Badan Wakaf Pesantren Gontor.

 

E.     Problem Pembiayaan Pendidikan

Pada umumnya, masalah yang dihadapi madrasah, dalam hal ini sekolah yang berbasiskan agama, adalah persoalan pembiayaan pendidikan. Apabila dilihat dari aspek penyebabnya, hasil penelitian Puslitbang Pendidikan Agama Dan Keagamaan tahun 2006 tentang pembiayaan pendidikan di madrasah menyebutkan bahwa kesulitan yang dihadapi madrasah dalam pengelolaan pembiayaan pendidikan ternyata berawal dari persoalan penggalian dana itu sendiri.

Kendala utamanya adalah karena terbatasnya sumber dana yang dapat digali. Selama ini sumber dana utama operasional madarasah, rata-rata diperoleh dari iuran SPP siswa. Sumber dana ini merupakan sumber dana tetap, meskipun secara nominal sebenarnya jumlah dana yang dapat dikumpulkan tidak seberapa, mengingat kebanyakan madrasah berada di pinggiran kota/pedesaan dan melayani pendidikan bagi siswa yang berasal dari keluarga tingkat ekonomi kurang mampu; seperti petani, buruh, dan pegawai rendah lainnya.[8]

Pendeknya, madrasah memperoleh pemasukan dari komponen SPP dalam jumlah yang tidak besar karena madrasah sendiri harus menetapkan besaran biaya SPP yang sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat di mana ia berada. Namun hal ini sudah mengalami perubahan seiring dengan kebijakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diberikan kepada seluruh Sekolah Dasar dan Menengah. Namun hal ini tetap saja tidak bisa menutup pembiayaan pendidikan yang diperlukan.

Sumber dana lainnya adalah bantuan yang diberikan masyarakat berupa zakat, infak, dan shadaqah (ZIS). Sumber dana ini terbilang tidak tetap. Selain itu, jumlah dan keberadaannya tidak dapat dipastikan. Ini dapat dimengerti, mengingat masalah pengelolaan zakat dan peruntukannya sendiri. Bantuan lain yang bersifat insidental adalah bantuan yang diberikan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Sebagaimana halnya dengan ZIS, bantuan pemerintah dan pemerintah daerah. seperti Dana Alokasi Khusus, Dana Imbal Swadaya, BOMM, BOP, BKG, dan BKS, selain lebih bersifat insidental dan tidak menyeluruh, juga tidak seluruh madrasah memperolehnya.

Dalam hal ini, faktor kedekatan unsur penyelenggara madrasah dengan pihak pemerintah daerah sangat berpengaruh terhadap kelancaran bantuan tersebut. Adapun madrasah yang tidak memiliki akses kepada pihak-pihak tertentu sangat sulit mendapatkannya.

Di sisi lain, persoalan SDM yang bisa dikatakan belum memadai, selain keterbatasan pengetahuan mengenai sirkulasi dan pengaturan mengenai anggaran dalam pembiayaan, merupakan suatu kekurangan yang menyebabkan tidak adanya analisis yang panjang mengenai, bagaimana, mengapa, dan seperti apa pembiayaan itu dilakukan.

Masalah lain yang biasanya muncul ialah daya dukung masyarakat sekitar yang rendah. Padahal, hal ini sangat penting mengingat masyarakat sebagai partisipan dan pendorong ke arah suksesi program lembaga pendidikan. Keberadaannya sangat penting guna menunjang pembiayaan pendidikan. Kenapa hal ini terjadi? Karena masyarakat tidak dilibatkan langsung dalam proses penganggaran, sehingga tingkat perhatian mereka terhadap lembaga berhenti pada wilayah memasrahkan anak didiknya saja.[9]

Selanjutnya untuk solusi perbaikan pengelolaan pembiayaan pendidikan Islam adalah  menelaah problem yang cukup dilematis di atas, maka diperlukan langkah-langkah satrategis dalam pemecahannya. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.

1.      Persolan pembiayaan adalah hal yang sangat sensitif keberadaannya. Hal ini karena bisa membawa kemajuan lembaga jika dikelola dengan baik, sebaliknya akan membawa lembaga menjadi terpuruk, apabila komponen/pihak di lembaga tidak mengelola secara professional, tidak berprinsip pada keterbukaan, tidak berorientasi pada perbaikan, kepentingan yang sifatnya personal untuk membangun lembaga sehingga mencari peluang hanya untuk personal dirinya.Oleh karena itu, seluruh komponen yang ada dalam lembaga pendidikan, kaitannya dengan proses penyusunan pembiayaan pendidikan, harus dilibatkan. Hal ini dilakukan sebagai wujud asas keterbukaan, kebersamaan, serta bertanggung jawab atas amanah kelembagaan yang harus dipikul bersama. Baik dan buruknya lembaga menjadi akuntabilitas bersama.

2.      Terkait dengan penempatan alokasi dana, pihak di dalamnya diupayakan mampu menyusun dan mengelola dengan baik, berapa anggaran yang ada, bagaimana anggaran itu dibelanjakan atau dialokasikan, serta bagaimana sistem pelaporannya. Apabila komponen di dalamnya ada yang kurang mengerti, perlu dilakukan Diklat tentang bagaimana menyusun anggaran yang baik. Bisa dengan pelatihan penyusunan anggaran atau hal lain yang sejenis.

3.      Kepala sekolah sebagai motor penggerak, diharapkan mempunyai keterampilan entrepreneurship (keterampilan kewirausahaan) dan kemampuan manajerial serta kesupervisian.

4.      Madrasah hendaknya melibatkan masyarakat dalam pengangaran pembiayaan pendidikan, melalui rapat rutin ataupun bisa diselipkan pada rapat musyawarah kenaikan sekolah/kelulusan. Hal demikan dilakukan sebagai wujud asas keterbukaan.

5.      Lembaga pendidikan Islam, dalam hal ini madrasah, sebagai lembaga yang berbasiskan agama yang di dalamnya terdapat nilai-nilai luhur, diharapkan memegang teguh prinsip keadilan, prinsip amanah, kejujuran, musyawarah, keterbukaan, kedisiplinan, dan sebagainya. Prinsip-prinsip tersebut harus dipegang teguh oleh seluruh elemen lembaga.

Dengan demikan, diharapkan ada solusi manajemen pembiayaan pendidikan Islam, sehingga akan terbentuk suatu lembaga pendidikan Islam yang baik, khususnya dalam persoalan pembiayaan pendidikannya.

 

F.     Prinsip Pengelolaan Dana Pendidikan Islam

Terdapat sejumlah prinsip yang menjadi pegangan dalam pengelolaan dana pendidikan dalam Islam yaitu:

1.      Prinsip keikhlasan, prinsip ini antara lain terlihat pada dana yang berasal dari wakaf.

2.      Prinsip tanggung jawab kepada Allah, prinsip ini antara lain terlihat pada dana yang bersal dari para wali murid. Mereka mengeluarkan dana atas dasar kewajiban mendiidk anak yang diperintahkan oleh Allah, dengan cara membiayai pendidikan anak tersebut.

3.      Prinsip sukarela. Prinsip ini antara lain terlihat pada dana yang berasal dari bantuan hibah perorangan yang tergolong mampu dan menyukai kemajuan Islam.

4.      Prinsip halal. Prinsip ini terlihat pada seluruh dana yang digunakan untuk pendidikan yang berasal dari dana yang halal dan sah menurut hukum Islam.

5.      Prinsip kecukupan. Prinsip ini terlihat pada dana yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berasal dari kas negara.

6.      Prinsip berkelanjutan. Prinsip ini antara lain terlihat pada dana yang berasal dari wakaf yang menegaskan, bahwa sumber dana tersebut tidak boleh hilang atau dialihkan kepada orang lain, yang menyebabkan hilangnya hasil dari dana pokok tersebut.

7.      Prinsip keseimbangan dan proposional. Prinsip ini antara lain terlihat dari pengalokasian dana untuk seluruh kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaann pendidikan, seperti dana untuk membangun infrastruktur, sarana dan prasarana, peralatan belajar mengajar, gaji guru dan beasiswa para pelajar.

 

G.    Sumber Pembiayaan Pendidikan Islam

Berdasarkan petunjuk al-Qur’an dan hadits serta fakta sejarah, maka dijumpai sumber biaya pendidikan Islam, sebagai berikut:

1.      Zakat

Zakat merupakan sebuah kewajiban untuk dan bagi orang-orang tertentu. Oleh karenanya, zakat memiliki kekhususan dalam distribusinya, yakni hanya diperuntukan bagi kelompok tertentu sebagaimana firman Allah Swt:

إِنَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ لِلۡفُقَرَآءِ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱلۡعَٰمِلِينَ عَلَيۡهَا وَٱلۡمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمۡ وَفِي ٱلرِّقَابِ وَٱلۡغَٰرِمِينَ وَفِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِۖ فَرِيضَة مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيم

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (At-Taubah: 60)

Peluang munculnya pemanfaatan zakat sebagai sumber pembiayaan pendidikan adalah dengan melakukan penafsiran lebih lanjut untuk mencari celah pihak-pihak yang dapat dijadikan sebagai sumber pembiayaan pendidikan. Dari delapan mustahik di atas, pihak yang memiliki peluang masuk dalam pembahasan ini adalah kelompok fakir, miskin, dan fî sabîlillâh.

Fakir adalah mereka yang tidak dapat menemukan peringkat ekonomi yang dapat mencukupi mereka. Masâkîn (orang-orang miskin) adalah mereka yang sama sekali tidak dapat menemukan apa-apa yang dapat mencukupi mereka. fî sabîlillâh (untuk jalan Allah) adalah orang-orang yang berjuang di jalan Allah, tetapi tanpa ada yang membayarnya, sekali pun mereka adalah orang-orang yang berkecukupan. Dalam Tafsir Al Mishbah, kata fî sabîlillâh dipahami oleh mayoritas ulama sebagai pejuang yang terlibat dalam peperangan baik langsung maupun tidak, termasuk pembelian senjata, pembangunan benteng dan lain-lain yang berhubungan pertahanan negara, sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Ada juga yang berpendapat bahwa yang termasuk dalam kelompok ini adalah jamaah haji atau umrah. Berbeda dengan pendapat tersebut, sebagian ulama kontemporer memasukkan kelompok fî sabîlillâh ini adalah sebagai aspek kegiatan sosial, baik yang dikelola oleh perorangan maupun organisasi Islam, seperti pembangunan lembaga pendidikan, masjid, dan rumah sakit dengan alasan bahwa kata sabîlillâh dari segi kebahasaan mencakup segala aktivitas menuju jalan dan keridlaan Allah.[10]

Menurut Al Qardhawi, makna fî sabîlillâh bisa diperluas menjadi jihad. Kata jihad bisa dengan “pena” dan “lidah”, sebagaimana bisa juga dengan “pedang” dan “panah”. Jihad bisa dalam bentuk pikiran, pendidikan, sosial, ekonomi, politik dan sebagaimana, bisa juga dengan militer. Semua itu tercakup dalam makna jihad dan semuanya membutuhkan dana. Syarat mutlak bagi seluruhnya adalah bahwa fî sabîlillâh dalam arti untuk membela dan meninggikan kalimat-Nya.[11]

Kata fî sabîlillâh dalam Tafsir Depag RI dijelaskan perkataan sabîlillâh mempunyai dua arti, yaitu; 1) arti khusus, yaitu orang-orang yang secara suka rela menjadi tentara melakukan jihad, membela agama Allah terhadap orang-orang kafir yang mengganggu keamanan kaum Muslimin; 2) arti umum, yaitu segala perbuatan yang bersifat kemasyarakatan yang ditujukan untuk mendapatkan keridaan Allah SWT seperti pengadaan fasilitas umum, beasiswa untuk pendidikan, dan untuk dakwah.[12]

Para ulama empat madzhab berpegang pada pendapat pertama, tetapi sebagian ulama mempunyai pendirian yang mencakup pengertian khusus dan pengertian umum atas dasar kaidah ushul fiqh: al ‘ibratu bi ’umûmil lafdzi lâ bi khushûsh as-sabab (yang menjadi pegangan ialah umumnya pengertian lafadz (sesuatu nas) tidak pada kekhususan sebab (nas diucapkan/diturunkan). Atas dasar tersebut, pembangunan atau pemeliharaan masjid dan madrasah demikian juga kegiatan ulama dan para mubalig dapat diambilkan dari harta zakat.

Berdasarkan kedelapan golongan penerima zakat ini kemudian bisa dipilah menjadi dua kelompok besar, yakni; 1) golongan penerima zakat langsung menjadi milik pribadi dan yang termasuk golongan ini adalah fakir, miskin, amil, orang yang menanggung hutang, muallaf dan musafir; 2) golongan yang menerima zakat untuk kepentingan umum. Golongan ini berupa instansi dan badan, terdiri atas; (a) Fî ar-riqâb, yaitu usaha membebaskan budak. Badan Amil Zakat secara langsung atau dengan perantaraan organisasi tertentu dapat membeli semua budak yang akan dijual oleh pemiliknya atau yang ada di pasar-pasar budak untuk dimerdekakan; (b) Fî sabîlillâh, yaitu segala kepentingan agama yang bersifat umum sebagaimana diterangkan di atas.[13]

Dari penjelasan tersebut, sumber pembiayaan pendidikan yang berasal dari zakat bisa diambilkan untuk tiga kategori, yaitu: fakir, miskin, dan fî sabîlillâh. Dalam pendistribusiannya, zakat sebagai alokasi biaya pendidikan dapat digunakan untuk biaya individu peserta didik, terutama untuk biaya operasionalnya maka peserta didik yang masuk kategori fakir dan miskin dapat dialokasikan dari zakât al-mâl. Untuk pendidik yang tidak dibayar, dapat dialokasikan dari bagian fî sabîlillâh sebagaimana pendapat Qardhawi dan Tafsir Jalalain. Tetapi ketika guru sudah dibayar namun sangat tidak mencukupi maka dapat diambilkan dari bagian zakat untuk kelompok fakir. Untuk biaya investasi seperti pembelian lahan, penyediaan sarana pendidikan (gedung sekolah), dan biaya pemeliharaannya, dapat diambilkan dari bagian fî sabîlillâh sebagaimana Tafsir Al Mishbah.

Makna dari pembahasan zakat di atas adalah bahwa sumber biaya pendidikan kategori biaya operasional, pemeliharaan, dan investasi bisa diperoleh dari zakât al-mâl dengan mengacu kepada tiga kelompok yang berhak yaitu fakir, miskin, dan fî sabîlillâh. Jika kemudian masyarakat (lokal saja) mampu memberdayakan potensi umat Islam dari zakat tersebut, maka persoalan pembiayaan pendidikan di Indonesia bisa diatasi, sebagaimana di Amerika, masyarakat lokalnya mengalokasikan sumber pembiayaan pendidikan dari pajak properti masyarakatnya, tanpa terlalu menggantungkan alokasi dari Pemerintah Pusat.

 

2.      Wakaf

Dalam penggunaan wakaf sebagai salah satu alternatif sumber pembiayaan pendidikan, harta yang diwakafkan tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan. Akan tetapi, harta wakaf tersebut harus secara “terus-menerus” dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum sebagaimana yang dimaksudkan oleh orang yang mewakafkan. Hadits Nabi yang artinya;

“Sesungguhnya Umar telah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Umar bertanya kepada Rasulullah Saw; Wahai Rasulullah apakah perintahmu kepadaku sehubungan dengan tanah tersebut? Beliau menjawab: Jika engkau suka tahanlah tanah itu dan sedekahkan manfaatnya! Maka dengan petunjuk beliau itu, Umar menyedekahkan tanahnya dengan perjanjian tidak akan dijual tanahnya, tidak dihibahkan dan tidak pula diwariskan.” (HR Bukhari dan Muslim).

Hadis di atas dapat dimaknai bahwa ketika wakaf digunakan sebagai salah satu alternatif sumber pembiayaan pendidikan, maka pihak lembaga pendidikan harus memanfaatkan harta wakaf tersebut secara “terus-menerus” seperti biaya investasi atau operasional sekolah tanpa harus menghilangkan harta asal wakaf, bukan bersifat konsumtif. Sebetulnya, pemanfaatan wakaf sejak zaman Rasulullah Saw hingga zaman dinasti-dinasti Islam disalurkan untuk kemaslahatan umat (agama, pendidikan, dan ekonomi).

Rasulullah SAW dan Umar bin Khattab mewakafkan tanahnya untuk dibangun masjid. Abu Bakar mewakafkan sebidang tanahnya di Mekah kepada keturunannya yang datang ke Mekah. Taubah bin Ghar Al-Hadhramiy, Hakim Mesir pada masa Khalifah Hisyam bin Abdul Malik (Dinasti Umayyah) membentuk lembaga wakaf di Mesir, bahkan di seluruh negara Islam dan hasilnya disalurkan kepada yang berhak dan membutuhkan. Zaman Dinasti Abbasiyah terdapat lembaga wakaf yaitu shadr al-Wuqũf. Zaman Dinasti Ayyubiyah di Mesir, hampir semua tanah pertanian menjadi harta wakaf dan dikelola oleh negara dan menjadi milik negara (baitul mal). Orang pertama yang mewakafkan tanah milik negara (Bait al-mâl) kepada yayasan dan sosial adalah Raja Nuruddin Asy-Syahid, dengan fatwa Ibnu Ishrun bahwa mewakafkan harta milik negara hukumnya boleh (jawaz) sebab dalam rangka memelihara dan menjaga kekayaan negara. Shalahuddin Al-Ayyubi mewakafkan lahan milik negara untuk kegiatan pendidikan. Ia mewakafkan beberapa desa (qaryah) untuk pengembangan Madrasah Madzhab asy-Syafi’iyah, Madzhab al-Malikiyah, dan Madzhab al-Hanafiyah, dan Madzhab al-Hanabilah, dengan dana melalui model pewakafan kebun dan lahan pertanian. Zaman Dinasti Mamluk, wakaf digunakan untuk kepentingan keluarga, sosial, tempat peribadatan, membantu fakir miskin, dan syiar Islam (kain ka’bah/kiswatul ka’bah).

Pada perkembangan berikutnya, wakaf telah menjadi tulang punggung dalam roda ekonomi sehingga disahkan undang-undang wakaf. Dengan undang-undang tersebut, Raja al-Dzahir memilih hakim dari masing-masing empat mazhab Sunni dan perwakafan dibagi menjadi tiga katagori, yakni; (a) pendapat negara hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa kepada orang-orang yang dianggap berjasa; (b) wakaf untuk membantu haramain (fasilitas Mekah dan Madinah); dan (c) kepentingan masyarakat umum. Di antara undang-undang perwakafan yang dikeluarkan Dinasti Utsmani ialah peraturan tentang pembukuan pelaksanaan wakaf yang ditetapkan pada tanggal 19 Jumadil Akhir tahun 1280 Hijriyah. Undang-undang tersebut mengatur tentang pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf, cara pengelolaan wakaf, upaya mencapai tujuan wakaf, dan melembagakan wakaf dalam upaya realisasi wakaf dari sisi administrasi dan perundang-udangan. Pada tahun 1287 Hijriyah dikeluarkan undang-undang yang menjelaskan tentang kedudukan tanah kekuasaan Turki Utsmani dan tanah produktif yang berstatus wakaf.

Informasi di atas menggambarkan bahwa wakaf sudah sejak lama telah digunakan sebagai salah satu alternatif sumber pembiayaan pendidikan dalam Islam. Dengan demikian, Indonesia, dengan warga mayoritas pemeluk Islam dapat berkontribusi menjadi sumber pembiayaan pendidikan yang melimpah dan terjamin keberlanjutannya. Keterbatasan sumber dan/atau anggaran pendidikan dari pemerintah bisa diatasi dengan memberdayakan potensi wakaf.

Seiring dengan perkembangan ekonomi, harta wakaf pun menjadi bervariasi, termasuk munculnya kecenderungan wakaf tunai (uang). Sejarah mencatat bahwa wakaf tunai (cash wakaf) telah dijalankan sejak awal abad kedua hijriah. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Imam Az-Zuhri (124 H), salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar tadwîn al-Hadîts telah menetapkan fatwa bahwa masyarakat Muslim dianjurkan menunaikan wakaf menggunakan dinar dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah, sosial, serta pendidikan umat Islam. Caranya, menjadikan uang itu sebagai modal usaha kemudian menyalurkan keuntungannya untuk wakaf.

Di Universitas Al Azhar Mesir, aktivitas pendidikan berjalan dengan menggunakan dana wakaf. Universitas tersebut mengelola gudang atau perusahaan di Terusan Suez. Universitas Al Azhar selaku nadzîr atau pengelola wakaf hanya mengambil hasilnya untuk keperluan pendidikan. Bahkan, Pemerintah Mesir meminjam dana wakaf Al Azhar untuk operasionalnya. Di Qatar dan Kuwait, dana wakaf tunai sudah berbentuk bangunan perkantoran. Areal tersebut disewakan dan hasilnya digunakan untuk kegiatan umat Islam. Berarti, lembaga-lembaga pendidikan Islam semacam Al-Azhar University di Kairo, Universitas Zaituniyyah di Tunis, serta Madâris Imam Lisesi di Turki begitu besar dan mampu bertahan hingga kini tidak hanya mengandalkan dana pengembangan dari pemerintah, melainkan dengan wakaf tunai, sebagai sumber pembiayaan segala aktivitas baik administratif maupun akademis.

Eksperimen manajemen wakaf di Sudan dimulai pada tahun 1987 dengan kembali mengatur manajemen wakaf dengan nama Badan Wakaf Islam untuk bekerja tanpa ada keterikatan secara biroktratis dengan kementerian wakaf. Badan wakaf ini telah diberi wewenang yang luas dalam mengatur dan melaksanakan semua tugas yang berhubungan dengan wakaf yang tidak diketahui akte dan syarat-syarat wakifnya. Pembaruan dilakukan pada sistem pengaturan program penggalangan wakaf dan sistem pengaturan pada manajemen dan investasi harta wakaf yang ada.

Kementerian Wakaf Kuwait melakukan penertiban semua manajemen wakaf yang ada di Kuwait dalam bentuk yang hampir sama dengan apa yang dilakukan di Sudan. Pada tahun 1993, Kementerian Wakaf sengaja membentuk semacam persekutuan wakaf di Kuwait untuk menanggung semua beban wakaf, baik itu wakaf lama maupun mendorong terbentuknya wakaf baru. Ada dua hal yangdilakukan, yaitu membentuk manajemen investasi harta wakaf dan manajemen harta wakaf pada bagian wakaf.

Di Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudoyono, mencanangkan Gerakan Nasional Wakaf Uang di Istana Negara pada tanggal 8 Januari 2010. Pencanangan gerakan ini dapat menjadi tonggak sejarah dan momentum penting bagi gerakan wakaf produktif di Indonesia dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umat dan bangsa Indonesia. Isu wakaf uang mulai marak didiskusikan sejak awal tahun 2002, yaitu ketika IIIT (International Institute of Islamic Thought) dan Departemen Agama RI menggelar Workshop Internasional tentang Wakaf Produktif di Batam, tanggal 7-8 Januari 2002.

Selain gerakan wakaf yang dicanangkan presiden, praktik wakaf tunai dan produktif sebenarnya sudah dilakukan di Pondok Pesantren Gontor di Jawa Timur dan Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC) Dompet Dhuafa Republika. Lembaga otonom Dompet Dhuafa Republika memberikan fasilitas permanen untuk kaum dhu’afa di gedung berlantai empat, lengkap dengan biaya operasional medis 24 jam dan mobile-service. LKC adalah obyek wakaf tunai yang efektif, memberi semangat hidup sehat kaum dhu’afa, bahkan melalui kajian kekinian, muncul model-model pemberdayaan wakaf untuk beberapa kebutuhan. Penelitian Asyari (2009: 12) melalui kegiatan The 9 th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS), yang dilaksanakan di Surakarta tanggal 2-5 Nopember 2009, disebutkan bahwa pemberdayaan wakaf di Kecamatan Ampek Angkek dan IV Koto di Kabupaten Agam, berbentuk; 1) harta-harta wakaf yang berada di Kecamatan IV Angkek pada mulanya berbentuk sarana ibadah (masjid, musholla dan langgar seluas 18.830 M², tanah lapangan 640 M², dan lembaga pendidikan seluas 7.361 M²); 2) harta wakaf dapat dijadikan salah satu peningkatan ekonomi umat melalui model pemberdayaan, di antaranya memproduktifkan; (a) tanah wakaf yang berbentuk sawah dapat ditanami padi, cabe, tomat, kentang, sayursayuran, dan palawija lainnya; (b) tanah wakaf yang terdekat sumber air dapat dibuat sebagai kolam ikan, tambak ikan, tempat pencucian mobil dan karpet; (c) tanah wakaf yang terletak di pemukiman penduduk dapat dibuat sebagai rumah tempat tinggal yang bisa dikontrakkan, toko yang menjual kebutuhan harian dan pasar tradisional yang bisa menyediakan kebutuhan harian masyarakat dan menampung hasil pertanian; (d) tanah wakaf yang terletak dekat masjid dapat dibuat tempat potong rambut, toko buku serta perlengkapan ibadah, lembaga keuangan syari’ah (BMT); (e) tanah wakaf yang terdapat di pinggir jalan dapat dibuat untuk tempat penjualan bahan bangunan, rumah yang memiliki dwifungsi, toko yang menjual alat-alat kendaraan, membuat rumah untuk disewakan sebagai kantor instansi pemerintah/swasta, membuat tangki minyak/menjual minyak ketengan; (f) tanah wakaf lapangan, bisa disewakan untuk kegiatan-kegiatan olah raga.

Pemberdayaan harta wakaf berdasarkan sudut pandang Asyariah jika yang memiliki (harta wakaf bersama) dan mengelola adalah masyarakat, wali siswa, dan pihak sekolah, maka hasilnya akan menjadi sumber pembiayaan pendidikan di sekolah yang sangat potensial. Pada gilirannya, sekolah betul-betul bisa gratis. Berarti, persoalan equality, equity, keefektivan, dan efisiensi pendidikan dapat teratasi. Potensi sumber pembiayaan pendidikan lain dari khasanah Islam yang tidak terikat aturan ketat syar’i sangat besar pula jumlahnya, seperti sedekah, infak, hibah, dan nadzar, memiliki potensi untuk dibayarkan. Sumber-sumber tersebut membutuhkan pengelolaan yang profesional, sehingga bisa menjadi sumber yang produktif. Dalam hal ini, sekolah bersama masyarakat bisa mengambil peran tersebut.

 

3.      Infak

Menurut bahasa, infak berasal dari kata anfaqa yang berarti mengeluarkan harta untuk kepentingan sesuatu. Sedangkan menurut istilah syari'at, infak adalah mengeluarkan sebagian harta yang diperintahkan dalam Islam. Infak berbeda dengan zakat, infak tidak mengenal nishâb atau jumlah harta yang ditentukan secara hukum. Infak tidak harus diberikan kepada mustahik tertentu, melainkan kepada siapapun misalnya orang tua, kerabat, anak yatim, orang miskin, atau orong-orang yang sedang dalam perjalanan.

Melihat karakteristik infak yang demikian, maka infak memiliki peluang besar untuk bisa dijadikan sebagai sumber pembiayaan pendidikan yang potensial. Persoalannya hanya terletak pada pengaturannya. Pengaturannya yang dimaksud di sini adalah bagaimana infak itu diatur waktunya, frekuensi pengeluarannya, pendistribusiannya dan tentu saja siapa yang akan mengelolanya. Paling tidak ada 3 pengatur yang mungkin bisa dijadikan sebagai pengelola infak, yaitu pemerintah, masyarakat terbatas (community bukan society) dan langsung lembaga pendidikan/ sekolah/ madrasah/ perguruan tinggi/ pesantren. Jika pemerintah sebagai pengaturnya maka bisa diterapkan sebagaimana konsep baitul mâl dalam sejarah Islam. Sedangkan jika masyarakat sebagai pengaturnya maka sangat bergantung pada tingkat kemandirian masyarakat untuk melakukan pengaturan atas pengumpulan dan pendistribusian infak bagi pendidikan. Terakhir adalah jika sekolah atau lembaga pendidikan yang mengambil alih pengaturan infak maka akan lebih sederhana terkait dengan masyarakat sekolah dan masyarakat sekitar yang terlibat baik langsung (seperti wali murid) maupun tidak langsung. Bahkan kelebihannya penarikan dan pendistribusian infak bisa lebih fokus, sekaligus untuk merangsangnya bisa dengan target /capaian mutu lembaga pendidikan seperti apa yang akan digapai melalui pembiayaan yang bersumber dari infak.

 

4.      Sedekah

Selain zakat, wakaf dan infak sebagai sumber pembiayaan pendidikan yang ada dalam Islam, adalah sedekah. Secara terminologi syariat batasan sedekah adalah pemberian sukarela yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, terutama kepada orang-orang miskin setiap kesempatan terbuka yang tidak di tentukan baik jenis, jumlah maupun waktunya, sedekah tidak terbatas pada pemberian yang bersifat material saja tetapi juga dapat berupa jasa yang bermanfaat bagi orang lain.

Mengingat tidak terikatnya subyek, waktu, kadar bahkan jenis sesuatu yang akan disedehkahkan, maka sedekah memiliki potensi yang lebih besar untuk bisa dijadikan sebagai sumber pembiayaan pendidikan di Indonesia. Artinya berbeda dengan zakat dan wakaf yang hanya kelompok orang tertentu yang bisa melakukannya, maka sedekah bisa dilakukan oleh setiap orang muslim, baik mampu maupun tidak mampu. Jika setiap muslim Indonesia bersedekah Rp.1000 saja setiap minggunya yang khusus dialokasikan untuk biaya pendidikan, maka berapa banyak dana yang terkumpul untuk biaya pendidikan warga bangsa ini. Selain beberapa sumber dalam potensi umat Islam untuk pembiayaan pendidikan sebagaimana yang sudah dikemukakan di muka, sesungguhnya masih ada potensi umat yang tersembunyi. Hanya saja sifatnya sangat terbatas, sering tidak diketahui (karena sering tidak dipublikasikan), dan pelaksanaannya yang insidental. Potensi yang dimaksud adalah nadhar. Bahkan nadzar tidak jarang jumlahnya bisa lebih besar dari infak dan sedekah. Selanjutnya sejenis dengan karakteristik nadzar adalah hibah atau hadiah. Dua jenis ini juga bisa menjadi alternatif sumber pembiayaan pendidikan jika sanggup menggalinya.

 

5.      Hibah

Di zaman kejayaan Islam, terdapat sejumlah orang yang kaya raya dan berkecukupan dan menyukai ilmu pengetahuan demi kemajuan Islam. Orang tersebut selanjutnya menyisihkan sebagian dananya untuk membantu kegiatan pendidikan dalam bentuk hibah, hadiah dan infak.  Selain itu, ada pula dana yang diberikan perorangan kepada para pelajar yang menunjukkan tingkat kesungguhan dan kecerdasan yang tinggi, serta bercita-cita pula untuk memajukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan umat Islam. Bebeapa ulama besar dalam Islam seperti Imam Syafi’i, Ibnu Sina dan al-Ghazali misalnya pernah mendapatkan bantuan dari perorangan untuk melanjutkan pendidikannya.

 

6.      Wali Murid

Sumber pembiayaan pendidikan selanjutnya berasal dar para pelajar yang dibayarkan oleh orangtuanya. Di dalam Islam, orang tua berkewajiban mendidik putra-putrinya. Namun karena orang tua tersebut sibuk dengan tugas lainnya, tidak menguasai berbagai keahlian dalam ilmu pengetahuan serta mengajarkannya, maka tugas mendidik tersebut diserahkan kepada guru pada pada lembaga pendidikan dengan cara mereka menanggung biaya yang dibutuhkan oleh lembaga pendidikan tersebut.

Kewajiban orang tua membiayai pendidikan anak, juga dapat dipahami dari hadits Nabi Muhammad Saw sebagai berikut:

حَقُّ الْوَلَدِ عَلَى وَالِدِهِ اَنْ يُعَلِّمَهُ الْكِتَابَةَ وَ السِّبَاحَةَ وَ الرِّمَايَةَ وَ اَنْ لَا يَرْزُقَهُ اِلَّا طَيِّبًا

Hak anak atas ayahnya adalah hendaknya mengajarinya menulis, berenang dan memanah dan tidak memberikan rezeki kepadanya kecuali yang halal. (Mizan al-Hikmah, jilid 10, hal 720)

مِنْ حَق الوَلَدِ عَلى وَالِدِه ثَلَاثَة : يحسن اسْمهُ وَيعلمهُ الكِتَابَةِ , وَيزوجهُ إِذَا بَلَغَ

Ada tiga hal yang termasuk ke dalam hak-hak anak yang harus ditunaikan orang tuanya, yaitu membaguskan namanya, mengajarinya penulisan, dan menikahkannya jika sudah dewasa (Makarim Al-Akhlaq : 220)

Imam Ali bin Abi Thalib berkata,

إِنَّ لِلوَلَدِ عَلى الوَالِدِ حَقًّا  وَإِنَّ لِلوَالِدِ عَلى الوَلَدِ حَقًّا , فَحَق الوِاِلد عَلى الوَلَدِ أَنْ يُطِيْعَهُ فِي كُلِّ شَيْءٍ  إِلَّا فِي مَعْصِيَةِ الله سُبْحَانه , وَحَقُّ الوَلَدِ عَلى الوَالَدِ أَنُ يحسن اسمهُ , وَيحسن أدبه , ويعلمه القُرآن

Anak memiliki hak atas ayahnya dan ayah juga memiliki hak atas anaknya. Hak ayah atas anak adalah bahwa anak wajib untuk patuh dan taat kepadanya dalam setiap hal, kecuali yang berhubungan dengan maksiat. Hak anak atas ayahnya adalah ayah harus memberinya nama yang bagus, mendidiknya dengan baik, dan mengajarinya Al-Qur’an.

Hadits – hadits tersebut secara keselutuhan berbicara tentang kewajiban orang tua dalam mendidik anaknya, agar menjadi anak yang memiliki akhlak yang baik, dapat menjalankan ibadah, membaca al-Qur’an dan menjadi anak shaleh. Untuk mewujudkan anak yang memiliki pendidikan itu, maka diperlukan biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh orang  tua anak tersebut. Dana yang berasal dari orang tua ini tergolong dana yang paling stabil dan berlaku hingga saat ini, karena disebabkan beberapa faktor:

a.       Membiayai pendidikan merupakan kewajiban yang melekat pada orang tua karena perintah agama.

b.      Kemajuan dan prestasi yang dicapai anak akan mengangkat derajat orang tua.

c.       Mengeluarkan biaya pendidikan merupakan investasi yang menguntungkan, jika anaknya lulus dan memasuki lapangan kerja yang bergengsi dan mendapatkan manfaat dan lain sebagainya.[14]

 

7.      Kas Negara

Nizam al-Muluk mengeluarkan anggaran belanja yang luar biasa besarnya untuk membiayai pendidikan. Ia mengeluarkan biaya sebesar 600.000 dinar setiap tahun untuk membiayai seluruh madrasah Nidzamiyah Baghdad saja, dana tersebut terhitung cukup besar, karena satu dinar senilai 4,025 gram emas. Dengan demikian, biaya setahun Madrasah Nizamiyah

Nizam al-Muluk setiap tahun lebih dari 2,4 ton emas. Nizam al-Muluk, tidakmencari uang, karena uang sudah tersedia di kas negera.

Dar ilmi di kairo, yang didirikan oleh al-Hakim bi Amrillah pada tahun 1004 M dengan menelan biaya sekitar 257 dinar setiap tahun. Dana tersebut di gunakan untuk membeli tikar, kertas, gaji pemimpin perpustakaan, air, gaji pesuruh, menjilid buku, membeli permadani untuk musim dingin. Biaya tersebut belum termasuk biaya untuk gaji guru dan karyawan.[15]

 

 



[1] Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam,  hal. 219.

[2] Baharuddin dan Moh. Makin, Manajemen Pendidikan Islam, Malang: UIN MALIKI PRESS, 2010, hal. 118.

[3] Shiddiq Al-Jawi, Pembiayaan Pendidikan Dalam Islam, Jurnal House of Khilafah, 2007,  hal. 1.

[4] Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam,  hal. 219.

[5] Baharuddin dan Moh. Makin, Manajemen Pendidikan Islam, hal. 137.

[6] Shiddiq Al-Jawi, Pembiayaan Pendidikan Dalam Islam, hal. 1.

[7] Ahmad Munir, Manajemen Pembiayaan dalam Perspektif Islam Jurnal At-Ta’dib Vol.8 No 2, 2013, hal.  232.

[8] Ibid., hal. 234.

[9] Ahmad Munir, Manajemen Pembiayaan dalam Perspektif Islam, hal. 235.

[10] M. Quraish ShihabTafsir Al Mishbah. Pesan, Kesan dan Keserasian Al Qur’an, volume 5, Jakarta: Lentera Hati, hal. 634

[11] Ibid., hal.  634-635).

[12] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Departemen Agama RI, 2009, hal. 140-141

[13] Ibid.

[14] Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 223-224

[15] Ibid., hal. 228

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

ALAT-ALAT PENDIDIKAN ISLAM