SUMBER PENDIDIKAN ISLAM
BAB 2
SUMBER PENDIDIKAN
ISLAM
A.
Pengertian
Sumber
Kata ‘sumber’ dalam bahasa Arab disebut ‘mashdar’ yang jamaknya mashadir, dapat diartikan sebagai
titik tolak dan sumber asli. Kata ‘sumber’ berbeda dengan kata ‘dasar’ dengan alasan bahwa ‘sumber’ senantiasa memberikan nilai-nilai yang dibutuhkan bagi
kegiatan pendidikan. Adapun ‘dasar’ adalah sesuatu yang diatasnya berdiri sesuatu dengan
kukuh. Dalam sebuah bangunan, ‘dasar’ sama artinya dengan ‘fondasi’ yang diatasnya bangunan tersebut ditegakkan. ‘Dasar’
seperti kalimat tauhid La Ilaaha Illa Allah (لا إله إلا الله) tidak ada
tuhan selain Allah, yang merupakan ekspresi terdalam keimanan orang mukmin
digambarkan oleh Allah swt sebagai dasar yang melahirkan cabang-cabang berupa
amal soleh. Allah swt berfirman:
أَلَمْ تَرَ
كَيْفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا
ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَآءِ تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ
رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللهُ اْلأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Tidakkah kamu kamu perhatikan bagaimana Allah telah
membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh
dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap
musim dengan seizin Rabbnya.Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk
manusia supaya mereka selalu ingat. (Ibrahim : 24-25)
Pada pohon, ‘dasar’ adalah akarnya. Tanpa
akar, pohon itu mati dan ketika sudah mati bukan pohon lagi namanya, melainkan
kayu. ‘Dasar’ mesti ada dalam suatu
bangunan. Tanpa ‘dasar’, bangunan itu tidak akan
ada.
B.
Pengertian Sumber Pendidikan Islam
Pengertiannya adalah bahwa
semua acuan atau rujukan dari sumber itu
akan memancarkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang akan
ditransinternalisasikan dalam pendidikan Islam. Sumber pendidikan Islam ini
hakikatnya sama dengan sumber ajaran Islam, karena pendidikan Islam merupakan
bagian dari ajaran Islam.
C.
Fungsi
Sumber Pendidikan Islam
Fungsinya antara lain:
1.
Mengarahkan
tujuan pendidikan Islam yang ingin dicapai
2.
Membingkai
seluruh kurikulum yang dilakukan dalam proses belajar mengajar
3.
Menjadi
standard tolak ukur dalam evaluasi, apakah pendidikan telah mencapai dan sesuai
yang diharapkan atau belum.
D.
Macam-macam
sumber pendidikan Islam
Sumber ilmu pendidikan Islam adalah Islam dengan segala
ajarannya. Ajaran itu bersumber pada al-Qur’an, Sunnah Rasulullah Saw dan ra’yu
(hasil pikir manusia). Tiga sumber ini harus digunakan secara hirarkis.
Al-Qur’an harus didahulukan. Apabila suatu ajaran atau penjelasannya tidak
ditemukan di dalam al-Qur’an, maka harus dicari di dalam sunnah, apabila tidak
juga ditemukan di dalam sunnah, barulah digunakan ra’yu.[1]
Tiga
sumber ajaran ini dan hirarki penggunaannya ditetapkan di dalam hadits sebagai
berikut:
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ
مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ : كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ
: أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ قَالَ :
فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ : فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَلَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ : أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلَا آلُو فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ
وَقَالَ : الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ
Sesungguhnya
Rasulullah Saw ketika mengutus Mu’adz ke Yaman, maka beliau bertanya:
"Bagaiamana engkau memutuskan suatu persoalan jika disodorkan kepadamu
sebuah permasalahan hukum?". Maka Muadz menjawab, "Saya akan
memutuskan dengan apa yang ada di Kitab Allah". Nabi Saw bertanya lagi,
"Jika engkau tidak menemukan di dalam Kitab Allah?". Muadz menjawab,
"Dengan “Sunnah Rasulullah Saw". Nabi bertanya kembali, "Jika
engkau tidak menemukan di dalam Sunnah?". Dia menjawab, "Saya akan
melakukan ijtihad dengan pendapat saya". Kemudian, Rasulullah Saw
bersabda, "Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan
Rasulullah Saw.”(HR. Al-Turmudzi).
Ijtihad dengan ra’y ini juga
termasuk di dalamnya madzhab al-shahabi, kemashlahatan umat (mashalih
mursalah), tradisi atau adat yang sudah dipraktikkan dalam kehidupan
masyarakat (al-‘urf), dan ijtihad yang lainnya.
1.
Al-Qur’an
Secara harfiah
al-Qur’an berarti bacaan atau yang dibaca atau mengumpulkan atau menghimpun. Sebagaimana firman Allah Swt :
إِنَّ
عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآَنَهُ فَإِذَا
قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآَنَهُ
Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah
mengumpulkannya dan membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka
ikutilah bacaannya itu (Al-Qiyamah:17-18)
Adapun secara istilah adalah:
القُرآنُ هُوَ
كَلَامُ اللهِ الْمُنَزَّل عَلَى محمد عَلَيْهِ السَّلَام الْمُتَعَبّدُ
بِتِلَاوَتِهِ
Quran adalah kalam atau firman Allah
yang diturunkan kepada Muhamad Saw. Yang pembacanya merupakan suatu ibadah.
Penjelasan sebagai berikut :
a.
Definisi
kalam (ucapan) merupakan kelompok jenis yang meliputi segala kalam. Dan
dengan menghubungkannya dengan Allah ( kalamullah ) berarti tidak semua
masuk dalam kalam manusia, jin dan malaikat.
b.
Batasan
dengan kata-kata almunazzal (yang diturunkan) maka tidak termasuk kalam
Allah yang sudah khusus menjadi milik-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam Firman
Allah :
قُل لَّوۡ كَانَ ٱلۡبَحۡرُ مِدَادٗا
لِّكَلِمَٰتِ رَبِّي لَنَفِدَ ٱلۡبَحۡرُ قَبۡلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَٰتُ رَبِّي
وَلَوۡ جِئۡنَا بِمِثۡلِهِۦ مَدَدٗا
Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi
tinta untuk kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis
kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (Al-Kahfi:
109).
c.
Batasan
dengan definisi hanya kepada Muhammad Saw, maka tidak termasuk yang diturunkan
kepada nabi-nabi sebelumnya seperti taurat, zabur, injil dan yang lain.
d.
Sedangkan
batasan al-muta'abbad bi tilawatihi (yang pembacanya merupakan suatu
ibadah) mengecualikan hadits ahad dan hadits-hadits qudsi .
Nama-nama al-Qur’an
a.
Qur`an
إِنَّ هَذَا الْقُرْآَنَ يَهْدِي
لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ
Al Qur`an ini memberikan petunjuk
kepada yang lebih lurus (Al-Isra’ : 9)
b.
Kitab
لَقَدْ أَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ
كِتَابًا فِيهِ ذِكْرُكُمْ
Sesungguhnya telah Kami turunkan
kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu
(Al-Anbiya: 10)
c.
Furqan
تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ
الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا
Maha suci Allah yang telah
menurunkan Al Furqaan kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan
kepada seluruh alam (al-Furqan: 1)
d.
Zikr
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ
وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang
menurunkan Al Qur`an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya ( al-Hijr
:9)
e.
Tanzil
وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ
الْعَالَمِينَ
Sesungguhnya Al Qur`an ini benar-benar
diturunkan oleh Tuhan semesta alam (as-Syuaraa:192 ).
Sifat-sifat al-Qur’an
a.
Nur
(cahaya ) :
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا
مُبِينًا
Hai manusia, sesungguhnya telah
datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu. dan telah Kami turunkan kepadamu
cahaya yang terang benderang (an-nisaa : 174 )
b.
Huda
(petunjuk), Syifa` (obat), Rahmah (rahmat),dan Mauizah (nasehat) :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ
جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى
وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
Hai manusia, sesungguhnya telah
datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit
dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman (Yunus : 57).
c.
Mubin
(yang menerangkan) :
قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ
وَكِتَابٌ مُبِينٌ
Sesungguhnya telah datang kepadamu
cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan ( Al-Maidah :15 ).
Dan sifat-sifat yang lain
sebagaimana disebutkan dalam banyak ayatnya, seperti : Mubarak (yang
diberkati), Busyra (kabar gembira),`Aziz (yang mulia), Majid (yang
dihormati), Basyr (pembawa kabar gembira).
Karakteristik al-Qur’an
a.
Al-Quran
adalah kitab Ilahi
Al-Quran berasal dari Allah Swt,
baik secara lafal maupun makna. Diwahyukan oleh Allah Swt kepada Rasul dan
Nabi-Nya; Muhammad Saw melalui 'wahyu al-jaliy' wahyu yang jelas. Yaitu
dengan turunnya malaikat utusan Allah, Jibril a.s untuk menyampaikan wahyu
kepada Rasulullah Saw yang manusia, bukan melalui jalan wahyu yang lain ;
seperti ilham, pemberian inspirasi dalam jiwa, mimpi yang benar atau cara
lainnya.
الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آَيَاتُهُ
ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ
Alif laam raa, (Inilah) suatu Kitab
yang ayat-ayat-Nya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang
diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu ( Huud: 1)
b.
Al-Quran
adalah kitab suci yang terpelihara
Diantara karakteristik Al-Quran yang
lainnya adalah ia merupakan kitab suci yang terpelihara keasliannya. Dan Allah
Swt sendiri yang menjamin pemeliharaannya, serta tidak membebankan hal itu pada
seorang pun. Tidak seperti yang dilakukan pada kitab-kitab suci selainnya, yang
hanya dipelihara oleh umat yang menerimanya. Hal ini sebagaimana dijelaskan
dalam firman Allah Swt :
بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِنْ كِتَابِ
اللَّهِ
Disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah (Al-Maidah: 44)
Adapun makna dipeliharanya al-Quran
adalah Allah Swt memeliharanya dari pemalsuan dan perubahaan terhadap
teks-teksnya, seperti yang terjadi terhadap Taurat, Injil, dan sebelumnya.
c.
Al-Quran
adalah kitab suci yang
menjadi mukjizat
Diantara karakteristik Al-Quran adalah kemukjizatannya. Ia adalah
mukjizat terbesar yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw sehingga bangsa arab
hanya menyebut-nyebut mukjizat itu saja, tidak yang lainnya, meskipun dari
beliau terjadi mukjizat yang lain yang tidak terhitung jumlahnya.
d.
Al-Quran
adalah kitab suci yang menjadi penjelas dan dimudahkan pemahamannya
Al-Quran adalah kitab yang memberi
penjelasan dan mudah dipahami. Tidak seperti kitab filsafat, yang cenderung
untuk menggunakan simbol-simbol dan penjelasan yang sulit, tidak pula seperti
kitab sastra yang menggunakan perlambang-perlambang, yang berlebihan dalam
menyembunyikan substansi, sehingga sulit dipahami akal. Allah Swt menurunkan
Al-Quran agar makna-maknanya dapat ditangkap, hukum-hukumnya dapat dimengerti,
rahasia-rahasianya dapat dipahami, serta ayat-ayatnya dapat ditadabburi. Oleh
karena itu Allah Swtmenurunkan Al-Quran dengan jelas dan memberi penjelasan,
tidak samar dan sulit dipahami. Sebagaimana firman Allah Swt :
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآَنَ
لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ
Sesungguhnya Telah kami
mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, Maka Adakah orang yang mengambil pelajaran
(Al-Qomar : 17)
e.
Al-Quran
adalah kitab suci yang lengkap
Al-Quran adalah kitab agama yang
menyeluruh, pokok agama dan ruh wujud islam. Darinya disimpulkan konsep akidah
Islam, tatacara ibadah, tuntutan akhlak, juga pokok-pokok legislasi dan hukum.
Allah Swt berfirman :
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ
تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ
Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran)
untuk menjelaskan segala sesuatu (An-Nahl 89)
f.
Al-Quran
adalah kitab suci seluruh zaman
Makna Al-Quran sebagai kitab
keseluruhan zaman adalah ia merupakan kitab yang abadi, bukan kitab bagi suatu
masa tertentu, yang kemudian habis masa berlakunya. Maksudnya, hukum-hukum
Al-Quran, perintah dan larangannya, tidak berlaku secara temporer dengan suatu
kurun waktu tertentu, kemudian habis masanya.
g.
Al-Quran
adalah kitab suci bagi seluruh umat manusia
Al-Quran bukanlah kitab yang hanya
ditujukan pada suatu bangsa, sementara tidak kepada bangsa yang lain, tidak
juga untuk hanya satu warna kulit manusia, atau suatu wilayah tertentu. Tidak
juga hanya bagi kalangan yang rasional, dan tidak menyentuh mereka yang
emosional dan berdasarkan intuisi.Tidak juga hanya bagi rohaniawan, sementara
tidak menyentuh mereka yang materialis. Al-Quran adalah kitab bagi seluruh
golongan manusia. Allah Swt berfirman :
إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ
لِلْعَالَمِينَ
Al-Quran itu tiada lain hanyalah
peringatan bagi alam semesta (At-Takwir: 27)
Fungsi al-Qur’an sebagai Sumber Pendidikan Islam
a.
Dari
segi namanya, al-Qur’an secara harfiah membaca atau bacaan. Adapun
alkitab berarti menulis atau tulisan. Membaca dan menulis merupakan kegiatan
utama dalam kegiatan pendidikan.
b.
Dari
segi surat yang pertama kali diturunkan, yaitu ayat 1 sampai 5 surat al-Alaq
yang juga berkaitan dengan kegiatan pendidikan.
c.
Dari
segi fungsinya sebagai al-huda, al-furqan, al-hakim, al-bayyinah yang
semuanya berkaitan dengan fungsi pendidikan Islam.
d.
Dari
segi kandungannya, al-Qur’an berisi ayat –ayat yang mengandung isyarat tentang
berbagai aspek pendidikan.
e.
Dari
segi sumbernya, yakni Allah Swt, telah mengenalkan diri-Nya sebagai al-rabb
atau al-murabbi, yakni sebagai guru dan orang yang pertama kali
diajarkan adalah Nabi Adam AS.[2]
Al-Qur’an ialah
firman Allah Swt berupa wahyu yang disampaikan oleh malaikat Jibril AS kepada Nabi Muhammad Saw. Di dalamnya
terkandung ajaran pokok yang dapat dikembangkan untuk keperluan seluruh aspek
kehidupan melalui ijtihad dari dua prinsip besar, yaitu berhubungan dengan
masalah keimanan (Aqidah), dan yang
berhubungan dengan amal keseharian (syari’at).
Pendidikan,
karena masuk ke dalam usaha atau tindakan untuk membentuk kepribadian manusia,
termasuk ke dalam ruang lingkup mu’amalah. Pendidikan dipandang sangat penting,
karena juga menentukan corak dan bentuk amal kehidupan manusia, baik pribadi
maupun masyarakat.
Al-Qur’an adalah landasan utama dalam ilmu pendidikan Islam. Al-Qur’an
merupakan kebenaran yang disampaikan oleh Allah Swt dan dengan demikian Allah
adalah guru utama manusia yang memberikan ilmu dan ajaran kebenaran agar
manusia dapat menjalani hidupnya dengan baik. Hal ini disebutkan dalam firman
Allah surat Al baqarah ayat 2:
ذَٰلِكَ
الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang
bertakwa (Al-Baqarah : 2)
مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ۚ ثُمَّ إِلَىٰ
رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ
Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada
Tuhanlah mereka dihimpunkan (Al-An’am: 38).
وَنَزَّلْنَا
عَلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ تِبْيَٰنًا لِّكُلِّ شَىْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ
لِلْمُسْلِمِينَ
Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang
yang berserah diri (An-Nahl: 89).
Di dalam
Al-Qur’an terdapat banyak sekali ajaran yang berisi prinsip–prinsip berkenaan
dengan kegiatan atau usaha pendidikan tersebut. Salah satu diantaranya adalah
kisah Luqman dalam mendidik anaknya, yang terdapat pada Surat Al-Luqman: 12-19. Dalam ayat tersebut terdapat 5 azas pendidikan yaitu yang berkenaan dengan:
1)
Azas Pendidikan Tauhid
2)
Azas Pendidikan akhlaq kepada orang tua dan masyarakat
3)
Azas Pendidikan amar ma’ruf nahi munkar
4)
Azas Pendidikan kesabaran dan ketabahan
5)
Azas Pendidikan sosial kemasyarakatan
Pendidikan, karena termasuk ke dalam usaha atau tindakan untuk membentuk
manusia, termasuk ke dalam ruang lingkup muamalah. Pendidikan sangat penting
karena ia ikut menentukan corak dan bentuk amal dan kehidupan
manusia, baik pribadi maupun masyarakat.
Didalam al-Quran terdapat banyak ajaran yang berisi prinsip-prinsip
berkenaan dengan kegiatan atau usaha pendidikan itu sendiri. Sekedar
contoh, misalnya mengenai proses pembentukan manusia untuk bidang kedokteran. Allah
Swt berfirman:
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن
تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ يُخْرِجُكُمْ طِفْلاً
ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أَشُدَّكُمْ ثُمَّ لِتَكُونُوا شُيُوخًا وَمِنكُم مِّن يُتَوَفَّى
مِن قَبْلُ وَلِتَبْلُغُوا أَجَلاً مُّسَمَّى وَلَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Dialah Allah yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari mani yang
menjadi segumpal darah. Kemudian Dialah yang mengeluarkan kamu dari rahim
wanita menjadi bayi sehingga kamu dewasa dan menjadi tua (Al-Mukmin: 67).
Untuk bidang hukum, ada ayat yang merupakan benih
atau prinsip ilmu hukum, Allah Swt
berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا
قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَآءَ للهِ وَلَوْ عَلَى أَنفُسِكُمْ
أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَاْلأَقْرَبِينَ إِن يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللهُ
أَوْلَى بِهِمَا فَلاَ تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَن تَعْدِلُوا وَإِن تَلْوُا أَوْ
تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Wahai
orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan
kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka
Allah lebih tahu kemaslahatan. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena
ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata)
atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui
segala apa yang kamu kerjakan. (An-Nisa : 135)
2.
Hadits
Hadits menurut bahasa adalah baru, pembicaraan,
perkataan, percakapan, cerita, kabar dan kejadian.[3]
Namun secara
terminologi, ulama berbeda pendapat dalam memberikan definisi terhadap hadits disebabkan karena perbedaan tujuan keilmuan
dan objek yang menjadi pembahasan atau penelitiannya.[4]
Untuk mengetahui perbedaan tersebut, berikut masing-masing definisi menurut
ulama hadits, ulama ushul al-fiqh, ulama fiqh dan ulama aqidah.
a.
Ulama Muhadditsin mendefinisikan
hadits/ sunnah sebagai “segala
apa yang berasal dari Nabi Muhammad Saw baik dalam bentuk perkataan, perbuatan, persetujuan (taqrir),
sifat, atau sejarah hidup.[5]
b.
Ulama Ushul al-Fiqh (ushuluyyin) memberikan
definisi hadits/ sunnah adalah segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw
selain al-Qur’an, baik dari segi perkataan, perbiatan, atau pun taqrir yang
dapat dijadikan sebagai dalil atas sebuah hukum syari’at.[6]
c.
Ulama
Fiqh (Fuqaha) menjelaskan bahwa sunnah adalah segala yang
bersumber dari Nabi Muhammad Saw yang tidak berhubungan dengan hal-hal yang
bersifat fardhu atau pun wajib.
d.
Ulama
Aqidah mendefinisikan sunnah dengan sesuatu yang berlawanan dengan bid’ah.[7]
Perbedaan
pendefinisian ini disebabkan karena perbedaan metodologis dimana Muhaddisin
di dalam penelitiannya memposisikan Rasulullah Saw sebagai Imam tertinggi,
pemberi jalan menuju kepada hidayah, pemberi nasehat sebagaimana berita yang
disampaikan Allah Swt bahwa Rasulullah Saw merupakan uswah dan qudwah
bagi kaum muslimin, sehingga para Muhaddisin mengambil seluruh yang
bersumber dari Nabi Saw baik dari masalah sirah (perjalanan hidup),
Akhlak, berita-berita, perkataan, dan perbuatan beliau Saw.
Adapun Ushuliyyin
memposisikan Nabi Saw sebagai Musyarri’ (pembuat hukum) yang menjelaskan
kepada manusia tentang pranata sosial, dan sebagai peletak kaidah-kaidah dasar
untuk para Mujtahidin setelah wafat beliau.
Sementara para
Fuqaha memposisikan Nabi Saw sebagai manusia yang menjalankan hukum Allah Swt,
sehingga mereka mereka melakukan penelitian terhadap hukum-hukum syari’at yang
berhubungan dengan pekerjaan hamba, baik yang bersifat wajib atau haram, atau
mubah dan lainnya.
Sedangkan ulama
aqidah memposisikan Nabi Saw sebagai pemberi kewajiban dan pemberi larangan,
sehingga penekanan ulama aqidah terletak pada hal-hal yang diperintahkan oleh
syariat dan hal-hal yang dilarangnya.[8]
Perbedaan Hadits dan Sunnah
Hadits adalah segala peristiwa yang
dinisbahkan kepada Nabi Saw. walaupun hanya satu kali saja.dikerjakan dan
walaupun hanya diriwayatkan satu orang saja. Sedangkan sunnah adalah nama
terhadap sesuatu yang diterima dengan jalan mutawatir dari Nabi Muhammad
Saw. Kemudian dilakukan oleh sahabat dan dilanjutkan oleh para tabi’in dan
seterusnya. Ada juga yang berpendapat bahwa hadits adalah sesuatu yang diriwayatkan
dari Nabi Muhammad Saw. berupa ilmu pengetahuan teori (bersifat teoritis).
Sedangkan sunnah adalah suatu tradisi yang sudah tetap dikerjakan oleh Nabi
Muhammad Saw. berupa perkara yang bersifat amalan (bersifat praktis).[9]
Perbedaan antara
Hadits Nabi,
Hadits Qudsi dan al-Qur’an
Hadits Nabi
adalah ucapan yang disandarkan secara langsung kepada Nabi Muhammad Saw[10]
sedangkan hadits qudsi adalah sesuatu yang dikabarkan Allah Swt kepada Nabi
Muhammad Saw dengan melalui ilham atau impian, yang kemudian Nabi menyampaikan
makna dari ilham atau impian tersebut dengan ungkapan kata beliau sendiri.[11]Adapun al-Quran, lafazh dan maknanya dari sisi Allah melalui
wahyu yang jelas. Perbedaan itu dapat dirinci sebagai
berikut:
a.
Semua lafaz ayat al-Quran adalah mu’jizat dan mutawatir,
sedang hadits qudsi tidak demikian halnya.
b.
Ketentuan hukumnya yang berlaku bagi al-Quran tidak
berlaku bagi al-Hadits, seperti pantangan menyentuhnya bagi orang yang sedang
berhadats kecil, dan pantangan membacanya bagi orang yang berhadats besar.
Sedang untuk hadits qudsi tidak ada pantangannya.
c.
Setiap huruf yang dibaca dari al-Quran memberikan hak
pahala kepada pembacanya sepuluh kebaikan.
d.
Meriwayatkan al-Quran tidak boleh dengan maknanya saja
atau mengganti lafazh sinonimnya, berlainan dengan al-Hadits.[12]
e.
Perbedaan hadits nabi dengan hadits qudsi adalah hadits
qudsi biasanya diberi ciri-ciri dengan dibubuhi kalimat-kalmat qaala
(yaquulu) Allahu, fima yarwihi, anillahi tabaraka wata’ala, dan lafazh
lafzah lain yang semakna dengan apa yang tersebut.
Perbedaan Hadits dengan Khabar dan Atsar
Kata khabar bermakna pengetahuan, lunak dan
melimpah. Sehingga yang dimaksud dengan khabar adalah sesuatu yang
diketahui kemudian diberitakan atau disampaikan, baik berupa perkataan atau
perbuatan dan pada akhirnya pengetahuan yang disampaikan disebut berita. Namun secara terminologi, ulama berbeda pendapat tentang
definisinya antara lain sebagai berikut:
a.
Definisi khabar sama dengan hadits yaitu segala
sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Saw., baik perkataan, perbuatan atau
ketetapan.
b.
Khabar adalah sesuatu
yang datang selain dari Nabi Muhammad Saw., karena yang datang dari Nabi Saw.
disebut hadits.
c.
Khabar lebih umum dari
pada hadits, karena khabar dapat digunakan untuk apa yang datang dari
Nabi dan selain Nabi Saw., sedangkan hadits khusus digunakan untuk apa yang datang dari Nabi Saw. Menurut pendapat ini, semua hadits bisa disebut khabar, tetapi
tidak semua khabar bisa disebut hadits.[13]
Adapun atsar secara etimologi
bermakna sisa dari sesuatu.[14]
Sedangkan secara terminologi adalah ada tiga pendapat, yaitu:
a.
Segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw. berupa perkataan, perbuatan,
ketetapan dan sifat/moral.
b.
Apa
yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in.
c.
Para
pakar Fiqh dari Khurasan menamakan semua hadits mauquf dengan nama atsar,
sedangkan hadits marfu’ dinamakan
khabar.[15]
Unsur yang Harus Ada dalam Sebuah Hadits
a. Sanad
Secara bahasa,
sanad berasal dari bahasa kata سند yang berarti إنضمام الشيئ
الى الشيئ (menggabungkan
sesuatu ke sesuatu yang lain), karena di dalamnya tersusun banyak nama yang
tergabung dalam satu rentetan jalan. Bisa juga ia berarti المعتمد (pegangan),
dinamakan demikian karena hadits merupakan sesuatu yang menjadi sandaran dan
pegangan.
Sementara
menurut istilah, sanad adalah jalan yang dapat menghubungkan matan hadits
sampai kepada Nabi Muhammad Saw.[16]
Dengan kata lain, sanad adalah rentetan perawi-perawi (beberapa orang) yang
sampai kepada matan..
b. Matan
Matan, berasal
dari bahasa Arab yang terdiri dari huruf م-
ت- ن yang berarti
punggung jalan atau bagian tanah yang keras dan menonjol keatas.[17]
Apabila dirangkai menjadi kalimat matn al-hadits maka defenisinya adalah:
الفاظ الحديث
التى تتقوم بها المعانى
Kata-kata hadits
yang dengannya terbentuk makna-makna.[18]
Dapat juga
diartikan sebagai ما ينتهى إليه السند من الكلام yang artinya spa yang
berhenti dari sanad berupa perkataan.[19]
Kegunaan dan Fungsi Hadits
Dilihat dari
segi kedudukannya, hadits dapat dibagi kepada dua hal. Pertama, hadits
sebagai sumber hukum. Ini terkait dengan perintah untuk mentaati beliau
sebagai Rasulullah dan
segala apa yang datang dari beliau hendaknya dijadikan landasan. Kedua,
hadits sebagai
sumber keteladanan yang didasarkan pada kedudukan nabi sebagai uswatun
hasanah,[20]
sehingga semua aspek dari hadits nabi patut untuk diteladani.
Adapun dari
segi fungsinya, hadits Nabi berfungsi sebagai penjelas (bayan) terhadap
al-Qur’an karena ayat-ayat al-Qur’an itu sendiri masih ada yang mubham,
mujmal dan khas.[21]
Seperti hadits mengenai tata cara shalat yang dalam al-Qur’an tidak disebutkan
secara rinci, disinilah hadits berfungsi menjelaskannya. Selain itu, hadits juga berfungsi sebagai pendukung terhadap ketetapan yang ada
dalam al-Qur’an.
Hadits Sebagai Sumber Pendidikan Islam
Hadits bisa
dijadikan sumber pendidikan Islam karena beberapa point yang dapat dipahami
sebagai berikut:
a.
Rasulullah Saw adalah tokoh yang memiliki
banyak peran. Ia adalah seorang pemimpin umat, komandan perang, referensi bagi
umat dan hakim dalam menyelesaikan berbagai masalah. Tapi dari sekian banyak
peran beliau, peran paling utama dan esensial adalah peran sebagai seorang guru
atau guru. Bukti hal ini bisa dilihat pada firman Allah Swt berikut ini:
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي
الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ
وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي
ضَلَالٍ مُبِينٍ
Dialah yang
mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan
ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan
Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam
kesesatan yang nyata (Al-Jumuah: 2)
Ada tiga peran utama Rasulullah Saw yang
tertera dalam di atas: 1) Membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, 2) Mensucikan
mereka, 3) Mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Ketiga peran itu
tersimpul dalam satu kata “mendidik.” Mari simak hadits hadits berikut.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم
أنَّ اللَّهَ لَمْ يَبْعَثْنِي مُعَنِّتًا وَلَا مُتَعَنِّتًا وَلَكِنْ بَعَثَنِي
مُعَلِّمًا مُيَسِّرًا
Rasulullah Saw
bersabda: Allah tidak mengutusku sebagai orang yang kaku dan keras akan tetapi
mengutusku sebagai seorang guru dan mempermudah. (HR. Muslim). Dalam riwayat
dari Abu Dawud disebutkan:
فَمَا رَأَيْتُ مُعًلِّماً قَطٌّ أَرْفَقُ مِنْ
رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم
Aku belum
pernah melihat seorang guru yang lebih santun dari Rasulullah Saw (HR. Abu Dawud)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو
قَالَ خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ
مِنْ بَعْضِ حُجَرِهِ فَدَخَلَ الْمَسْجِدَ فَإِذَا هُوَ بِحَلْقَتَيْنِ
إِحْدَاهُمَا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ وَيَدْعُونَ اللَّهَ وَالْأُخْرَى
يَتَعَلَّمُونَ وَيُعَلِّمُونَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كُلٌّ عَلَى خَيْرٍ هَؤُلَاءِ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ وَيَدْعُونَ
اللَّهَ فَإِنْ شَاءَ أَعْطَاهُمْ وَإِنْ شَاءَ مَنَعَهُمْ وَهَؤُلَاءِ
يَتَعَلَّمُونَ وَإِنَّمَا بُعِثْتُ مُعَلِّمًا فَجَلَسَ مَعَهُمْ
Dari Abdullah
bin Amru ia menceritakan bahwa suatu hari Rasulullah Saw masuk ke masjid. Di
dalam masjid ada dua kelompok sahabat sedang berkumpul-kumpul. Kelompok pertama
sedang membaca Al-Quran dan berdoa, sementara kelompok kedua sedang melakukan
kegiatan belajar mengajar. Melihat pemandangan indah tersebut Nabi Saw
bersabda: “Mereka semua berada dalam kebaikan. Kelompok pertama membaca
Al-Quran dan berdoa kepada Allah, jika Allah berkehendak Dia akan memberi (apa
yang mininta) mereka. Sementara kelompok yang kedua belajar mengajar, dan
sesungguhnya aku diutus sebagai seorang guru”. Kemudian Rasulullah Saw duduk
dan bergabung bersama kelompok yang kedua. (HR. Ibnu Majah). Rasulullah Saw
bahkan menjadikan ilmu dan belajar sebagai hak dalam bertetangga, maka seorang
tetangga wajib menghilangkan buta huruf dari tetangga yang lain.
عن أبي موسى الأشعري أن النبي صلى
الله عليه وسلم قال ما
بال أقوام لا يفقهون جيرانهم ولا يعلمونهم ولا يعظونهم ولا يأمرونهم ولا ينهونهم وما
بال أقوام لا يتعلمون من جيرانهم ولا يتفقهون ولا يتعظون والله ليعملن قوم جيرانهم
ويفقهونهم ويعظونهم ويأمرونهم وينهونهم وليتعلمن
قوم من جيرانهم ويفقهون ويتعظون أو لأعاجلنهم بالعقوبة في الدنيا
Dari Abu Musa
Al-Asyari bahwa Nabi Saw bersabda: “Bagaiamankah keadaan suatu kaum yang tidak
mengajarkan tetangga mereka, tidak menasihati mereka, tidak beramar makruf dan
nahi mungkar kepada mereka. Dan bagaimanakah keadaan suatu kaum yang tidak
belajar dari tetangga mereka, dan tidak meminta nasehat kepada mereka? Demi
Allah, Suatu kaum hendaknya mengajarkan tetangga mereka, memberikan nasehat dan
beramar makruf dan nahi mungkar kepada mereka dan hendaknya suatu kaum belajar
dari tetangga mereka dan meminta nasehat mereka. Jika tidak maka akan
disegerakan hukuman di dunia”. (HR. Ath-Thabrani). Rasulullah Saw mengajarkan agar seorang guru
mendidik dengan dengan cara yang lemah lembut, luwes dan tidak keras.
Sebagaimana sabda Nabi Saw berikut:
عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا بَعَثَ أَحَدًا مِنْ
أَصْحَابِهِ فِي بَعْضِ أَمْرِهِ قَالَ بَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا وَيَسِّرُوا
وَلَا تُعَسِّرُوا
Dari Abu Musa
berkata: Jika Rasulullah Saw mengutus seseorang dari para Sahabatnya dalam
suatu perkara, beliau bersabda: “Berikanlah berita gembira dan jangan membuat
orang lari, permudahlah orang lain jangan engkau persulit”. (HR. Bukhari
Muslim). Nabi Saw
selalu berdoa agar diberikan ilmu yang bermanfaat dan dijauhkan dari ilmu yang
tidak bermanfaat, seperti doa yang selalu beliau baca berikut ini.
اللهم
إني أعوذ بك من علم لا ينفع ومن قلب لا يخشع ومن
نفس لا تشبع ومن دعوة لا يستجاب لها
Ya Allah aku
berlindung kepadamu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyu,
nafsu yang tidak pernah kenyang dan dari doa yang tidak diterima. (HR. Muslim).
b.
Ketika Nabi Muhammad Saw berada di Mekkah
pernah menyelenggarakan pendidikan di darul al-Arqam dan ketika di Madinah di
suffah. Usaha-usaha tersebut menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Saw memiliki
perhatian yang besar terhadap penyelenggaraan pendidikan.
c.
Sejarah mencatat bahwa Nabi Muhammad sebagai
Nabi yang paling berhasil mengemban risalah ilahiyah karena berhasil
mengubah masyarakat jahiliyyah menjadi masyarakat yang beradab, dari
kegelapan menuju terang benderang, dari tersesat menjadi lurus, dari kehancuran
moral menjadi berakhlak mulia. Keberhasilan ini terkait erat dengan
keberhasilannya dalam bidang pendidikan.
d.
Di dalam teks atau matan hadits Nabi Muhammad Saw
banyak dijumpai isyarat yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran.
Misalnya hadits Nabi Muhammmad Saw yang mewajibkan kepada setiap muslim untuk
menuntut ilmu, menuntut ilmu kenegeri cina, memuliakan orang berilmu dan lain
sebagainya.
e.
Hasits menjelaskan sistem pendidikan Islam
sebagaimana yang terdapat di dalam al-Qur’an dan menerangkan hal-hal rinci yang
tidak terdapat didalamnya.
f.
Hadits juga menjelaskan prinsip umum ajaran
al-Qur’an. Umpamanya al-Qur’an menyatakan kewajiban anak berbuat baik kepada
orang tua.
وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَتُشْرِكُوا
بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak (An-Nisa: 36). Berbuat baik
kepada orang tua merupkan prinsip umum yang digariskan al-Qur’an dalam hubungan
dengan orang tua. Penerapannya bisa dalam bentuk yang bermacam-macam. Al-Qur’an
sendiri antara lain mengemukakan:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا
إِلآ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ
الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ
وَلاَتَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا
Rabb-mu telah memerintahkan supaya
kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu
bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau
kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah
kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (Al-Isra:23). Pada bagian
lain dijelaskan:
وَوَصَّيْنَا اْلإِنسَانَ
بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا وَإِن جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَالَيْسَ لَكَ بِهِ
عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَآ إِلَّى مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّأُكُم بِمَاكُنتُمْ
تَعْمَلُونَ
Kami wajibkan
manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapak-nya.Dan jiak keduanya
memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu
tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya.Hanya kepada-Ku-lah
kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Al-Ankabut :8). Hadits
menjelaskan prinsip tersebut dalam bentuk penerapan yang lebih banyak lagi.
Umpamanya, anak tidak boleh ikut berperang tanpa izin orangtuanya.
أَقْبَلَ رَجُلٌ إِلَى نَبِىِّ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- فَقَالَ أُبَايِعُكَ عَلَى الْهِجْرَةِ وَالْجِهَادِ أَبْتَغِى الأَجْرَ
مِنَ اللَّهِ. قَالَ فَهَلْ مِنْ وَالِدَيْكَ أَحَدٌ حَىٌّ. قَالَ نَعَمْ بَلْ
كِلاَهُمَا. قَالَ فَتَبْتَغِى الأَجْرَ مِنَ اللَّهِ. قَالَ نَعَمْ. قَالَ
فَارْجِعْ إِلَى وَالِدَيْكَ فَأَحْسِنْ صُحْبَتَهُمَا
Seorang laki-laki datang
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata “Saya berbai’at
kepadamu untuk berhijrah dan berjihad, aku mengharapkan pahala dari Allah.”
Beliau bertanya, “Apakah salah satu orang tuamu masih hidup?” Ia menjawab, “Ya,
bahkan keduanya masih hidup.” Rasulullah bertanya lagi, “Maka apakah kamu masih
akan mencari pahala dari Allah?” Ia menjawab, “Ya.” Maka beliau pun bersabda,
“Pulanglah kepada kedua orang tuamu lalu berbuat baiklah dalam mempergauli
mereka.” (HR. Muslim). Contoh lainnya ialah anak tidak boleh menghina orang tua
yang lain, sebab anak yang orangtuanya dihina boleh jadi akan balas menghina
orangtuanya pula. Rasulullah
Saw bersabda:
مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ
وَالِدَيْهِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ يَشْتِمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ
قَالَ : نَعَمْ يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ
فَيَسُبُّ أُمَّهُ
Termasuk dosa besar,
(yaitu) seseorang mencela dua orang tuanya,” mereka bertanya, “Wahai
Rasûlullâh, adakah orang yang mencela dua orang tuanya ?” Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, seseorang mencela bapak orang lain, lalu orang
lain itu mencela bapaknya. Seseorang mencela ibu orang lain, lalu orang lain
itu mencela ibunya.” (HR al-Bukhâri Muslim)
g.
Menggariskan metode-metode pendidikan yang
dapat dipraktikkan.[22] Pribadi
Rasulullah Saw sendiri merupakan contoh hidup serta bukti konkret system dan
hasil pendidikan Islam. Hal ini diakui oleh Allah Swt dengan firman-Nya:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ
اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ
وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah. (Al-Ahzab : 21). Banyak tindakan mendidik yang dicontohkan Rasulullah Saw dalam pergaulannya
bersama para shahabat. Dia menganjurkan agar pembicaraan yang diarahkan kepada
orang lain hendaknya disesuaikan dengan tingkat kemampuan berpikir mereka. Dia
memperhatikan setiap orang sesuai dengan sifatnya wanita atau lelaki, tua atau
kanak-kanak. Kepada orang yang menyenangi harta, dia akan memberinya harta agar
hatinya menjadi lunak. Kepada orang yang mencintai kedudukan, dia akan
menempatkan kedudukan orang itu dekat dengannya, karena di mata kaumnya dia
adalah orang yang berkedudukan. Dalam pada itu, dia tidak pernah lengah untuk
menyeru mereka agar beribadah kepada Allah dan melaksanakan syariat-Nya. Ulama muslim telah memahami dan menyadari pentingnya
tindakan mendidik yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw di antara mereka ada
yang menyusun kitab berisi hadits-hadits Rasulullah Saw yang berorientasi
pendidikan, seperti kitab at-Targhib wa al-Tarhib.
Kitab karya ‘Abdul ‘Azham al-Mundziri ini menanamkan motivasi untuk cinta
mengerjakan kebaikan dan menjauhi perbuatan jahat. Kitab ini membahas banyak
aspek kehidupan: material, spiritual, finansial, individual, sosial,
peribadatan, dan intelektual. Ada pula ulama yang mempelajari kehidupan dan
hadits Rasulullah Saw untuk menggali beberapa topik pendidikan yang kemudian
disusun menjadi kitab. Contohnya adalah kitab Tuhfah al-Maudud fi Ahkam
al-Maulud, karya Ibnu Qayyim al-jauziyyah dan al-Adab al-Mufrad karya Imam
Muhammad Ismail al-Bukhari. Yang terkahir ini adalah kitab pendidikan Nabawi
yang mengandung beberapa tuntunan sekitar pendidikan dan perlakuan terhadap
anak-anak yatim, perilaku sosial, serta menyayangi, mencium dan bercanda dengan
anak-anak.[23]
3.
Ra’y
Kata ra’yu
( رأى)
adalah mashdar dari kata ra’a yang secara etimologi artinya
‘melihat’. Objek yang dikenai oleh kata ra’yu dalam al-Qur’an dibagi menjadi
dua, yaitu objek konkrit (berupa) atau objek yang abstrak. Contoh yang konkrit
dari firman Allah Swt:
فَلَمَّا رَءَا الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ
هَذَا رَبِّي هَذَآ أَكْبَرُ فَلَمَّآ أَفَلَتْ قَالَ يَاقَوْمِ إِنِّي بَرِىءٌ
مِّمَّا تُشْرِكُونَ
Kemudian
tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang
lebih besar (Al-An’am: 78)
Terhadap objek yang abstrak, bisa
diartikan dengan ‘melihat dengan hati’ atau ‘memikirkan’. Sebagaimana firman
Allah Swt:
أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللهَ سَخَّرَ لَكُم
مَّافِي السَّمَاوَاتِ وَمَافِي اْلأَرْضِ
Tidakkah kamu perhatikan
sesuangguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)-mu apa yang dilangit
dan apa yang di bumi (Luqman: 20)
Kata ra’yu yang dimaksud
dalam pembahasan ini adalah dalam artian “memikirkan”, juga berarti ‘hasil
pemikiran atau ‘rasio’.
Sehingga dapat di simpulkan bahwa ra'yu
adalah salah satu cara umat Islam untuk menetapkan suatu hukum dari
permasalahan-permasalahan kontemporer yang belum didapati dalam al-Quran dan Hadits.
Manusia memiliki akal yang mampu berfikir secara komprehensif dengan tetap
berpegang teguh pada Alquran dan Hadits sebagai bukti keabsahan hasil ra'yu.
Namun perlu digarisbawahi bahwa akal dan ra'yu memiliki perbedaan dalam
pengertiannya. Akal adalah subjek (alat/pelaku yang melakukan pemikiran),
sedangkan ra'yu adalah suatu hasil/obyek dari proses pemikiran yang
bertujuan untuk mencari kebenaran/solusi dari suatu hukum yang tidak ada di
dalam Alquran dan hadits.
Adapun ra'y secara bahasa berarti berpendapat dan
pertimbangan. Tetapi orang-orang Arab telah mempergunakan bagi pendapat dan
keahlian yang dipertimbangkan dengan baik dalam menangani urusan yang dihadapi.
Seseorang yang memiliki persepsi mental dan pertimbangan yang bijaksana dikenal
sebagai dzu’l-ra’y. Lawan kata dari dzu’l-ra’y adalah mufannad,
seseorang yang lemah dalam pertimbangan dan tak bijaksana dalam berpikir.
Ini secara tidak langsung berarti bahwa kesempurnaan
intelektual dan kematangan dalam menimbang sesuatu telah lama dijadikan satu
kriteria bagi kebesaran seseorang. Qur’an sendiri secara berulang-ulang
menyerukan untuk berpikir dalam-dalam dan merenungkan ayat-ayatnya. Ia mengajak
untuk menggunakan nalar dan pendapat pribadi dalam persoalan-persoalan hukum.
Rasulullah sendiri memberikan contoh dengan menerima pendapat para sahabat
dalam persoalan-persoalan di mana beliau tidak dituntun oleh wahyu. Sebagai contoh,
pada peristiwa perang Badr, Rasulullah memilih satu tempat tertentu untuk
membangun satu perkemehan bagi pasukan Muslimin. Seorang sahabat, Hubaib bin
al-Mundzir, bertanya apakah beliau memilih tempat itu atas pertimbangan (ra’y) beliau atau petunjuk Allah.
Rasulullah menjawab bahwa pemilihan tempat itu berdasarkan pertimbangan beliau
sendiri. Ketika sahabat itu menyarankan suatu tempat yang lebih cocok,
Rasulullah menyatakan padanya : Engkau telah memberikan alasan yang masuk akal
(laqad asyarta bi’l-ra’y). Banyak
contoh di mana Rasulullah bertukar pikiran dengan para sahabat, seperti Nabi
menginginkan agar para tawanan Badar dibebaskan dengan tebusan, sedangkan Umar
mengusulkan untuk membunuh mereka. Begitu juga Nabi hendak mensalatkan Abdullah
Ibn Ubay, tapi Umar melarangnya. Dalam kasus-kasus ini, wahyu selalu turun
membenarkan Umar.[24]
Istilah ra’y,
yang merupakan cara penalaran yang paling amiah dan tersebar luas pada masa
awal, lama kelamaan lalu dikenai persyaratan-persyaratan dan
pembatasan-pembatasan yang bertujuan untuk menghentikan penggunaannya secara
semau-maunya, dan mensistematiskan proses penalaran. Bentuk sistematis
penalaran individual di bidang hukum Islam selanjutnya lebih dikenai
sebagai Qiyas.
Meskipun Qiyas merupakan bentuk sistematis dari ra’y, terdapat perbedaan besar antara
keduanya. Ra’y memiliki sifat yang
luwes dan dinamis. Ia membuat keputusan dalam sinaran semangat, kearifan, dan
keadilan Islam. Ra’y adalah pendapat
yang bijaksana dan cermat dari seseorang yang berhasrat untuk mencapai
keputusan yang tepat. Dalam kata-kata Ibnu Qayyim, ra’y adalah suatu keputusan yang dicapai oleh seseorang setelah
melakukan pemikiran, perenungan dan pencarian yang sungguh-sungguh akan
kebenaran dalam kasus di mana petunjuk-petunjuk yang diperoleh saling
bertentangan. Dengan kata lain, ra’y
berarti keputusan yang diyakini pasti diambil oleh wahyu seandainya turun, atau
oleh Rasulullah, seandainya beliau ada. Qiyas adalah perbandingan antara dua
hal yang sejajar karena keserupaannya. Keserupaan ini, yang secara tekhnis
dikenai sebagai ‘illah tidak
selamanya dapat ditentukan secara pasti. Orang dapat berbeda paham dalam
menentukannya. Memang, qiyas adalah perluasan dari suatu preseden. Karena itu,
cakupannya jauh lebih terbatas daripada ra’y.
Dalam ra’y penekanan adalah terhadap
situasi yang aktual, sedangkan pada qiyas penekanannya adalah pada analogi yang
abstrak, apapun juga situasi yang ada.
Pada Ibnu Muqaffa’, kita temukan contoh sifat
terbatas dari qiyas ini. la melukiskannya dengan contoh berikut. Misalnya
seseorang datang berkonsultasi kepada anda mengenai apakah ia harus berbicara
bohong atau jujur. Sudah tentu anda akan menyarankan untuk berbicara jujur.
Kemudian dia bertanya pada anda apakah ia harus bicara jujur dalam setiap
keadaan, katakanlah ketika seseorang berkeinginan untuk membunuh orang
tertentu, haruskah ia berkata jujur dan memberikan petunjuk kepada calon
pembunuh tersebut dimana kiranya orang yang mau dibunuhnya itu berada. Disini
qiyas meminta bahwa ia harus berbicara jujur tetapi ra’y memberi petunjuk agar melanggar aturan, yaitu berbohong tetapi
mengambil langkah-langkah yang kiranya bermanfaat. Contoh ini memperlihatkan
bahwa qiyas gagal berfungsi dalam berbagai peristiwa karena lingkupnya yang
terbatas.
Pada mazhab-mazhab pertama, khususnya mazhab-mazhab
yang ada di Iraq, qiyas dilaksanakan dalam pengertian yang sedikit lebih luas,
dengan selalu mendekatkannya kepada ra’y.
Tetapi Imam Syafi’i membatasinya. Ia menetapkan sejumlah aturan
untuk membatasi ra’y pada qiyas, yang menjadikannya lebih dekat kepada nash.
Dari mulai Syafi’i dan seterusnya, ra’y
tersingkirkan oleh qiyas yang diberi batasan dengan cara demikian, dengan
akibat bahwa ra’y dikecam dengan
sangat pedasnya dan qiyas mulai memperoleh tempat utama dalam penalaran.
4.
Madzhab Shahabat Nabi
Yang dimaksud dengan mazhab shahabi ialah pendapat
sahabat rasulullah Saw tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan
secara tegas dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Shahabat adalah orang yang pernah berjumpa dengan Nabi Muhammad Saw
dalam keadaan beriman dan mati dalam keadaan beriman juga.[25] Upaya
shahabat Nabi Saw dalam pendidikan Islam sangat menentukan bagi perkembangan
pendidikan Islam. Abu Bakar al-Shiddiq misalnya mengumpulkan al-Qur’an dalam
satu mushhaf yang dijadikan sebagai sumber utama pendidikan Islam. Ia juga
mengajarkan pola hidup sederhana, rela berkorban dan setia mendampingi Nabi
Muhammad Saw. Umar bin Khaththab mengajarkan hidup tegas dalam memberantas
kemungkaran dan dikenal sebagai orang yang mengembangkan system perpajakan,
penggajian dan penanggalan tahun hijriyah. Ustman bin Affan mengajarkan hidup
dermawan, rendah hati dan berakhlak mulia. Beliau juga berusaha untuk
menyatukan sistematika berfikir ilmiah dalam menyatukan sistematika berpikir
ilmiah dalam menyatukan susunan al-Qur’an dalam satu mushaf. Sementara Ali bin
Abi Thalib dari keberaniannya dan kesediannya mengatur berbagai aspek manajemen
pemerintahan dapat digunakan sebagai sumber pendidikan Islam.
5.
Mashlahah
al-Mursalah
Mashalah mursalah secara harfiah berarti
kemashlahatan umat. Adapun dalam arti yang lazim digunakan yaitu undang-undang,
peraturan atau hukum yang tidak disebutkan secara tegas di dalam nash namun
dipandang perlu diadakan demi kemashlahatan umat. Adanya surat nikah misalnya,
walaupun tidak disebutkan secara tegas dalam nash, namun surat nikah tersebut
diperlukan, agar menjadi bukti yang sah dan mendapat perlindungan hukum atas
pernikahannya. Dengan pengakuan ini maka ia berhak mendapatkan hak-hak sipil
sebagai warga Negara, seperti kartu keluarga, surat akta kelahiran, tunjangan
dari pemerintah, pembagian warisan dan lain sebagainya. Selain surat nikah,
masih banyakj hal lain yang termasuk produk mashlahat mursalaha seperti ijazah,
stempel surat, KTP, SIM, dan lain sebagainya.[26]
Agar mashalat mursalah tidak menyimpang dari tujuan utamanya, yakni
kemashlahatan umat, maka dipersyaratkan sebagai berikut:
a.
Apa
yang dicetuskan benar-benar membawa kemashlahatan dan menolak kerusakan setelah
melalui tahapan observasi dan analisis;
b.
Kemashlahatan
yang diambil merupakan kemashlahatan yang bersifat universal, yang mencakup
seluruh lapisan masyarakat tanpa adanya diskriminasi;
c.
Keputusan
yang diambil tidak bertentangan dengan nilai dasar al-Qur’an dan Hadits.[27]
6.
‘Urf
Al-‘urf secara harfiah berarti sesuatu yang
sudah dibiasakan dan dipandang baik untuk dilaksanakan. Adapun secara
terminology, al-‘urf adalah kebiasaan masyarakat baik berupa perkataan,
perbuatan maupun kesepakatan yang dilakukan secara terus menerus dan
selanjutnya membentuk semacam hukum tersendiri. Dengan mengikuti al-‘uruf
tersebut, maka seseorang akan merasa tenang melakukannya, karena sejalan dengan
akal yang diterima oleh tabiat, serta diakui oleh masyarakat.
Kesepakatan bersama dalam tradisi dapat dijadikan acuan dalam
pelaksanaan pendidikan Islam, dengan syarat:
a.
tidak
bertentangan dengan ketentuan nash, baik al-Qur’an maupun Hadits;
b.
tradisi
yang berlaku tidak bertentangan dengan akal sehat dan tabiat yang sejahtera,
serta tidak mengakibatkan kedurhakaan, kerusakan, dan kemudaratan.[28]
Penggunaan
al-‘uruf atau al-adat ini sejalan dengan kaidah yang mengatakan: al-‘adat
muhakkamat. Kata al-‘uruf ini seakar dengan kata al-ma’ruf, yakni sesuatu
yang dipandang baik oleh masyarakat. Penetapan al-ma’ruf sebagai sumber
pendidikan Islam sejalan dengan hadits Nabi Saw yang mengatakan:
مَا
رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ
Maka apa yang dipandang oleh kaum muslimin sebagai kebaikan maka di sisi
Allah sebagai sebuah kebaikan (HR. Ahmad dan
Abu Dawud).
Penggunaan al-ma’ruf dapat merujuk pada firman Allah Swt:
الَّذِينَ
يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ اْلأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا
عِندَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَاْلإِنجِيلِ يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ
عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَاْلأَغْلاَلَ الَّتِي
كَانَتْ عَلَيْهِمْ
(Yaitu)
orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati
tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh
mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang
mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi
mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan
belenggu-belenggu yang ada pada mereka. (Al-‘Araf : 157)
Sumber pendidikan dalam bentuk al-‘uruf ini
dapat mengambil bentuk berbagai kebijakan atau tradisi tentang penelenggaraan
pendidikan dengan berbagai aspeknya yang pernah dilakukan di masa lalu,
misalnya dari sejak zaman Yunani, Romawi Kuno atau masyarakat sebelum Islam.
Tradisi belajar mengajar dengan cara berdiskusi atau memecahkan masalah
misalnya ternyata banyak dipengaruhi oleh kebiasaan sokrates dalam memberikan
pelajaran. Demikian pula institusi madrasah sebagai tempat atau balai pertemuan
untuk membahas tentang masalah ilmiah juga sudah ada pada zaman Hamurabi, abad
ke-8 sebelum masehi. [29]
7.
Pendapat
Ulama
Banyak dijumpai pemikiran mereka yang dapat digunakan sebagai
sumber bagi penyusunan ilmu pendidikan Islam. Al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali,
Ibn Khaldun, Ibn Taimiyah banyak dijumpai pemikiran mereka yang berkaitan
dengan tujuan pendidikan, kurikulum, bahan ajar, metode mengajar, guru yang
baik, etika pelajar dan lingkungan pendidikan. Hampir seluruh filsuf menekankan
agar pendidikan berusaha mengembangkan seleuruh potensi manusia secara
seimbang, sehingga terbentuk manusia yang sempurna (insan kamil) yang dapat
melaksanakan fungsinya sebagai khalifah dalam rangka mengabdi (menyembah)
kepada Allah Swt. Bukan hanya membicarakan masalah agama saja melainkan juga
masalah dunia; bukan hanya aspek spiritual saja, melainkan juga aspek
intelektual, moral dan sosial.[30]
8.
Sejarah
Islam
Praktik pendidikan yang pernah dilakukan pada zaman
Rasulullah Saw, khulafaur Rasyidin, Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, Dinasti
Usmani, kesultanan di abad pertengahan dan seterusnya yang merupakan peristiwa
sejarah yang dapat dipelajari. Selain itu, sejarah perjuangan para Nabi di masa
lalu dalam rangka membimbing dan membina umat juga dapat digunakan sebagai
sumber pendidikan. Nabi Adam misalnya telah merintis proses pengajaran
(Al-Baqarah: 30-31); Nabi Nuh sebagai perintis dalam pengembangan teknologi
perkapalan (Hud: 42-43); Nabi Sholeh mengajarkan teknologi penggunaan energy
listrik (petir) (Hud: 61-63); Nabi Ibrahim sebagai perintis metode deduktif
dalam mencari kebenaran, pendidikan berkorban dan pendidikan keimanan
(Al-An’am: 76-79),(Al-Anbiya: 51-69); Nabi Isma’il sebagai perintis
pengembangan tambang air mineral, minyak, emas, dan lain-lain (Ibrahim: 37);
(Al-Baqarah, 125-129); (Al-Shafat: 102); Nabi Yusuf mengajarkan metode
memprediksi masa depan melalui interpretasi mimpi, pendidikan akhlak pemaaf dan
pengendalian hawa nafsu (Yusuf: 1-11); Nabi Musa mengajarkan teknologi
pengembangan pembuatan beton dan jembatan (Al-Baqarah: 49-82); (Al-Qashash: 7-35); Nabi Isa mengajarkan kedokteran (Maryam: 7-34): (Al-Maidah: 110-114), dan lain-lain. Kesimpulannya
adalah bahwa setiap kehidupan para Nabi terdapat sumber pendidikan dan
pengajaran yang baik. [31]
[1]
Herry Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999, hal. 30
[2]
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 76
[3] Ambo
Asse, Ilmu Hadits Pengantar Memahami Hadits dan Sunnah. Cet, I, Alaudddin Press
Makassar: 2010, hal.1
[4]
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits; ‘Ulumuhu wa Mushthalahuh. Cet. I;
Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H/1989 M, hal. 19
[5]
Manna’ al-Qaththan, Mabahits fii Ulum al-Hadits. Cet. IV: Kairo; Maktabah Wahbah,
1425 H / 2004 M, hal. 15.
[6]
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Op.Cit. hal. 19
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] M.
Noor SuLaiman PL., Antologi Ilmu Hadits, Jakarta: Gaung Persada Press Jakarta,
Cet. II, 2009 M. hal. 11-12.
[10] Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu–Ilmu hadits, Cet.V; Pustaka
Firdaus, 2002, hal.29-30
[11]
Fathur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, Cet. I; Bandung , PT. al-Ma’arif,
1974, hal.69-70
[12] Ibid., hal.70
[13]
Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, Cet. III, 2007 M.), hal.32.
[14]
Ibnu Manzur, Lisan al-Arab, Dar Lisan al-Arab, Beirut, tt,. Jilid 1 hal. 69.
[15]
Mahmud Ali Fayyad, Metodologi Penetapan Kesahihan Hadits, Bandung: Pustaka
Setia, et. I, 1419 H./1998 M, hal. 17.
Dan Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Op.Cit. hal. 61.
[16] Fatchur Rahman, Op.Cit, hal. 40.
[17] Ibn
Mandzur, Lisan al-Arab, Dar Lisan al-Arab, Beirut, tt, hal. 434-435.
[18] Al-Damini, Maqayis Naqd Mutun
al-Sunnah, Riyadh: Jami’ah Ibn Sa’ud, 1984, hal. 50. Lihat juga Muhammad
`Ajjaj al-Khatib, Op.Cit., hal. 32.
[19] Ibn Shalah, Ulum al-Hadits, al-Maktabah al-Ilmiyyah: Madinah
al-Munawwarah, 1972, hal. 18.
[20]
Ibid, hal. 7.
[21] ‘Muhammad Ajjaj al-Khatib, Op.Cit., hal. 42.
[22] Abdurrahman al-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyyah wa Asalibuha fi
al-Bayt wa al-Madrasah wa al-Mujtama (Damaskus, Dar al-Fikr, 1979), hal. 20
[23] Hery Noer Aly, Op. Cit., hal.
44-45.
[24] Jalaludin Rakhmat, Dahulukan Akhlak di atas
Fikih, Bandung: Muthahhari Press, 2003, cet-III, hal. 220.
[25]
Muhammad Ibn Alawy al-Maliki, Qawaid Asasiyah fi Ilm Mushthalah al-Hadits,
Mekkah: Dar sahr, 1402H, hal. 57.
[26]
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 83
[27]
Abd. Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 41
[28]
Masjfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Islam, Jakarta: Haji Masagung, 1990, hal. 124.
[29]
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 84-85
[30] Ibid.,
hal. 83
[31] Ibid.,
hal. 80-81.
Komentar
Posting Komentar