SUMBER PENDIDIKAN ISLAM

 BAB 2

SUMBER PENDIDIKAN ISLAM

 

A.    Pengertian Sumber

Kata sumber dalam bahasa Arab disebut mashdar yang jamaknya mashadir, dapat diartikan sebagai titik tolak dan sumber asli. Kata sumber berbeda dengan kata dasar dengan alasan bahwa sumber senantiasa memberikan nilai-nilai yang dibutuhkan bagi kegiatan pendidikan. Adapun dasar adalah sesuatu yang diatasnya berdiri sesuatu dengan kukuh. Dalam sebuah bangunan, dasar sama artinya dengan fondasi yang diatasnya bangunan tersebut ditegakkan. ‘Dasar’ seperti kalimat tauhid La Ilaaha Illa Allah (لا إله إلا الله) tidak ada tuhan selain Allah, yang merupakan ekspresi terdalam keimanan orang mukmin digambarkan oleh Allah swt sebagai dasar yang melahirkan cabang-cabang berupa amal soleh. Allah swt berfirman:

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَآءِ تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللهُ اْلأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

Tidakkah kamu kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabbnya.Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. (Ibrahim : 24-25)

Pada pohon, dasar adalah akarnya. Tanpa akar, pohon itu mati dan ketika sudah mati bukan pohon lagi namanya, melainkan kayu.Dasar mesti ada dalam suatu bangunan. Tanpa dasar, bangunan itu tidak akan ada.

 

B.     Pengertian Sumber Pendidikan Islam

Pengertiannya adalah bahwa semua acuan atau rujukan dari sumber itu akan memancarkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang akan ditransinternalisasikan dalam pendidikan Islam. Sumber pendidikan Islam ini hakikatnya sama dengan sumber ajaran Islam, karena pendidikan Islam merupakan bagian dari ajaran Islam.

 

C.    Fungsi Sumber Pendidikan Islam

Fungsinya antara lain:

1.      Mengarahkan tujuan pendidikan Islam yang ingin dicapai

2.      Membingkai seluruh kurikulum yang dilakukan dalam proses belajar mengajar

3.      Menjadi standard tolak ukur dalam evaluasi, apakah pendidikan telah mencapai dan sesuai yang diharapkan atau belum.

 

D.    Macam-macam sumber pendidikan Islam

Sumber ilmu pendidikan Islam adalah Islam dengan segala ajarannya. Ajaran itu bersumber pada al-Qur’an, Sunnah Rasulullah Saw dan ra’yu (hasil pikir manusia). Tiga sumber ini harus digunakan secara hirarkis. Al-Qur’an harus didahulukan. Apabila suatu ajaran atau penjelasannya tidak ditemukan di dalam al-Qur’an, maka harus dicari di dalam sunnah, apabila tidak juga ditemukan di dalam sunnah, barulah digunakan ra’yu.[1]

Tiga sumber ajaran ini dan hirarki penggunaannya ditetapkan di dalam hadits sebagai berikut:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ : كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ : أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ  قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ : فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  وَلَا فِي كِتَابِ اللَّهِ  قَالَ : أَجْتَهِدُ رَأْيِي  وَلَا آلُو فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ  وَقَالَ : الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ  رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ

Sesungguhnya Rasulullah Saw ketika mengutus Mu’adz ke Yaman, maka beliau bertanya: "Bagaiamana engkau memutuskan suatu persoalan jika disodorkan kepadamu sebuah permasalahan hukum?". Maka Muadz menjawab, "Saya akan memutuskan dengan apa yang ada di Kitab Allah". Nabi Saw bertanya lagi, "Jika engkau tidak menemukan di dalam Kitab Allah?". Muadz menjawab, "Dengan “Sunnah Rasulullah Saw". Nabi bertanya kembali, "Jika engkau tidak menemukan di dalam Sunnah?". Dia menjawab, "Saya akan melakukan ijtihad dengan pendapat saya". Kemudian, Rasulullah Saw bersabda, "Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah Saw.”(HR. Al-Turmudzi).

Ijtihad dengan ra’y ini juga termasuk di dalamnya madzhab al-shahabi, kemashlahatan umat (mashalih mursalah), tradisi atau adat yang sudah dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat (al-‘urf), dan ijtihad yang lainnya.

 

1.      Al-Qur’an

Secara harfiah al-Qur’an berarti bacaan atau yang dibaca atau mengumpulkan atau menghimpun. Sebagaimana firman Allah Swt :

إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآَنَهُ  فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآَنَهُ

Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya dan membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu (Al-Qiyamah:17-18)

Adapun secara istilah adalah:

القُرآنُ هُوَ كَلَامُ اللهِ الْمُنَزَّل عَلَى محمد عَلَيْهِ السَّلَام الْمُتَعَبّدُ بِتِلَاوَتِهِ

Quran adalah kalam atau firman Allah yang diturunkan kepada Muhamad Saw. Yang pembacanya merupakan suatu ibadah.

Penjelasan sebagai berikut :

a.       Definisi kalam (ucapan) merupakan kelompok jenis yang meliputi segala kalam. Dan dengan menghubungkannya dengan Allah ( kalamullah ) berarti tidak semua masuk dalam kalam manusia, jin dan malaikat.

b.      Batasan dengan kata-kata almunazzal (yang diturunkan) maka tidak termasuk kalam Allah yang sudah khusus menjadi milik-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam Firman Allah :

قُل لَّوۡ كَانَ ٱلۡبَحۡرُ مِدَادٗا لِّكَلِمَٰتِ رَبِّي لَنَفِدَ ٱلۡبَحۡرُ قَبۡلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَٰتُ رَبِّي وَلَوۡ جِئۡنَا بِمِثۡلِهِۦ مَدَدٗا 

Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (Al-Kahfi: 109).

c.       Batasan dengan definisi hanya kepada Muhammad Saw, maka tidak termasuk yang diturunkan kepada nabi-nabi sebelumnya seperti taurat, zabur, injil dan yang lain.

d.      Sedangkan batasan al-muta'abbad bi tilawatihi (yang pembacanya merupakan suatu ibadah) mengecualikan hadits ahad dan hadits-hadits qudsi .

 

Nama-nama al-Qur’an

a.       Qur`an

إِنَّ هَذَا الْقُرْآَنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ

Al Qur`an ini memberikan petunjuk kepada yang lebih lurus (Al-Isra’ : 9)

b.      Kitab

لَقَدْ أَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ كِتَابًا فِيهِ ذِكْرُكُمْ

Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu (Al-Anbiya: 10)

c.       Furqan

تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا

Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam (al-Furqan: 1)

d.      Zikr

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur`an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya ( al-Hijr :9)

e.       Tanzil

وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Sesungguhnya Al Qur`an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam (as-Syuaraa:192 ).

 

Sifat-sifat al-Qur’an

a.       Nur (cahaya ) :

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu. dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (an-nisaa : 174 )

b.   Huda (petunjuk), Syifa` (obat), Rahmah (rahmat),dan Mauizah (nasehat) :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman (Yunus : 57).

c.       Mubin (yang menerangkan) :

قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُبِينٌ

Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan ( Al-Maidah :15 ).

Dan sifat-sifat yang lain sebagaimana disebutkan dalam banyak ayatnya, seperti : Mubarak (yang diberkati), Busyra (kabar gembira),`Aziz (yang mulia), Majid (yang dihormati), Basyr (pembawa kabar gembira).

 

Karakteristik al-Qur’an

a.       Al-Quran adalah kitab Ilahi

Al-Quran berasal dari Allah Swt, baik secara lafal maupun makna. Diwahyukan oleh Allah Swt kepada Rasul dan Nabi-Nya; Muhammad Saw melalui 'wahyu al-jaliy' wahyu yang jelas. Yaitu dengan turunnya malaikat utusan Allah, Jibril a.s untuk menyampaikan wahyu kepada Rasulullah Saw yang manusia, bukan melalui jalan wahyu yang lain ; seperti ilham, pemberian inspirasi dalam jiwa, mimpi yang benar atau cara lainnya.

الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آَيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ

Alif laam raa, (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayat-Nya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu ( Huud: 1)

b.      Al-Quran adalah kitab suci yang terpelihara

Diantara karakteristik Al-Quran yang lainnya adalah ia merupakan kitab suci yang terpelihara keasliannya. Dan Allah Swt sendiri yang menjamin pemeliharaannya, serta tidak membebankan hal itu pada seorang pun. Tidak seperti yang dilakukan pada kitab-kitab suci selainnya, yang hanya dipelihara oleh umat yang menerimanya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Swt :

بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ

Disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah  (Al-Maidah: 44)

Adapun makna dipeliharanya al-Quran adalah Allah Swt memeliharanya dari pemalsuan dan perubahaan terhadap teks-teksnya, seperti yang terjadi terhadap Taurat, Injil, dan sebelumnya.

c.       Al-Quran adalah kitab suci yang menjadi mukjizat

Diantara karakteristik Al-Quran adalah kemukjizatannya. Ia adalah mukjizat terbesar yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw sehingga bangsa arab hanya menyebut-nyebut mukjizat itu saja, tidak yang lainnya, meskipun dari beliau terjadi mukjizat yang lain yang tidak terhitung jumlahnya.

d.      Al-Quran adalah kitab suci yang menjadi penjelas dan dimudahkan pemahamannya

Al-Quran adalah kitab yang memberi penjelasan dan mudah dipahami. Tidak seperti kitab filsafat, yang cenderung untuk menggunakan simbol-simbol dan penjelasan yang sulit, tidak pula seperti kitab sastra yang menggunakan perlambang-perlambang, yang berlebihan dalam menyembunyikan substansi, sehingga sulit dipahami akal. Allah Swt menurunkan Al-Quran agar makna-maknanya dapat ditangkap, hukum-hukumnya dapat dimengerti, rahasia-rahasianya dapat dipahami, serta ayat-ayatnya dapat ditadabburi. Oleh karena itu Allah Swtmenurunkan Al-Quran dengan jelas dan memberi penjelasan, tidak samar dan sulit dipahami. Sebagaimana firman Allah Swt :

وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآَنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ

             Sesungguhnya Telah kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, Maka Adakah orang yang mengambil pelajaran (Al-Qomar : 17)

e.       Al-Quran adalah kitab suci yang lengkap

Al-Quran adalah kitab agama yang menyeluruh, pokok agama dan ruh wujud islam. Darinya disimpulkan konsep akidah Islam, tatacara ibadah, tuntutan akhlak, juga pokok-pokok legislasi dan hukum. Allah Swt berfirman :

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ

Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu (An-Nahl 89)

f.        Al-Quran adalah kitab suci seluruh zaman

Makna Al-Quran sebagai kitab keseluruhan zaman adalah ia merupakan kitab yang abadi, bukan kitab bagi suatu masa tertentu, yang kemudian habis masa berlakunya. Maksudnya, hukum-hukum Al-Quran, perintah dan larangannya, tidak berlaku secara temporer dengan suatu kurun waktu tertentu, kemudian habis masanya.

g.      Al-Quran adalah kitab suci bagi seluruh umat manusia

Al-Quran bukanlah kitab yang hanya ditujukan pada suatu bangsa, sementara tidak kepada bangsa yang lain, tidak juga untuk hanya satu warna kulit manusia, atau suatu wilayah tertentu. Tidak juga hanya bagi kalangan yang rasional, dan tidak menyentuh mereka yang emosional dan berdasarkan intuisi.Tidak juga hanya bagi rohaniawan, sementara tidak menyentuh mereka yang materialis. Al-Quran adalah kitab bagi seluruh golongan manusia. Allah Swt berfirman :

إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ لِلْعَالَمِينَ

Al-Quran itu tiada lain hanyalah peringatan bagi alam semesta (At-Takwir: 27)

 

Fungsi al-Qur’an sebagai Sumber Pendidikan Islam

a.       Dari segi namanya, al-Qur’an secara harfiah membaca atau bacaan. Adapun alkitab berarti menulis atau tulisan. Membaca dan menulis merupakan kegiatan utama dalam kegiatan pendidikan.

b.      Dari segi surat yang pertama kali diturunkan, yaitu ayat 1 sampai 5 surat al-Alaq yang juga berkaitan dengan kegiatan pendidikan.

c.       Dari segi fungsinya sebagai al-huda, al-furqan, al-hakim, al-bayyinah yang semuanya berkaitan dengan fungsi pendidikan Islam.

d.      Dari segi kandungannya, al-Qur’an berisi ayat –ayat yang mengandung isyarat tentang berbagai aspek pendidikan.

e.       Dari segi sumbernya, yakni Allah Swt, telah mengenalkan diri-Nya sebagai al-rabb atau al-murabbi, yakni sebagai guru dan orang yang pertama kali diajarkan adalah Nabi Adam AS.[2]

Al-Qur’an ialah firman Allah Swt berupa wahyu yang disampaikan oleh malaikat Jibril AS kepada Nabi Muhammad Saw. Di dalamnya terkandung ajaran pokok yang dapat dikembangkan untuk keperluan seluruh aspek kehidupan melalui ijtihad dari dua prinsip besar, yaitu berhubungan dengan masalah keimanan (Aqidah), dan yang berhubungan dengan amal keseharian (syari’at).

Pendidikan, karena masuk ke dalam usaha atau tindakan untuk membentuk kepribadian manusia, termasuk ke dalam ruang lingkup mu’amalah. Pendidikan dipandang sangat penting, karena juga menentukan corak dan bentuk amal kehidupan manusia, baik pribadi maupun masyarakat.

Al-Qur’an adalah landasan utama dalam ilmu pendidikan Islam. Al-Qur’an merupakan kebenaran yang disampaikan oleh Allah Swt dan dengan demikian Allah adalah guru utama manusia yang memberikan ilmu dan ajaran kebenaran agar manusia dapat menjalani hidupnya dengan baik. Hal ini disebutkan dalam firman Allah surat Al baqarah ayat 2:

ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ

Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa (Al-Baqarah : 2)

مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ۚ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ

Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan (Al-An’am: 38).

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ تِبْيَٰنًا لِّكُلِّ شَىْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ

Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (An-Nahl: 89).

Di dalam Al-Qur’an terdapat banyak sekali ajaran yang berisi prinsip–prinsip berkenaan dengan kegiatan atau usaha pendidikan tersebut. Salah satu diantaranya adalah kisah Luqman dalam mendidik anaknya, yang terdapat pada Surat Al-Luqman: 12-19. Dalam ayat tersebut terdapat 5 azas pendidikan yaitu yang berkenaan dengan:

1)      Azas Pendidikan Tauhid

2)      Azas Pendidikan akhlaq kepada orang tua dan masyarakat

3)      Azas Pendidikan amar ma’ruf nahi munkar

4)      Azas Pendidikan kesabaran dan ketabahan

5)      Azas Pendidikan sosial kemasyarakatan

Pendidikan, karena termasuk ke dalam usaha atau tindakan untuk membentuk manusia, termasuk ke dalam ruang lingkup muamalah. Pendidikan sangat penting karena ia ikut menentukan corak dan bentuk  amal dan kehidupan manusia, baik pribadi maupun masyarakat.

Didalam al-Quran terdapat banyak ajaran yang berisi prinsip-prinsip berkenaan dengan kegiatan atau usaha pendidikan itu sendiri. Sekedar contoh, misalnya mengenai proses pembentukan manusia untuk bidang kedokteran. Allah Swt berfirman:

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ يُخْرِجُكُمْ طِفْلاً ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أَشُدَّكُمْ ثُمَّ لِتَكُونُوا شُيُوخًا وَمِنكُم مِّن يُتَوَفَّى مِن قَبْلُ وَلِتَبْلُغُوا أَجَلاً مُّسَمَّى وَلَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Dialah Allah yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari mani yang menjadi segumpal darah. Kemudian Dialah yang mengeluarkan kamu dari rahim wanita menjadi bayi sehingga kamu dewasa dan menjadi tua (Al-Mukmin: 67).

Untuk bidang hukum, ada ayat yang merupakan benih atau prinsip ilmu hukum, Allah Swt berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَآءَ للهِ وَلَوْ عَلَى أَنفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَاْلأَقْرَبِينَ إِن يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلاَ تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَن تَعْدِلُوا وَإِن تَلْوُا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (An-Nisa : 135)

 

2.      Hadits

Hadits menurut bahasa adalah baru, pembicaraan, perkataan, percakapan, cerita, kabar dan kejadian.[3]

Namun secara terminologi, ulama berbeda pendapat dalam memberikan definisi terhadap hadits disebabkan karena perbedaan tujuan keilmuan dan objek yang menjadi pembahasan atau penelitiannya.[4] Untuk mengetahui perbedaan tersebut, berikut masing-masing definisi menurut ulama hadits, ulama ushul al-fiqh, ulama fiqh dan ulama aqidah.

a.       Ulama Muhadditsin mendefinisikan hadits/ sunnah sebagai “segala apa yang berasal dari Nabi Muhammad Saw baik dalam bentuk perkataan, perbuatan, persetujuan (taqrir), sifat, atau sejarah hidup.[5]

b.      Ulama Ushul al-Fiqh (ushuluyyin) memberikan definisi hadits/ sunnah adalah segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw selain al-Qur’an, baik dari segi perkataan, perbiatan, atau pun taqrir yang dapat dijadikan sebagai dalil atas sebuah hukum syari’at.[6]

c.       Ulama Fiqh (Fuqaha) menjelaskan bahwa sunnah adalah segala yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw yang tidak berhubungan dengan hal-hal yang bersifat fardhu atau pun wajib.

d.      Ulama Aqidah mendefinisikan sunnah dengan sesuatu yang berlawanan dengan bid’ah.[7]

Perbedaan pendefinisian ini disebabkan karena perbedaan metodologis dimana Muhaddisin di dalam penelitiannya memposisikan Rasulullah Saw sebagai Imam tertinggi, pemberi jalan menuju kepada hidayah, pemberi nasehat sebagaimana berita yang disampaikan Allah Swt bahwa Rasulullah Saw merupakan uswah dan qudwah bagi kaum muslimin, sehingga para Muhaddisin mengambil seluruh yang bersumber dari Nabi Saw baik dari masalah sirah (perjalanan hidup), Akhlak, berita-berita, perkataan, dan perbuatan beliau Saw.

Adapun Ushuliyyin memposisikan Nabi Saw sebagai Musyarri’ (pembuat hukum) yang menjelaskan kepada manusia tentang pranata sosial, dan sebagai peletak kaidah-kaidah dasar untuk para Mujtahidin setelah wafat beliau.

Sementara para Fuqaha memposisikan Nabi Saw sebagai manusia yang menjalankan hukum Allah Swt, sehingga mereka mereka melakukan penelitian terhadap hukum-hukum syari’at yang berhubungan dengan pekerjaan hamba, baik yang bersifat wajib atau haram, atau mubah dan lainnya.

Sedangkan ulama aqidah memposisikan Nabi Saw sebagai pemberi kewajiban dan pemberi larangan, sehingga penekanan ulama aqidah terletak pada hal-hal yang diperintahkan oleh syariat dan hal-hal yang dilarangnya.[8]

 

Perbedaan Hadits dan Sunnah

Hadits adalah segala peristiwa yang dinisbahkan kepada Nabi Saw. walaupun hanya satu kali saja.dikerjakan dan walaupun hanya diriwayatkan satu orang saja. Sedangkan sunnah adalah nama terhadap sesuatu yang diterima dengan jalan mutawatir dari Nabi Muhammad Saw. Kemudian dilakukan oleh sahabat dan dilanjutkan oleh para tabi’in dan seterusnya. Ada juga yang berpendapat bahwa hadits adalah sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad Saw. berupa ilmu pengetahuan teori (bersifat teoritis). Sedangkan sunnah adalah suatu tradisi yang sudah tetap dikerjakan oleh Nabi Muhammad Saw. berupa perkara yang bersifat amalan (bersifat praktis).[9]

 

Perbedaan antara Hadits Nabi, Hadits Qudsi dan al-Qur’an

Hadits Nabi adalah ucapan yang disandarkan secara langsung kepada Nabi Muhammad Saw[10] sedangkan hadits qudsi adalah sesuatu yang dikabarkan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw dengan melalui ilham atau impian, yang kemudian Nabi menyampaikan makna dari ilham atau impian tersebut dengan ungkapan kata beliau sendiri.[11]Adapun al-Quran, lafazh dan maknanya dari sisi Allah melalui wahyu yang jelas. Perbedaan itu dapat dirinci sebagai berikut:

a.       Semua lafaz ayat al-Quran adalah mu’jizat dan mutawatir, sedang hadits qudsi tidak demikian halnya.

b.      Ketentuan hukumnya yang berlaku bagi al-Quran tidak berlaku bagi al-Hadits, seperti pantangan menyentuhnya bagi orang yang sedang berhadats kecil, dan pantangan membacanya bagi orang yang berhadats besar. Sedang untuk hadits qudsi tidak ada pantangannya.

c.       Setiap huruf yang dibaca dari al-Quran memberikan hak pahala kepada pembacanya sepuluh kebaikan.

d.      Meriwayatkan al-Quran tidak boleh dengan maknanya saja atau mengganti lafazh sinonimnya, berlainan dengan al-Hadits.[12]

e.       Perbedaan hadits nabi dengan hadits qudsi adalah hadits qudsi biasanya diberi ciri-ciri dengan dibubuhi kalimat-kalmat qaala (yaquulu) Allahu, fima yarwihi, anillahi tabaraka wata’ala, dan lafazh lafzah lain yang semakna dengan apa yang tersebut.

 

Perbedaan Hadits dengan Khabar dan Atsar

Kata khabar bermakna pengetahuan, lunak dan melimpah. Sehingga yang dimaksud dengan khabar adalah sesuatu yang diketahui kemudian diberitakan atau disampaikan, baik berupa perkataan atau perbuatan dan pada akhirnya pengetahuan yang disampaikan disebut berita. Namun secara terminologi, ulama berbeda pendapat tentang definisinya antara lain sebagai berikut:

a.       Definisi khabar sama dengan hadits yaitu segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Saw., baik perkataan, perbuatan atau ketetapan.

b.      Khabar adalah sesuatu yang datang selain dari Nabi Muhammad Saw., karena yang datang dari Nabi Saw. disebut hadits.

c.       Khabar lebih umum dari pada hadits, karena khabar dapat digunakan untuk apa yang datang dari Nabi dan selain Nabi Saw., sedangkan hadits khusus digunakan untuk apa yang datang dari Nabi Saw. Menurut pendapat ini, semua hadits bisa disebut khabar, tetapi tidak semua khabar bisa disebut hadits.[13]

Adapun atsar secara etimologi bermakna sisa dari sesuatu.[14] Sedangkan secara terminologi adalah ada tiga pendapat, yaitu:

a.       Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw. berupa perkataan, perbuatan, ketetapan dan sifat/moral.

b.      Apa yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in.

c.       Para pakar Fiqh dari Khurasan menamakan semua hadits mauquf dengan nama atsar, sedangkan hadits marfu’ dinamakan khabar.[15]

 

Unsur yang Harus Ada dalam Sebuah Hadits

a.       Sanad

Secara bahasa, sanad berasal dari bahasa kata سند yang berarti إنضمام الشيئ الى الشيئ (menggabungkan sesuatu ke sesuatu yang lain), karena di dalamnya tersusun banyak nama yang tergabung dalam satu rentetan jalan. Bisa juga ia berarti المعتمد (pegangan), dinamakan demikian karena hadits merupakan sesuatu yang menjadi sandaran dan pegangan.

Sementara menurut istilah, sanad adalah jalan yang dapat menghubungkan matan hadits sampai kepada Nabi Muhammad Saw.[16] Dengan kata lain, sanad adalah rentetan perawi-perawi (beberapa orang) yang sampai kepada matan..

 

b.      Matan

Matan, berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari huruf م- ت- ن yang berarti punggung jalan atau bagian tanah yang keras dan menonjol keatas.[17] Apabila dirangkai menjadi kalimat matn al-hadits maka defenisinya adalah:

الفاظ الحديث التى تتقوم بها المعانى

Kata-kata hadits yang dengannya terbentuk makna-makna.[18]

Dapat juga diartikan sebagai ما ينتهى إليه السند من الكلام  yang artinya spa yang berhenti dari sanad berupa perkataan.[19]

 

Kegunaan dan Fungsi Hadits

Dilihat dari segi kedudukannya, hadits dapat dibagi kepada dua hal. Pertama, hadits sebagai sumber hukum. Ini terkait dengan perintah untuk mentaati beliau sebagai Rasulullah dan segala apa yang datang dari beliau hendaknya dijadikan landasan. Kedua, hadits sebagai sumber keteladanan yang didasarkan pada kedudukan nabi sebagai uswatun hasanah,[20] sehingga semua aspek dari hadits nabi patut untuk diteladani.

Adapun dari segi fungsinya, hadits Nabi berfungsi sebagai penjelas (bayan) terhadap al-Qur’an karena ayat-ayat al-Qur’an itu sendiri masih ada yang mubham, mujmal dan khas.[21] Seperti hadits mengenai tata cara shalat yang dalam al-Qur’an tidak disebutkan secara rinci, disinilah hadits berfungsi menjelaskannya. Selain itu, hadits juga berfungsi sebagai pendukung terhadap ketetapan yang ada dalam al-Qur’an.

 

Hadits Sebagai Sumber Pendidikan Islam

Hadits bisa dijadikan sumber pendidikan Islam karena beberapa point yang dapat dipahami sebagai berikut:

a.       Rasulullah Saw adalah tokoh yang memiliki banyak peran. Ia adalah seorang pemimpin umat, komandan perang, referensi bagi umat dan hakim dalam menyelesaikan berbagai masalah. Tapi dari sekian banyak peran beliau, peran paling utama dan esensial adalah peran sebagai seorang guru atau guru. Bukti hal ini bisa dilihat pada firman Allah Swt berikut ini:

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata (Al-Jumuah: 2)

Ada tiga peran utama Rasulullah Saw yang tertera dalam di atas: 1) Membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, 2) Mensucikan mereka, 3) Mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Ketiga peran itu tersimpul dalam satu kata “mendidik.” Mari simak hadits hadits berikut.

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أنَّ اللَّهَ لَمْ يَبْعَثْنِي مُعَنِّتًا وَلَا مُتَعَنِّتًا وَلَكِنْ بَعَثَنِي مُعَلِّمًا مُيَسِّرًا

Rasulullah Saw bersabda: Allah tidak mengutusku sebagai orang yang kaku dan keras akan tetapi mengutusku sebagai seorang guru dan mempermudah. (HR. Muslim). Dalam riwayat dari Abu Dawud disebutkan:

فَمَا رَأَيْتُ مُعًلِّماً قَطٌّ أَرْفَقُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم

Aku belum pernah melihat seorang guru yang lebih santun dari Rasulullah Saw  (HR. Abu Dawud)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ مِنْ بَعْضِ حُجَرِهِ فَدَخَلَ الْمَسْجِدَ فَإِذَا هُوَ بِحَلْقَتَيْنِ إِحْدَاهُمَا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ وَيَدْعُونَ اللَّهَ وَالْأُخْرَى يَتَعَلَّمُونَ وَيُعَلِّمُونَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلٌّ عَلَى خَيْرٍ هَؤُلَاءِ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ وَيَدْعُونَ اللَّهَ فَإِنْ شَاءَ أَعْطَاهُمْ وَإِنْ شَاءَ مَنَعَهُمْ وَهَؤُلَاءِ يَتَعَلَّمُونَ وَإِنَّمَا بُعِثْتُ مُعَلِّمًا فَجَلَسَ مَعَهُمْ

Dari Abdullah bin Amru ia menceritakan bahwa suatu hari Rasulullah Saw masuk ke masjid. Di dalam masjid ada dua kelompok sahabat sedang berkumpul-kumpul. Kelompok pertama sedang membaca Al-Quran dan berdoa, sementara kelompok kedua sedang melakukan kegiatan belajar mengajar. Melihat pemandangan indah tersebut Nabi Saw bersabda: “Mereka semua berada dalam kebaikan. Kelompok pertama membaca Al-Quran dan berdoa kepada Allah, jika Allah berkehendak Dia akan memberi (apa yang mininta) mereka. Sementara kelompok yang kedua belajar mengajar, dan sesungguhnya aku diutus sebagai seorang guru”. Kemudian Rasulullah Saw duduk dan bergabung bersama kelompok yang kedua. (HR. Ibnu Majah). Rasulullah Saw bahkan menjadikan ilmu dan belajar sebagai hak dalam bertetangga, maka seorang tetangga wajib menghilangkan buta huruf dari tetangga yang lain.

عن أبي موسى الأشعري أن النبي صلى الله عليه وسلم قال ما بال أقوام لا يفقهون جيرانهم ولا يعلمونهم ولا يعظونهم ولا يأمرونهم ولا ينهونهم وما بال أقوام لا يتعلمون من جيرانهم ولا يتفقهون ولا يتعظون والله ليعملن قوم جيرانهم ويفقهونهم ويعظونهم ويأمرونهم وينهونهم وليتعلمن قوم من جيرانهم ويفقهون ويتعظون أو لأعاجلنهم بالعقوبة في الدنيا

Dari Abu Musa Al-Asyari bahwa Nabi Saw bersabda: “Bagaiamankah keadaan suatu kaum yang tidak mengajarkan tetangga mereka, tidak menasihati mereka, tidak beramar makruf dan nahi mungkar kepada mereka. Dan bagaimanakah keadaan suatu kaum yang tidak belajar dari tetangga mereka, dan tidak meminta nasehat kepada mereka? Demi Allah, Suatu kaum hendaknya mengajarkan tetangga mereka, memberikan nasehat dan beramar makruf dan nahi mungkar kepada mereka dan hendaknya suatu kaum belajar dari tetangga mereka dan meminta nasehat mereka. Jika tidak maka akan disegerakan hukuman di dunia”. (HR. Ath-Thabrani). Rasulullah Saw mengajarkan agar seorang guru mendidik dengan dengan cara yang lemah lembut, luwes dan tidak keras. Sebagaimana sabda Nabi Saw berikut:

عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا بَعَثَ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِهِ فِي بَعْضِ أَمْرِهِ قَالَ بَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا وَيَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا

Dari Abu Musa berkata: Jika Rasulullah Saw mengutus seseorang dari para Sahabatnya dalam suatu perkara, beliau bersabda: “Berikanlah berita gembira dan jangan membuat orang lari, permudahlah orang lain jangan engkau persulit”. (HR. Bukhari Muslim). Nabi Saw selalu berdoa agar diberikan ilmu yang bermanfaat dan dijauhkan dari ilmu yang tidak bermanfaat, seperti doa yang selalu beliau baca berikut ini.

اللهم إني أعوذ بك من علم لا ينفع ومن قلب لا يخشع ومن نفس لا تشبع ومن دعوة لا يستجاب لها

Ya Allah aku berlindung kepadamu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyu, nafsu yang tidak pernah kenyang dan dari doa yang tidak diterima. (HR. Muslim).

b.      Ketika Nabi Muhammad Saw berada di Mekkah pernah menyelenggarakan pendidikan di darul al-Arqam dan ketika di Madinah di suffah. Usaha-usaha tersebut menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Saw memiliki perhatian yang besar terhadap penyelenggaraan pendidikan.

c.       Sejarah mencatat bahwa Nabi Muhammad sebagai Nabi yang paling berhasil mengemban risalah ilahiyah karena berhasil mengubah masyarakat jahiliyyah menjadi masyarakat yang beradab, dari kegelapan menuju terang benderang, dari tersesat menjadi lurus, dari kehancuran moral menjadi berakhlak mulia. Keberhasilan ini terkait erat dengan keberhasilannya dalam bidang pendidikan.

d.      Di dalam teks atau matan hadits Nabi Muhammad Saw banyak dijumpai isyarat yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran. Misalnya hadits Nabi Muhammmad Saw yang mewajibkan kepada setiap muslim untuk menuntut ilmu, menuntut ilmu kenegeri cina, memuliakan orang berilmu dan lain sebagainya.

e.       Hasits menjelaskan sistem pendidikan Islam sebagaimana yang terdapat di dalam al-Qur’an dan menerangkan hal-hal rinci yang tidak terdapat didalamnya.

f.        Hadits juga menjelaskan prinsip umum ajaran al-Qur’an. Umpamanya al-Qur’an menyatakan kewajiban anak berbuat baik kepada orang tua.

وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَتُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak (An-Nisa: 36). Berbuat baik kepada orang tua merupkan prinsip umum yang digariskan al-Qur’an dalam hubungan dengan orang tua. Penerapannya bisa dalam bentuk yang bermacam-macam. Al-Qur’an sendiri antara lain mengemukakan:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلآ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلاَتَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا

Rabb-mu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (Al-Isra:23). Pada bagian lain dijelaskan:

وَوَصَّيْنَا اْلإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا وَإِن جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَالَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَآ إِلَّى مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّأُكُم بِمَاكُنتُمْ تَعْمَلُونَ

Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapak-nya.Dan jiak keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya.Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Al-Ankabut :8). Hadits menjelaskan prinsip tersebut dalam bentuk penerapan yang lebih banyak lagi. Umpamanya, anak tidak boleh ikut berperang tanpa izin orangtuanya.

أَقْبَلَ رَجُلٌ إِلَى نَبِىِّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ أُبَايِعُكَ عَلَى الْهِجْرَةِ وَالْجِهَادِ أَبْتَغِى الأَجْرَ مِنَ اللَّهِ. قَالَ فَهَلْ مِنْ وَالِدَيْكَ أَحَدٌ حَىٌّ. قَالَ نَعَمْ بَلْ كِلاَهُمَا. قَالَ فَتَبْتَغِى الأَجْرَ مِنَ اللَّهِ. قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَارْجِعْ إِلَى وَالِدَيْكَ فَأَحْسِنْ صُحْبَتَهُمَا

Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata “Saya berbai’at kepadamu untuk berhijrah dan berjihad, aku mengharapkan pahala dari Allah.” Beliau bertanya, “Apakah salah satu orang tuamu masih hidup?” Ia menjawab, “Ya, bahkan keduanya masih hidup.” Rasulullah bertanya lagi, “Maka apakah kamu masih akan mencari pahala dari Allah?” Ia menjawab, “Ya.” Maka beliau pun bersabda, “Pulanglah kepada kedua orang tuamu lalu berbuat baiklah dalam mempergauli mereka.” (HR. Muslim). Contoh lainnya ialah anak tidak boleh menghina orang tua yang lain, sebab anak yang orangtuanya dihina boleh jadi akan balas menghina orangtuanya pula. Rasulullah Saw bersabda:

مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ يَشْتِمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ : نَعَمْ يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ

Termasuk dosa besar, (yaitu) seseorang mencela dua orang tuanya,” mereka bertanya, “Wahai Rasûlullâh, adakah orang yang mencela dua orang tuanya ?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, seseorang mencela bapak orang lain, lalu orang lain itu mencela bapaknya. Seseorang mencela ibu orang lain, lalu orang lain itu mencela ibunya.” (HR al-Bukhâri Muslim)

 

g.      Menggariskan metode-metode pendidikan yang dapat dipraktikkan.[22] Pribadi Rasulullah Saw sendiri merupakan contoh hidup serta bukti konkret system dan hasil pendidikan Islam. Hal ini diakui oleh Allah Swt dengan firman-Nya:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Al-Ahzab : 21). Banyak tindakan mendidik yang dicontohkan Rasulullah Saw dalam pergaulannya bersama para shahabat. Dia menganjurkan agar pembicaraan yang diarahkan kepada orang lain hendaknya disesuaikan dengan tingkat kemampuan berpikir mereka. Dia memperhatikan setiap orang sesuai dengan sifatnya wanita atau lelaki, tua atau kanak-kanak. Kepada orang yang menyenangi harta, dia akan memberinya harta agar hatinya menjadi lunak. Kepada orang yang mencintai kedudukan, dia akan menempatkan kedudukan orang itu dekat dengannya, karena di mata kaumnya dia adalah orang yang berkedudukan. Dalam pada itu, dia tidak pernah lengah untuk menyeru mereka agar beribadah kepada Allah dan melaksanakan syariat-Nya. Ulama muslim telah memahami dan menyadari pentingnya tindakan mendidik yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw di antara mereka ada yang menyusun kitab berisi hadits-hadits Rasulullah Saw yang berorientasi pendidikan, seperti kitab at-Targhib wa al-Tarhib. Kitab karya ‘Abdul ‘Azham al-Mundziri ini menanamkan motivasi untuk cinta mengerjakan kebaikan dan menjauhi perbuatan jahat. Kitab ini membahas banyak aspek kehidupan: material, spiritual, finansial, individual, sosial, peribadatan, dan intelektual. Ada pula ulama yang mempelajari kehidupan dan hadits Rasulullah Saw untuk menggali beberapa topik pendidikan yang kemudian disusun menjadi kitab. Contohnya adalah kitab Tuhfah al-Maudud fi Ahkam al-Maulud, karya Ibnu Qayyim al-jauziyyah dan al-Adab al-Mufrad karya Imam Muhammad Ismail al-Bukhari. Yang terkahir ini adalah kitab pendidikan Nabawi yang mengandung beberapa tuntunan sekitar pendidikan dan perlakuan terhadap anak-anak yatim, perilaku sosial, serta menyayangi, mencium dan bercanda dengan anak-anak.[23]

 

3.      Ra’y

Kata ra’yu ( رأى) adalah mashdar dari kata ra’a yang secara etimologi artinya ‘melihat’. Objek yang dikenai oleh kata ra’yu dalam al-Qur’an dibagi menjadi dua, yaitu objek konkrit (berupa) atau objek yang abstrak. Contoh yang konkrit dari firman Allah Swt:

فَلَمَّا رَءَا الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي هَذَآ أَكْبَرُ فَلَمَّآ أَفَلَتْ قَالَ يَاقَوْمِ إِنِّي بَرِىءٌ مِّمَّا تُشْرِكُونَ

Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar (Al-An’am: 78)

Terhadap objek yang abstrak, bisa diartikan dengan ‘melihat dengan hati’ atau ‘memikirkan’. Sebagaimana firman Allah Swt:

أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللهَ سَخَّرَ لَكُم مَّافِي السَّمَاوَاتِ وَمَافِي اْلأَرْضِ

Tidakkah kamu perhatikan sesuangguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)-mu apa yang dilangit dan apa yang di bumi (Luqman: 20)

Kata ra’yu yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah dalam artian “memikirkan”, juga berarti ‘hasil pemikiran atau ‘rasio’.

Sehingga dapat di simpulkan bahwa ra'yu adalah salah satu cara umat Islam untuk menetapkan suatu hukum dari permasalahan-permasalahan kontemporer yang belum didapati dalam al-Quran dan Hadits. Manusia memiliki akal yang mampu berfikir secara komprehensif dengan tetap berpegang teguh pada Alquran dan Hadits sebagai bukti keabsahan hasil ra'yu. Namun perlu digarisbawahi bahwa akal dan ra'yu memiliki perbedaan dalam pengertiannya. Akal adalah subjek (alat/pelaku yang melakukan pemikiran), sedangkan ra'yu adalah suatu hasil/obyek dari proses pemikiran yang bertujuan untuk mencari kebenaran/solusi dari suatu hukum yang tidak ada di dalam Alquran dan hadits.

Adapun ra'y secara bahasa berarti berpendapat dan pertimbangan. Tetapi orang-orang Arab telah mempergunakan bagi pendapat dan keahlian yang dipertimbangkan dengan baik dalam menangani urusan yang dihadapi. Seseorang yang memiliki persepsi mental dan pertimbangan yang bijaksana dikenal sebagai dzu’l-ra’y. Lawan kata dari dzu’l-ra’y adalah mufannad, seseorang yang lemah dalam pertimbangan dan tak bijaksana dalam berpikir.

Ini secara tidak langsung berarti bahwa kesempurnaan intelektual dan kematangan dalam menimbang sesuatu telah lama dijadikan satu kriteria bagi kebesaran seseorang. Qur’an sendiri secara berulang-ulang menyerukan untuk berpikir dalam-dalam dan merenungkan ayat-ayatnya. Ia mengajak untuk menggunakan nalar dan pendapat pribadi dalam persoalan-persoalan hukum. Rasulullah sendiri memberikan contoh dengan menerima pendapat para sahabat dalam persoalan-persoalan di mana beliau tidak dituntun oleh wahyu. Sebagai contoh, pada peristiwa perang Badr, Rasulullah memilih satu tempat tertentu untuk membangun satu perkemehan bagi pasukan Muslimin. Seorang sahabat, Hubaib bin al-Mundzir, bertanya apakah beliau memilih tempat itu atas pertimbangan (ra’y) beliau atau petunjuk Allah. Rasulullah menjawab bahwa pemilihan tempat itu berdasarkan pertimbangan beliau sendiri. Ketika sahabat itu menyarankan suatu tempat yang lebih cocok, Rasulullah menyatakan padanya : Engkau telah memberikan alasan yang masuk akal (laqad asyarta bi’l-ra’y). Banyak contoh di mana Rasulullah bertukar pikiran dengan para sahabat, seperti Nabi menginginkan agar para tawanan Badar dibebaskan dengan tebusan, sedangkan Umar mengusulkan untuk membunuh mereka. Begitu juga Nabi hendak mensalatkan Abdullah Ibn Ubay, tapi Umar melarangnya. Dalam kasus-kasus ini, wahyu selalu turun membenarkan Umar.[24]

Istilah ra’y, yang merupakan cara penalaran yang paling amiah dan tersebar luas pada masa awal, lama kelamaan lalu dikenai persyaratan-persyaratan dan pembatasan-pembatasan yang bertujuan untuk menghentikan penggunaannya secara semau-maunya, dan mensistematiskan proses penalaran. Bentuk sistematis penalaran individual di bidang hukum Islam selanjutnya lebih dikenai sebagai Qiyas.

Meskipun Qiyas merupakan bentuk sistematis dari ra’y, terdapat perbedaan besar antara keduanya. Ra’y memiliki sifat yang luwes dan dinamis. Ia membuat keputusan dalam sinaran semangat, kearifan, dan keadilan Islam. Ra’y adalah pendapat yang bijaksana dan cermat dari seseorang yang berhasrat untuk mencapai keputusan yang tepat. Dalam kata-kata Ibnu Qayyim, ra’y adalah suatu keputusan yang dicapai oleh seseorang setelah melakukan pemikiran, perenungan dan pencarian yang sungguh-sungguh akan kebenaran dalam kasus di mana petunjuk-petunjuk yang diperoleh saling bertentangan. Dengan kata lain, ra’y berarti keputusan yang diyakini pasti diambil oleh wahyu seandainya turun, atau oleh Rasulullah, seandainya beliau ada. Qiyas adalah perbandingan antara dua hal yang sejajar karena keserupaannya. Keserupaan ini, yang secara tekhnis dikenai sebagai ‘illah tidak selamanya dapat ditentukan secara pasti. Orang dapat berbeda paham dalam menentukannya. Memang, qiyas adalah perluasan dari suatu preseden. Karena itu, cakupannya jauh lebih terbatas daripada ra’y. Dalam ra’y penekanan adalah terhadap situasi yang aktual, sedangkan pada qiyas penekanannya adalah pada analogi yang abstrak, apapun juga situasi yang ada.

Pada Ibnu Muqaffa’, kita temukan contoh sifat terbatas dari qiyas ini. la melukiskannya dengan contoh berikut. Misalnya seseorang datang berkonsultasi kepada anda mengenai apakah ia harus berbicara bohong atau jujur. Sudah tentu anda akan menyarankan untuk berbicara jujur. Kemudian dia bertanya pada anda apakah ia harus bicara jujur dalam setiap keadaan, katakanlah ketika seseorang berkeinginan untuk membunuh orang tertentu, haruskah ia berkata jujur dan memberikan petunjuk kepada calon pembunuh tersebut dimana kiranya orang yang mau dibunuhnya itu berada. Disini qiyas meminta bahwa ia harus berbicara jujur tetapi ra’y memberi petunjuk agar melanggar aturan, yaitu berbohong tetapi mengambil langkah-langkah yang kiranya bermanfaat. Contoh ini memperlihatkan bahwa qiyas gagal berfungsi dalam berbagai peristiwa karena lingkupnya yang terbatas.

Pada mazhab-mazhab pertama, khususnya mazhab-mazhab yang ada di Iraq, qiyas dilaksanakan dalam pengertian yang sedikit lebih luas, dengan selalu mendekatkannya kepada ra’y. Tetapi Imam  Syafi’i membatasinya. Ia menetapkan sejumlah aturan untuk membatasi ra’y pada qiyas, yang menjadikannya lebih dekat kepada nash. Dari mulai Syafi’i dan seterusnya, ra’y tersingkirkan oleh qiyas yang diberi batasan dengan cara demikian, dengan akibat bahwa ra’y dikecam dengan sangat pedasnya dan qiyas mulai memperoleh tempat utama dalam penalaran.

 

4.      Madzhab Shahabat Nabi

Yang dimaksud dengan mazhab shahabi ialah pendapat sahabat rasulullah Saw tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.

Shahabat adalah orang yang pernah berjumpa dengan Nabi Muhammad Saw dalam keadaan beriman dan mati dalam keadaan beriman juga.[25] Upaya shahabat Nabi Saw dalam pendidikan Islam sangat menentukan bagi perkembangan pendidikan Islam. Abu Bakar al-Shiddiq misalnya mengumpulkan al-Qur’an dalam satu mushhaf yang dijadikan sebagai sumber utama pendidikan Islam. Ia juga mengajarkan pola hidup sederhana, rela berkorban dan setia mendampingi Nabi Muhammad Saw. Umar bin Khaththab mengajarkan hidup tegas dalam memberantas kemungkaran dan dikenal sebagai orang yang mengembangkan system perpajakan, penggajian dan penanggalan tahun hijriyah. Ustman bin Affan mengajarkan hidup dermawan, rendah hati dan berakhlak mulia. Beliau juga berusaha untuk menyatukan sistematika berfikir ilmiah dalam menyatukan sistematika berpikir ilmiah dalam menyatukan susunan al-Qur’an dalam satu mushaf. Sementara Ali bin Abi Thalib dari keberaniannya dan kesediannya mengatur berbagai aspek manajemen pemerintahan dapat digunakan sebagai sumber pendidikan Islam.

 

5.      Mashlahah al-Mursalah

Mashalah mursalah secara harfiah berarti kemashlahatan umat. Adapun dalam arti yang lazim digunakan yaitu undang-undang, peraturan atau hukum yang tidak disebutkan secara tegas di dalam nash namun dipandang perlu diadakan demi kemashlahatan umat. Adanya surat nikah misalnya, walaupun tidak disebutkan secara tegas dalam nash, namun surat nikah tersebut diperlukan, agar menjadi bukti yang sah dan mendapat perlindungan hukum atas pernikahannya. Dengan pengakuan ini maka ia berhak mendapatkan hak-hak sipil sebagai warga Negara, seperti kartu keluarga, surat akta kelahiran, tunjangan dari pemerintah, pembagian warisan dan lain sebagainya. Selain surat nikah, masih banyakj hal lain yang termasuk produk mashlahat mursalaha seperti ijazah, stempel surat, KTP, SIM, dan lain sebagainya.[26]

Agar mashalat mursalah tidak menyimpang dari tujuan utamanya, yakni kemashlahatan umat, maka dipersyaratkan sebagai berikut:

a.       Apa yang dicetuskan benar-benar membawa kemashlahatan dan menolak kerusakan setelah melalui tahapan observasi dan analisis;

b.      Kemashlahatan yang diambil merupakan kemashlahatan yang bersifat universal, yang mencakup seluruh lapisan masyarakat tanpa adanya diskriminasi;

c.       Keputusan yang diambil tidak bertentangan dengan nilai dasar al-Qur’an dan Hadits.[27]

 

6.      ‘Urf

Al-‘urf secara harfiah berarti sesuatu yang sudah dibiasakan dan dipandang baik untuk dilaksanakan. Adapun secara terminology, al-‘urf adalah kebiasaan masyarakat baik berupa perkataan, perbuatan maupun kesepakatan yang dilakukan secara terus menerus dan selanjutnya membentuk semacam hukum tersendiri. Dengan mengikuti al-‘uruf tersebut, maka seseorang akan merasa tenang melakukannya, karena sejalan dengan akal yang diterima oleh tabiat, serta diakui oleh masyarakat.

Kesepakatan bersama dalam tradisi dapat dijadikan acuan dalam pelaksanaan pendidikan Islam, dengan syarat:

a.       tidak bertentangan dengan ketentuan nash, baik al-Qur’an maupun Hadits;

b.      tradisi yang berlaku tidak bertentangan dengan akal sehat dan tabiat yang sejahtera, serta tidak mengakibatkan kedurhakaan, kerusakan, dan kemudaratan.[28]

Penggunaan al-‘uruf atau al-adat ini sejalan dengan kaidah yang mengatakan: al-‘adat muhakkamat. Kata al-‘uruf ini seakar dengan kata al-ma’ruf, yakni sesuatu yang dipandang baik oleh masyarakat. Penetapan al-ma’ruf sebagai sumber pendidikan Islam sejalan dengan hadits Nabi Saw yang mengatakan:

مَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ

Maka apa yang dipandang oleh kaum muslimin sebagai kebaikan maka di sisi Allah sebagai sebuah kebaikan (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

Penggunaan al-ma’ruf dapat merujuk pada firman Allah Swt:

الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ اْلأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِندَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَاْلإِنجِيلِ يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَاْلأَغْلاَلَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ

(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. (Al-‘Araf : 157)

Sumber pendidikan dalam bentuk al-‘uruf ini dapat mengambil bentuk berbagai kebijakan atau tradisi tentang penelenggaraan pendidikan dengan berbagai aspeknya yang pernah dilakukan di masa lalu, misalnya dari sejak zaman Yunani, Romawi Kuno atau masyarakat sebelum Islam. Tradisi belajar mengajar dengan cara berdiskusi atau memecahkan masalah misalnya ternyata banyak dipengaruhi oleh kebiasaan sokrates dalam memberikan pelajaran. Demikian pula institusi madrasah sebagai tempat atau balai pertemuan untuk membahas tentang masalah ilmiah juga sudah ada pada zaman Hamurabi, abad ke-8 sebelum masehi. [29]

 

7.      Pendapat Ulama

Banyak dijumpai pemikiran mereka yang dapat digunakan sebagai sumber bagi penyusunan ilmu pendidikan Islam. Al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn Khaldun, Ibn Taimiyah banyak dijumpai pemikiran mereka yang berkaitan dengan tujuan pendidikan, kurikulum, bahan ajar, metode mengajar, guru yang baik, etika pelajar dan lingkungan pendidikan. Hampir seluruh filsuf menekankan agar pendidikan berusaha mengembangkan seleuruh potensi manusia secara seimbang, sehingga terbentuk manusia yang sempurna (insan kamil) yang dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah dalam rangka mengabdi (menyembah) kepada Allah Swt. Bukan hanya membicarakan masalah agama saja melainkan juga masalah dunia; bukan hanya aspek spiritual saja, melainkan juga aspek intelektual, moral dan sosial.[30]

 

8.      Sejarah Islam

Praktik pendidikan yang pernah dilakukan pada zaman Rasulullah Saw, khulafaur Rasyidin, Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, Dinasti Usmani, kesultanan di abad pertengahan dan seterusnya yang merupakan peristiwa sejarah yang dapat dipelajari. Selain itu, sejarah perjuangan para Nabi di masa lalu dalam rangka membimbing dan membina umat juga dapat digunakan sebagai sumber pendidikan. Nabi Adam misalnya telah merintis proses pengajaran (Al-Baqarah: 30-31); Nabi Nuh sebagai perintis dalam pengembangan teknologi perkapalan (Hud: 42-43); Nabi Sholeh mengajarkan teknologi penggunaan energy listrik (petir) (Hud: 61-63); Nabi Ibrahim sebagai perintis metode deduktif dalam mencari kebenaran, pendidikan berkorban dan pendidikan keimanan (Al-An’am: 76-79),(Al-Anbiya: 51-69); Nabi Isma’il sebagai perintis pengembangan tambang air mineral, minyak, emas, dan lain-lain (Ibrahim: 37); (Al-Baqarah, 125-129); (Al-Shafat: 102); Nabi Yusuf mengajarkan metode memprediksi masa depan melalui interpretasi mimpi, pendidikan akhlak pemaaf dan pengendalian hawa nafsu (Yusuf: 1-11); Nabi Musa mengajarkan teknologi pengembangan pembuatan beton dan jembatan (Al-Baqarah: 49-82); (Al-Qashash: 7-35); Nabi Isa mengajarkan kedokteran (Maryam: 7-34): (Al-Maidah: 110-114), dan lain-lain. Kesimpulannya adalah bahwa setiap kehidupan para Nabi terdapat sumber pendidikan dan pengajaran yang baik. [31]



[1] Herry Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999, hal. 30

[2] Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 76

[3] Ambo Asse, Ilmu Hadits Pengantar Memahami Hadits dan Sunnah. Cet, I, Alaudddin Press Makassar: 2010, hal.1

[4] Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits; ‘Ulumuhu wa Mushthalahuh. Cet. I; Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H/1989 M, hal. 19

[5] Manna’ al-Qaththan, Mabahits fii Ulum al-Hadits. Cet. IV: Kairo; Maktabah Wahbah, 1425 H / 2004 M, hal. 15.

[6] Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Op.Cit. hal. 19

[7] Ibid.

[8] Ibid.

[9] M. Noor SuLaiman PL., Antologi Ilmu Hadits, Jakarta: Gaung Persada Press Jakarta, Cet. II, 2009 M. hal. 11-12.

[10] Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu–Ilmu hadits, Cet.V; Pustaka Firdaus, 2002, hal.29-30

[11] Fathur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, Cet. I; Bandung , PT. al-Ma’arif, 1974, hal.69-70

[12] Ibid., hal.70

[13] Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, Cet. III, 2007 M.), hal.32.

[14] Ibnu Manzur, Lisan al-Arab, Dar Lisan al-Arab, Beirut, tt,. Jilid 1 hal. 69.

[15] Mahmud Ali Fayyad, Metodologi Penetapan Kesahihan Hadits, Bandung: Pustaka Setia, et. I, 1419 H./1998 M,  hal. 17. Dan Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Op.Cit. hal. 61.

[16] Fatchur Rahman, Op.Cit, hal. 40.

[17] Ibn Mandzur, Lisan al-Arab, Dar Lisan al-Arab, Beirut, tt, hal. 434-435.

[18] Al-Damini, Maqayis Naqd Mutun  al-Sunnah, Riyadh: Jami’ah Ibn Sa’ud, 1984, hal. 50. Lihat juga Muhammad `Ajjaj al-Khatib, Op.Cit., hal. 32.

[19] Ibn Shalah, Ulum al-Hadits, al-Maktabah al-Ilmiyyah: Madinah al-Munawwarah, 1972, hal. 18.

[20] Ibid, hal. 7.

[21] ‘Muhammad Ajjaj al-Khatib, Op.Cit., hal. 42.

[22] Abdurrahman al-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyyah wa Asalibuha fi al-Bayt wa al-Madrasah wa al-Mujtama (Damaskus, Dar al-Fikr, 1979),  hal. 20

[23] Hery Noer Aly, Op. Cit.,  hal. 44-45.

[24] Jalaludin Rakhmat, Dahulukan Akhlak di atas Fikih, Bandung: Muthahhari Press, 2003, cet-III, hal. 220.

[25] Muhammad Ibn Alawy al-Maliki, Qawaid Asasiyah fi Ilm Mushthalah al-Hadits, Mekkah: Dar sahr, 1402H, hal. 57.

[26] Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 83

[27] Abd. Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 41

[28] Masjfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Islam, Jakarta: Haji Masagung, 1990, hal. 124.

[29] Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 84-85

[30] Ibid.,  hal. 83

[31] Ibid.,  hal. 80-81.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KATA PENGANTAR BUKU ILMU PENDIDIKAN ISLAM

MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

MATERI PERKULIAHAN: TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM