TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
BAB III
TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
A.
Pengertian
Tujuan
Di dalam bahasa Arab terdapat
sejumlah istilah yang berkaitan dengan tujuan. Sejumlah istilah ini antara lain
al-niyyat(النية), al-iradah (الإرادة), al-ghardu(الغرض), al-qashdu(القصد), al-hadp (الهدف) dan al-ghayah (الغاية).
Kata al-niyyat berasal arti kata nawaa,
yaitu niat, keinginan atau
maksud. Tempatnya di hati dan pada umumnya
dihubungkan dengan keikhlasan, sebagaimana firman Allah Swt:
وَمَآ
أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْااللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَآءَ
وَيُقِيْمُوْا الصَّلَوةَ وَيُؤْتُوْا الزَّكَوةَ وَذَلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam(menjalankan) agama
yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan meunaikan zakat; dan yang
demikian itulah agama yang lurus. (Al-Bayinah : 5)
Kata al-iradah
berarti kehendak, sebagaimana firman Allah Swt:
إِنَّمَآأَمْرُهُ
إِذَآأَرَادَ شَيْئًا أَن يَقُولَ لَهُ كُن فَيَكُونُ
Sesungguhnya
keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya ‘jadilah’,
maka jadilah ia (Yaa Siin : 82)
Kata alghardhu
berarti sasaran atau tujuan. Dari kata al-qashdu berkembang menjadi kata
al-maqshud yaitu sesuatu yang ingin dicapai, dan berkembang pula menjadi
kata al-iqtishad yang berarti pertengahan sebagimana firman Allah Swt:
وَاقْصِدْ
فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِن صَوْتِكَ إِنَّ أَنكَرَ اْلأَصْوَاتِ لَصَوْتُ
الْحَمِيرِ
Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan
lunakkanlah suaramu.Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai (Luqman
:19)
وَلَوۡ
أَنَّهُمۡ أَقَامُواْ ٱلتَّوۡرَىٰةَ وَٱلۡإِنجِيلَ وَمَآ أُنزِلَ إِلَيۡهِم مِّن
رَّبِّهِمۡ لَأَكَلُواْ مِن فَوۡقِهِمۡ وَمِن تَحۡتِ أَرۡجُلِهِمۚ مِّنۡهُمۡ
أُمَّةٞ مُّقۡتَصِدَةٞۖ وَكَثِيرٞ مِّنۡهُمۡ سَآءَ مَا يَعۡمَلُونَ
Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh
menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (al-Qur'an) yang diturunkan kepada mereka
dari Rabbnya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari
bawah kaki mereka. Diantara mereka ada golongan yang
pertengahan. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.
(Al-Maidah : 66)
Kata al-hadf tidak digunakan dalam
al-Qur’an maupun Hadits. Namun dalam percakapan bahasa Arab biasa digunakan
dengan arti tujuan atau goal dalam bahasa Inggris. Kata al-ghayah berarti batas akhir atau tujuan
akhir.
Kosa kata tersebut masih bersifat umum, tidak
secara khusus untuk masalah pendidikan walaupun di antara para ahli ada yang
menempatkan al-ghayah sebagai tujuan akhir, al-hadf sebagai
tujuan setiap tahapan, al-qashdu tujuan sementara, al-ghardu
sebagai tujuan perbidang kajian, al-maksud sebagai tujuan yang bersifat
keinginan yang kuat dan al-niyat sebagai landasan tujuan.[1]
B.
Pengertian Tujuan Pendidikan
Tujuan
artinya sesuatu yang dituju dengan suatu kegiatan atau usaha. Sehingga dapat
dikatakan bahwa tujuan pendidikan adalah batas akhir yang dituju melalui suatu kegiatan
atau usaha pendidikan.
Tujuan dapat dibedakan dari dorongan. Umpamanya, orang
yang sedang tertidur lelap menggerakkan tangannya ketika nyamuk menggigitnya.
Gerakan itu lahir dorongan organis yang disebut sebagai dorongan mempertahankan
hidup, bukan dari usaha sadar untuk memukul nyamuk, karena orang itu tidak
peduli apakah pukulannya menggenai sasaran ataukah tidak. Contoh lain adalah
orang yang malas bekerja untuk mencari penghidupan karena bergantung pada
ayahnya yang kaya. Namun, manakala ayahnya telah meninggal dunia, sementara
ibunya sakit-sakitan, ia baru bersemangat bekerja. Meninggalnya ayah dan ibu
yang sakit-sakitan bukanlah tujuan dari bekerja, melainkan dorongan psikis yang
membuatnya semangat bekerja, sedangkan tujuan bekerja adalahnya ialah mencari
nafkah.
Tujuan dapat pula dibedakan dari akibat. Umpamanya,
seorang mahasiswa belajar bersungguh-sungguh untuk memperoleh ilmu atau
kecakapan hidup. Ternyata belajar yang demikian telah membuatnya lulus dan
diangkat menjadi pegawai di sebuah instansi dengan gaji yang besar. Lulus,
diangkat menjadi pegawai, gaji besar adalah akibat-akibat yang lahir dari
belajar yang sunggug-sungguh, sedangkan tujuan belajarnya sendiri adalah
memperoleh ilmu atau kecakapan tertentu. Akibat adalah hasil yang lahir dari
tingkah laku baik hasil itu dapat merealisasikan tujuan atau tidak.[2]
C.
Fungsi
Tujuan Pendidikan
1.
Tujuan pendidikan mengarahkan perbuatan mendidik. Fungsi
ini menunjukkan pentingnya perumusan dan pembatasan tujuan pendidikan secara
jelas. Tanpa tujuan yang jelas, proses pendidikan akan berjalan tidak efektif
dan tidak efisien, bahkan tidak menentu dan salah dalam menggunakan metode,
sehingga tidak mencapai manfaat. Tujuanlah yang menentukan metode apa yang
seharusnya digunakan untuk mencapainya. Kepentingan ini dapat dipelajar dari
firman Allah Swt:
فَأَيْنَ تَذْهَبُوْنَ
Maka kemanakah
kalian akan pergi? (Al-Takwir: 26)
Firman Allah tersebut diarahkan kepada orang-orang kafir
yang tidak insyaf yang tidak insyaf akan tujuan hidupnya. Kalaulah mereka itu
insyaf, tentu mereka tidak akan menolak al-Qur’an, sebab di dalamnya terdapat
pelajaran dan petunjuk yang memimpin manusia untuk mencapai tujuan hidupnya.
2.
Tujuan pendidikan memberi semangat dan dorongan untuk
melaksanakan pendidikan. Hal ini juga berlaku pada setiap perbuatan. Sebagai
contoh, seseorang diperintah untuk berjalan di jalan tertentu tanpa dijelaskan
kepadanya mengapa ia harus menempuh jalan itu atau tanpa diberi kesempatan
untuk memilih jalan lain. Dengan perintah yang demikian, barangkali orang itu
akan berjalan ragu-ragu. Akibatnya, ia akan berjalan lamban. Lain halnya,
apabila dijelaskan kepadanya bahwa dijalan itu ia akan mendapatkan kebun yang
indah serta pemiliknya serta pemiliknya seorang yang ramah dan suka mengajak
orang-orang yang lewat untuk makan bersamanya, sementara ia sedang lapar, tentu
ia akan menempuh jalan itu dengan penuh semangat.[3]
D.
Korelasi antara Tujuan Pendidikan dengan Tujuan Hidup Manusia
Tujuan
pendidikan ditentukan oleh guru sebagai orang yang mengarahkan proses pendidikan. Karenanya, tujuan pendidikan berkaitan erat
dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh guru di dalam hidupnya. Dengan
perkataan lain, tujuan pendidikan tidak bisa dipisahkan dari tujuan hidup guru.
Pendidikan baru akan mempunyai tujuan apabila guru sendiri sadar akan tujuan
hidupnya. Bahkan, sekiranya guru tidak menentu dalam mengenali tujuan hidupnya,
maka arah perilaku mendidiknya akan tidak jelas. Selanjutnya tujuan pendidikan
akan dicapai pun menjadi kabur. Oleh sebab itu, sebelum mulai menentukan tujuan
pendidikan, guru hendaknya sudah memiliki hirarki nilai-nilai. Nilai ialah daya
pendorong dalam hidup, yang memberi makna pada tindakan seseorang.
Jadi, jika dalam dunia pendidikan
terlihat adanya perbedaan tujuan, maka hal itu disebabkan karena perbedaan
tujuan hidup para guru. Perbedaan tujuan hidup disebabkan oleh perbedaaan
pandangan hidup tentang hakikat manusia dan kedudukannya di alam semesta.
E.
Asal Usul Manusia Menurut Islam
Dalam pandangan
Islam, manusia adalah makhluk (ciptaan) Allah, bukan tercipta atau ada dengan
sendirinya. Allah Swt berfirman:
اللهُ
الَّذِي خَلَقَكُمْ ثُمَّ رَزَقَكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ هَلْ
مِن شُرَكَآئِكُم مَّن يَفْعَلُ مِن ذَلِكُم مِّن شَىْءٍ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى
عَمَّا يُشْرِكُونَ
Allah-lah yang
menciptakan kamu, kemudian memberimu rezki, kemudian mematikanmu, kemudian
menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara yang kamu sekutukan dengan Allah itu
yang dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu Maha Sucilah Dia Maha Tinggi
dari apa yang mereka persekutukan (Ar-Rum:40)
Kemudian Allah
menyeru manusia untuk mencari tahu tentang kejadiannya:
فَلْيَنظُرِ
اْلإِنسَانُ مِمَّ خُلِقَ
Maka hendaklah
manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? (Al-Thariq:5)
Jawaban-jawab
yang ada dalam al-Qur’an menyimpulkan adanya dua asal kejadian manusia.
Pertama, manusia dijadikan dari tanah, yaitu ketika Allah menciptakan Adam as.
Kedua, manusia dijadikan dari nuthfah yaitu ketika Allah menciptakan manusia
setelah Adam. Namun baik yang pertama maupun yang kedua, Allah meniupkan ruh
kepada manusia. Allah berfirman:
الَّذِي
أَحْسَنَ كُلَّ شَىْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ اْلإِنسَانِ مِن طِينٍ ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ مِن سُلاَلَةٍ مِّن
مَّآءٍ مَّهِينٍ ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ
فِيهِ مِن رُّوحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَاْلأَبْصَارَ وَاْلأَفْئِدَةَ
قَلِيلاً مَّا تَشْكُرُونَ
Yang membuat segala sesuatu yang Dia
ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah.
Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air
mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan
meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (As-Sajdah:9)
Firman Allah
Swt tersebut menunjukkan bahwa pada diri manusia terdapat dua unsur yang
membentuk kejadianya yaitu tubuh atau jasad dan roh. Tubuh bersifat material
(maaddiyah/ jasmani). Ia berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah setelah
manusia mati. Dilihat dari unsur ini, manusia adalah makhlus biologis. Unsur
inilah yang membuat manusia berbeda dari malaikat. Adapun ruh bersifat
immaterial (ruhiyyah, rohani). Ia berasal
dari substansi immateri di alam ghaib (min ruhi) dan akan kembali ke alam gaib
setelah manusia mati.
وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ
مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَآأُوتِيتُم مِّنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيلاً
Dan mereka bertanya kepadamu tentang
roh. Katakanlah:"Roh itu termasuk urusan Rabb-ku, dan tidaklah kamu diberi
pengetahuan melainkan sedikit". (Al-Isra : 85)
Di dalam roh terdapat dua daya, yaitu daya
berpikir yang berpusat di kepala, disebut akal dan daya perasa yang berpusat di
dada disebut kalbu.[4]
Dua unsur yang membetuk manusia tersebut mempunyai kecenderungan untuk
berkembang. Pada unsur jasmani, manusia cenderung berkembang dari kecil menjadi
besar dan dari lemah menjadi kuat kemudian lemah lagi. Pada unsur rohani dari
aspek berpikirnya, manusia berkembang dari tidak tahu menjadi tahu lalu pikun
atau mati. Allah Set berfirman:
يَاأَيُّهَا
النَّاسُ إِن كُنتُمْ فِي رَيْبٍ مِنَ الْبَعْثِ فَإِناَّ خَلَقْنَاكُم مِّن
تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِن مُضْغَةٍ مُّخَلَّقَةٍ
وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ وَنُقِرُّ فِي اْلأَرْحَامِ مَانَشَآءُ
إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلاً ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أُشُدَّكُمْ
وَمِنكُم مَّن يُتَوَفَّى وَمِنكُم مَّن يُرَدُّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْلاَ
يَعْلَمَ مِن بَعْدِ عِلْمٍ شَيْئًا وَتَرَى اْلأَرْضَ هَامِدَةً فَإِذَآ
أَنزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَآءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنبَتَتْ مِن كُلِّ زَوْجٍ
بَهِيجٍ
Hai manusia, kamu dalam keraguan tentang
kebangkitan (dari kubur); maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan
kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah,
kemudian dari seumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna,
agar Kami jelaskan kepadamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami
kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu
sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampai pada kedewasaan,
dan diantara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) diantara kamu yang
dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi
sesuatupunyang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering,
kemudian apabila Kami turunkan air diatasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah
dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah (Al-Hajj : 5)
Unsur rohani dari aspek perasaan pun mengalami
perkembangan. Perasaan yang pusatnya di kalbu ini mempunyai geja-gelan seperi
sedih, gembira, benci, rindu, cinta, cemas dan takut. Kecenderungan rohani secara garis besar terbagi menjadi
dua, yaitu kecenderungan menjadi orang baik dan kecenderungan menjadi orang
buruk. Firman Allah Swt:
وَنَفْسٍ
وَمَاسَوَّاهَا فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا
وَتَقْوَاهَا قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا
وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا
dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),
maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan,
sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya
merugilah orang yang mengotorinya. (Asy-Syam : 10)
Manusia tidak bisa berkembang dengan
sendirinya. Perkembangannya banyak tergantung pada pengaruh lingkungan.
Pendidikan merupakan lingkungan yang paling penting dalam membantu manusia
untuk mencapai perkembangannya. Dalam pendidikan Islam, dua unsur jasmani dan
rohani ini yang membentuk manusia dengan segala potensinya sama-sama mendapat
perhatian.
أَلَا إِنَّ فِي الجَسَدِ
مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ, وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ
الجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ
Ingatlah sesungguhnya di dalam jasad terdapat
segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik maka baik pula seluruh jasad,
namun apabila segumpal daging itu rusak maka rusak pula seluruh jasad.
Perhatikanlah, bahwa segumpal daging itu adalah hati (HR. Bukhari Muslim).
Aspek akal dengan daya pikirnya dilatih untuk
mempertajam penalaran seperti para filosof dan cendikiawan yang mengembangkan
dan mempertajam daya fikirnya dengan dorongan ayat-ayat kauniyah dan lain
sebagainya. Daya perasa dilatih untuk mempertajam hati nurani dan kata hati.
Cara yang digunakan dengan ibadah shalat, zakat, puasa, haji dan lain
sebagainya. Kata hati selalu menuntun manusia untuk berbuat baik. Oleh sebab
itu, pendidikan Islam menghendaki agar kata hati selalu hidup dalam keadaan
apapun.
عَنْ وَابِصَةَ بْنِ
مَعْبَدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: جِئْتُ تَسْأَلُ عَنِ الْبِرِّ قُلْتُ: نَعَمْ
فَقَالَ: إِسْتَفْتِ قَلْبَكَ اَلْبِرُّ: مَااطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ
وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ وَاْلإِثْمُ: مَاحَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ
فِي الصَّدْرِ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ. حديث حسن رويناه في مسندي
الإمام أحمد بن حنبل والدارمي بإسناد حسن.
Dari Wabishah bin Mabad Radiyallahuanhu: Aku
datang kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda: Apakah
engkau datang untuk bertanya tentang kebaikan?, aku jawab: Ya. Beliau bersabda:
Mintalah fatwa kepada dirimu, kebajikan itu apa yang tentram jiwa dan hati
kepadanya. Adapun dosa adalah yang ada dalam jiwa terasa bimbang walaupun
manusia berfatwa Hadits Hasan, kami riwayatkan dalam musnad dua Imam Ahmad dan
Imam Ad Darimi dengan sanad yang hasan.
Dengan menyeimbangkan pendidikan jasmani dan
rohani, pendidikan Islam sesuangguhnya menganut prinsip apa yang sekarang
disebut sebagai ‘pendidikan manusia seutuhnya’
atau ‘manusia sempurna’ atau ‘insan kamil’.
F.
Peran Manusia dalam Islam
Dalam Islam, ada tujuh peranan manusia:
1. Al-Basyar
Kata البَشَرٌ (al-Basyar) berasal dari kata ba’, syin, dan ra’ بشر yang berarti menguliti/ mengupas (buah),
memotong tipis hingga terlihat kulitnya, meperhatikan, sesuatu yang tampak baik
dan indah, bergembira, menggembirakan, menggauli, kulit luar, kulit yang
dikupas atau memperhatikan dan mengurus sesuatu. Kata al-Basyar dalam
Alquran umumnya digunakan dalam menggambarkan manusia sebagai makhluk biologis
yang mempunyai sifat-sifat biologis seperti makan, minum, hubungan seksual,
dll. Penamaan kata ini menunjukkan makna bahwa secara biologis mendominasi
manusia adalah pada kulitnya. Pada aspek ini terlihat perbedaan umum biologis
manusia dengan hewan yang lebih didominasi oleh bulu atau rambut. Berdasarkan
hal tersebut, maka dapat dipahami bahwa manusia merupakan makhluk yang memilki
segala sifat kemanusiaan dan keterbatasan seperti makan, minum, kebahagiaan,
dsb.
Kata al-Basyar dalam Alquran dinyatakan
sebanyak 38 kali dalam 26 surat. Berikut salah satu contoh ayat yang didalamnya
terdapat kata al-Basyar:
فَكُلِي وَاشْرَبِي
وَقَرِّي عَيْنَا فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي
نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنسِيًّا
Maka makan, minum dan bersenang hatilah
kamu, jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah; “Sesungguhnya aku
telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan
berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini.(Maryam: 26).
Implikasi dari pengistilahan al-Basyar,
yaitu bahwa setiap manusia harus menyadari bahwa dirinya memiliki nafsu,
memiliki tugas untuk mengembangkan dorongan nafsu positif dan mengurangi
dorongan nafsu negatif agar hidupnya tetap terarah. Tiap manusia juga harus
menyadari adanya perkembangan pada dirinya serta tidak boleh membahayakan
dirinya baik secara fisik maupun mental. Jika manusia keluar dari implikasi
ini, maka manusia telah keluar dari kodrat aslinya.
2. Al-Nâs
Kata al-Nâs/ النَاس
merupakan bentuk jamak dari kata al-Insân إنسان . Dalam Alquran kata al-Nâs digunakan untuk
menyatakan manusia sebagai makhluk yang memiliki suatu komunitas masyarakat
serta etnik budaya sekaligus sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan
satu sama lain. Kata al-Nâs juga digunakan untuk membahas persoalan-persoalan
hukum umat manusia yang mencakup perintah dan larangan.
Kata al-Nâs dalam Alquran disebukan
sebanyak 241 kali dalam 55 surat. Kata al-Insân dan al-Nâs ini merupakan
istilah kata yang paling banyak digunakan dalam Alquran untuk mengistilahkan
manusia.Berikut merupakan salah satu contoh ayat Alquran yang di dalamnya
terdapat kata al-Nâs:
يَآأَيُّهَا النَّاسُ
إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai Manusia, sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang
yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal (Al-Hujurât: 13).
Implikasi dari pengistilahan al-Nâs,
yaitu bahwa setiap manusia harus melakukan kegiatan yang berhubungan dengan
masyarakat karena berdasarkan kodratnya manusia merupakan makhluk sosial yang
saling membutuhkan satu sama lain. Bentuk pelaksanaannya dapat dilakukan pada
masyarakat di sekitarnya seperti ta‘amul (berkomunikasi dan berinteraksi
sosial secara tertib, saling mengenal, saling tolong menolong, bermusyawarah,
bersikap santun, menjaga tali silaturahmi, saling menasehati, dll. Jika manusia
keluar dari implikasi ini, maka manusia telah keluar dari kodrat aslinya.
3. Al-Insan
Manusia merupakan makhluk yang paling taat
sekaligus paling ingkar terhadap Tuhannya. Ketaatannya terhadap Allah dapat
melebihi ketaatan para malaikat, namun keingkarannya terhadap Allah pun dapat
melebihi keingkaran yang dilakukan Iblis terhadap Allah. Semuanya tergantung
pilihan dari manusia itu sendiri apakah ingin ingkar atau taat pada Tuhannya.
Sejak zaman nabi Adam hingga kini manusia
tak luput dari berbuat dosa. Mereka berbuat demikian karena mereka lupa akan
Tuhannya. Manusia kerap kali lupa akan siapa dirinya dan untuk apa mereka
diciptakan. Oleh karena itu Allah menurunkan utusan-Nya dari kalangan manusia
itu sendiri yang bertugas untuk mengingatkan para manusia yang khilaf akan
dirinya dan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi ini. Utusan Allah yang
mengemban misi untuk mengingatkan manusia akan tugas dan fungsi mereka di dunia
disebut dengan Nabi dan Rasul Allah. Namun seringkali para manusia itu menolak
untuk diperingatkan karena sikap angkuh dan sombongnya yang lebih mereka
agungkan daripada peringatan itu. Mereka seringkali tidak percaya pada manusia
yang diutus oleh Allah untuk memperingati mereka sebelum utusan itu datang
kepada mereka dengan sesuatu yang tidak disanggupinya hingga ia mengakui dan
tunduk akan kemampuan manusia tersebut yang berada di atas kemampuannya.
Oleh karena itu selain dibekali wahyu dari
Allah, para utusan tersebut diberi suatu kelebihan berupa kekuatan luarbiasa
yang berada diluar nalar manusia sehingga mereka yang melihatnya menjadi tunduk
dan patuh serta percaya akan kebenaran yang dibawanya. Namun mengingat akal
manusia yang pada awal fase perkembangannya tidak melihat sesuatu yang dapat
lebuh menarik perrhatiannya selain mukjizat-mukjizat alamiah yang bersifat
inderawi karena akal mereka belum mencapai puncak pengetahuan dan pemikirannya,
maka yang paling relevan adalah jika setiap rasul itu di utus kepada setiap
umatnya masing-masing secara khusus dan mukjizatnya pun yang sejenis dengan
kemampuan akal mereka pada kala itu. Bila dukungan Allah kepada rasul-rasul
terdahulu berupa ayat-ayat kauniyah yang memukau mata dan tidak ada jalan bagi
akal untuk menentangnya, maka mukjizat yang diberikan Allah kepada Nabi
Muhammad berupa mukjizat ‘aqliyah yakni mukjizat yang bersifat rasional,
berdialog dengan akal manusia dan menantang mereka untuk selamanya. Mukjizat
tersebut adalah Alquran dengan segala ilmu pengetahuan yang terdapat di
dalamnya serta berita-berita tentang masa lalu serta masa yang akan datang.
Sejak diturunkannya, Alquran sudah
menantang manusia untuk membuat sesuatu yang serupa dengannya. Semaju apapun
akal manusia, hingga sekarang mereka tidak mampu menjawab tantangan tersebut,
karena dalam firman-Nya Allah telah menjelaskan bahwa Alquran tidak akan
mungkin ditandingi sekalipun manusia berkoalisi dengan jin untuk membuat
tandingannya. Kelemahan akal yang bersifat subtansif ini merupakan pengakuan
akal itu sendiri bahwa Alquran adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada
Rasul-Nya sebagai pedoman dan pembimbing bagi manusia akhir zaman yang lebih
rentan melakukan kekhilafan karena kemampuan akalnya yang sudah cukup tinggi.
Salahsatu aspek mukjizat Alqur’an yaitu dari segi bahasanya yang tinggi dan
saling berkaitan satu sama lainnya. Dalam hal ini yang menjadi kajian dalam
karya ilmiah ini yaitu mengenai istilah Manusia yang diistilahkan dengan
beberapa kata dalam Alquran. Salah satunya yaitu pengistilahan makna manusia
dengan kata al-Insân.
Kata al-Insân dinyatakan dalam Alquran
sebanyak 65 kali dalam 43 surat.Telah dijelaskan pula bahwa istilah al-Insân
dalam Alquran umumnya digunakan untuk menggambarkan keistimewaan manusia serta
sering dihubungkan dengan proses penciptaannya. Berikut ini beberapa macam
pengistilahan manusia yang Allah gunakan dengan kata al-Insân dalam
Alquran :
a. Pengistilahan al-Insân dalam
perintah Allah agar manusia memikirkan kebesaran Allah.
فَلۡيَنۡظُرِ
الۡاِنۡسَانُ مِمَّ خُلِقَ
“Maka hendaklah
manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?” (Al Thariq:5).
b. Pengistilahan al-Insân dalam
menceritakan kelemahan manusia.
يُرِيۡدُ اللّٰهُ اَنۡ
يُّخَفِّفَ عَنۡكُمۡۚ وَخُلِقَ الۡاِنۡسَانُ ضَعِيۡفًا
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia
dijadikan bersifat lemah (An-Nisâ : 28).
c. Pengistilahan al-Insân dalam
menceritakan keburukan manusia karena pengaruh syaitan.
قَالَ يٰبُنَىَّ لَا
تَقۡصُصۡ رُءۡيَاكَ عَلٰٓى اِخۡوَتِكَ فَيَكِيۡدُوۡا لَـكَ كَيۡدًا اِنَّ الشَّيۡطٰنَ لِلۡاِنۡسَانِ عَدُوٌّ مُّبِيۡنٌ
Ayahnya berkata: “Hai anakku, janganlah kamu ceritakan
mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, Maka mereka membuat makar (untuk
membinasakan) mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.
(Yûsuf : 5).
d. Pengistilahan al-Insân dalam
menceritakan kebaikan manusia.
وَاَنۡ لَّيۡسَ
لِلۡاِنۡسَانِ اِلَّا مَا سَعٰى
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain
apa yang Telah diusahakannya (An-Najm : 39).
e. Pengistilahan al-Insân dalam
menceritakan keadaan manusia ketika hari kiamat.
وَكُلَّ اِنۡسَانٍ
اَلۡزَمۡنٰهُ طٰۤٮِٕرَهٗ فِىۡ عُنُقِهٖ وَنُخۡرِجُ لَهٗ يَوۡمَ الۡقِيٰمَةِ
كِتٰبًا يَّلۡقٰٮهُ مَنۡشُوۡرًا
Dan tiap-tiap manusia itu telah kami tetapkan amal
perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. dan kami keluarkan
baginya pada hari kiamat sebuah Kitab yang dijumpainya terbuka (Al-Isrâ : 13).
Implikasi
dari pengistilahan al-Insân, yaitu bahwa setiap manusia harus
menggunakan akalnya dengan sebaik-baiknya agar dapat meningkatkan kualitas
ilmu, iman dan amalnya agar mereka semakin bertakwa. Selain itu, manusia harus
melaksanakan proses pembelajaran sepanjang hidupnya karena kita hidup tak lain
hanyalah untuk belajar, serta mengamalkan ilmunya agar bermanfaat dan diberkahi
oleh Allah. Jika manusia keluar dari implikasi ini, maka manusia telah keluar
dari kodrat aslinya.
4. Banî Ȃdam
Kata بني أدم
(Banî Ȃdam) atau ذرّية أدم
(Dzurriyat Ȃdam) memiliki arti anak cucu atau keturunan Adam. Kedua
istilah ini digunakan untuk mengistilahkan manusia yang dikaitkan dengan kata
adam yang merupakan sebutan bagi manusia pertama yang diciptakan Allah. Secara
umum, penggunaan kata ini dalam Alquran yaitu untuk menunjukkan bahwa setiap
manusia merupakan keturunan dari Nabi Adam dan asal usul setiap manusia pun
berasal darinya.
Kata Banî Ȃdam disebukan sebanyak 7 kali
dalam 4 surat, sedangkan Dzurriyatu Ȃdam disebutkan hanya sekali dalam
surah Maryam ayat 58 . Berikut contohnya:
Kata Banî Ȃdam:
يَابَنِى ءَادَمَ قَدْ
أَنزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْءَاتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ
التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ ءَايَاتِ اللهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ
Hai anak Adam, Sesungguhnya kami Telah
menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk
perhiasan, dan pakaian takwa itulah yang paling baik,. yang demikian itu adalah
sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu
ingat.” (Al-A‘râf 7: 26)
Kata Dzurriyatu Ȃdam:
أُوْلَئِكَ الَّذِينَ
أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ مِن ذُرِّيَّةِ ءَادَمَ وَمِمَّنْ
حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ وَمِن ذُرِّيَّةِ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْرَاءِيلَ وَمِمَّنْ
هَدَيْنَا وَاجْتَبَيْنَا إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ ءَايَاتُ الرَّحْمَـنِ خَرُّوا
سُجَّدًا وَبُكِيًّا
Mereka itu adalah orang-orang yang Telah
diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari
orang-orang yang kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan
Israil, dan dari orang-orang yang Telah kami beri petunjuk dan Telah kami
pilih. apabila dibacakan ayat-ayat Allah yang Maha Pemurah kepada mereka, Maka
mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” (Q.S. Maryam 19: 58)
Implikasi dari pengistilahan banî Ȃdam,
yaitu bahwa setiap manusia harus menyadari bahwa dirinya mempunyai keluarga
yang jelas yang merupakan kelebihan dan keistimewaan manusia karena kejelasan
keluarga hanya dimiliki oleh manusia. Selain itu, manusia untuk menetapkan
adanya keluarga harus ditempuh melalui pernikahan yang sah, setiap aktifitas
untuk keperluan keluarga selama tidak bertentangan dengan syari‘at maka
statusnya adalah amal shalih dan ibadah, setiap anggota keluarga memiliki tugas
dan kewajibannya masing-masing serta melaksanakan fungsi keluarganya
masing-masing. Jika manusia keluar dari implikasi ini, maka manusia telah keluar
dari kodrat aslinya.
5. Al-Ins
Kata الإنس/
al-Ins memiliki makna yang serupa dengan kata al-Insân, namun akar kata
Al-Ins lebih ditekankan pada kata أَنَّسَ
(annasa) yang berarti jinak atau ramah, karena kata ini selalu disandingkan
dengan kata jîn atau jân dalam Alquran. Jinn atau jân
berasal dari kata جنّ (Janna) yang artinya menjadi gelap, menutupi, menyembunyikan, sehingga dapat
diartikan sebagai yang tersembunyi. Kata al-Ins selalu disandingkan
dengan kata jîn atau jân dalam Alquran karena antara kedua kata
ini saling berlawanan satu sama lain. Antara manusia dan Jin itu saling
berlawanan dalam sifatnya. Manusia bersifat kasat mata dan jinak, sedangkan jin
bersifat tak kasat mata serta merupakan makhluk yang liar.
Kata al-Ins disebukan sebanyak 18 kali
dalam 9 surat. Berikut merupakan salah satu contoh ayat Alquran yang di
dalamnya terdapat kata al-Ins:
يَامَعْشَرَ الْجِنِّ
وَاْلإِنسِ أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِنكُمْ يَقُصُّونَ عَلَيْكُمْ ءَايَاتِي
وَيُنذِرُونَكُمْ لِقَآءَ يَوْمِكُمْ هَذَا قَالُوا شَهِدْنَا عَلَى أَنفُسِنَا
وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَشَهِدُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ أَنَّهُمْ
كَانُوا كَافِرِينَ
Hai golongan jin dan manusia, apakah belum
datang kepadamu rasul-rasul dari golongan kamu sendiri, yang menyampaikan
kepadamu ayat-ayatKu dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu
dengan hari ini? mereka berkata: “Kami menjadi saksi atas diri kami sendiri”, kehidupan
dunia Telah menipu mereka, dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri,
bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir (Al-An‘âm: 130).
Implikasi dari pengistilahan al-Ins,
yaitu bahwa setiap manusia harus menyadari bahwa dirinya mempunyai kodrat
sebagai manusia yang jinak, yaitu yang taat pada perintah Tuhannya dan selalu
memperhatikan hukum-hukum yang bersangkutan dengannya serta nersikap ramah
terhadap lingkungan sekitar. Jika manusia keluar dari implikasi ini, maka
manusia telah keluar dari kodrat aslinya.
6.
Abdullah
Hakikat manusia yang utama adalah sebagai
hamba atau penyembah
Allah Swt. Sebagai
seorang hamba maka manusia wajib mengabdi kepada Allah SWT dengan cara
menjalani segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Sebagai seorang
hamba, seorang manusia juga wajib menjalankan ibadah seperti shalat wajib,
puasa ramadhan (baca puasa ramadhan dan fadhilahn, zakat (baca syarat penerima
zakat dan penerima zakat), haji (syarat wajib haji) dan melakukan ibadah
lainnya dengan penuh keikhlasan dan segenap hati sebagaimana yang disebutkan
dalam ayat berikut ini
وَمَآ أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْااللهَ
مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَآءَ وَيُقِيْمُوْا الصَّلَوةَ وَيُؤْتُوْا
االزَّكَوةَ وَذَلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِ
Padahal mereka
tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus (Al-Bayyinah : 5).
7.
Khalifatullah
Telah
disebutkan dalam tujuan penciptaan manusia bahwa pada hakikatnya, manusia
diciptakan oleh Allah Swt sebagai khlaifah atau pemimpin di muka bumi.
يَادَاودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي
اْلأَرْضِ فَاحْكُم بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلاَتَتَّبِعِ الْهَوَى
فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ اللهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ اللهِ
لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
Hai Daud,
sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (peguasa) di muka bumi, maka berilah
keputusan di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu. Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah (Shad : 26).
Sebagai seorang khalifah maka
masing-masing manusia akan dimintai pertanggung jawabannya kelak di hari akhir.
8.
Tujuan Allah Menciptakan Manusia
Tujuan utama allah Swt menciptakan
manusia adalah agar manusia dapat beribadah dan menyembah Allah Swt, menjalani perintahnya serta
menjauhi larangannya. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Swt berikut ini:
وَمَاخَلَقْتُ
الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ
Tidaklah Aku ciptakan jin dan
manusia, melainkan supaya mereka menyembah Aku. (Adz-Dzariyat :56).
Disamping itu juga sebagai khlaifah
dimuka bumi sebagaimana firman Allah Swt :
وَإِذۡ قَالَ
رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٞ فِي ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةٗۖ قَالُوٓاْ
أَتَجۡعَلُ فِيهَا مَن يُفۡسِدُ فِيهَا وَيَسۡفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحۡنُ نُسَبِّحُ
بِحَمۡدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَۖ قَالَ إِنِّيٓ أَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُونَ
Ingatlah ketika
Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui (Al-Baqarah:
30)
Sebagai khalifah dimuka bumi manusia
hendaknya juga dapat menjaga amanatnya dalam menjaga alam dan isinya. Manusia
semestinya memiliki akhlak dan perilaku yang baik kepada sesama maupun makhluk
hidup yang lain
9.
Tujuan Hidup Manusia
Beribadah kepada Allah dan menjalankan tugas kekhalifahan bukan tujuan
hidup manusia, melainkan tujuan Allah menciptakan manusia, sebagai tujuan yang
dikehendaki Allah. Lalu apa tujuan manusia menjalankan segala perannya di
dunia? Jawabannya tujuan manusia adalah mencapai keridhaan Allah Swt.
Allah menciptakan
pada diri manusia satu kebebasan dasar, yaitu kebebasan memilih, apakah akan
mengikuti kehendak Allah ataukah akan mendurhakainya. Allah Swt berfirman:
وَقُلِ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ فَمَن شَآءَ
فَلْيُؤْمِن وَمَن شَآءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّآ أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا
Dan katakanlah:"Kebenaran itu datangnya
dari Rabbmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan
barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya
Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka (Al-Kahfi:29)
Jadi, manusia yang beriman atau
melaksanakan kehendak Allah maka akan diridhai Allah, sementara yang kafir atau
mendurhakai-Nya akan dimurkai. Dengan demikian tujuan hidup manusia adalah
mencapai keridhaan Allah Swt. Tujuan ini ditegaskan al-Qur’an antara lain:
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي
وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Katakanlah sesungguhnya shalatku, ibadahku,
hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah Rabb semesta alam (Al-An’ām : 162)
Manusia yang diridhai Allah inilah yang
disebut al-Nafs al-Muthma’innah (jiwa yang tenang), yaitu manusia yang
telah mencapai kesempurnaan hati, manusia yang masuk dalam kelompok hamba-hamba
Allah dan memperoleh kesenangan abadi berupa surga, manusia yang menghadap
Allah dengan hati yang bersih; manusia yang digambarkan Allah dalam firman-Nya
berikut:
يَاأَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلىَ رَبِّكِ رَاضِيَةً
مَرْضِيَةً فَادْخُلِي فيِ عِبَادِي وَادْخُلِي جَنَّتِي
Hai jiwa yang tenang. Kembalilah
kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam
jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. (Al-Fajr : 27-30)
وَلاَتُخْزِنِي يَوْمَ يُبْعَثُونَ يَوْمَ لاَيَنفَعُ مَالٌ وَلاَبَنُونَ إِلاَّ مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka
dibangkitkan, (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna,
kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih, (Asy-Syuara :
89).[5]
10.
Pengertian
Tujuan Pendidikan Islam
Para
ahli pendidikan Islam telah mengemukakan tujuan pendidikan Islam dalam redaksi
yang berbeda-beda. Imam Ghazali berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam ialah
kesempurnaan insani di dunia dan akhirat. Manusia dapat menggapai kesempurnaan
melalui pencarian keutamaan dengan menggunakan ilmu. Keutamaan itu akan
memberinya kebahagiaan di dunia serta mendekatkannya kepada Allah, sehingga dia
akan mendapatkan pula kebahagiaan di akhirat.[6] Muhammad Munir Mursa mengemukakan bahwa tujuan terpenting pendidikan Islam
adalah tercapainya kesempurnaan insani, karena Islam sendiri merupakan
manifestasi tercapainya kesempurnaan agamawi, sebagaiman ditegaskan di dalam
firman Allah Swt berikut ini:
الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
اْلإِسْلاَمَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ ِّلإِثْمٍ
فَإِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan
tanpa sengaja berbuat dosa,sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (Al-Maidah : 3)[7]
Muhammad
‘Athiyyah al-Abrasyi berpendapat bahwa tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah
tercapainya akhak yang sempurna.[8] Ahmad D.
Marimba mengemukakan bahwa tujuan akhir pendidikan Islam ialah terbentuknya
kepribadian Muslim.[9] Menurut Abdurrahman al-Nahlawi bahwa tujuan pendidikan Islam adalah
menjadikan manusia sebagai abdi atau hamba Allah.[10]
Tujuan pendidikan Islam, menurut kongres pendidikan Islam
sedunia di Islamabad tahun 1980 yaitu, pendidikan harus merealisasikan
cita-cita Islami yang mencakup pengembangan kepribadian muslim yang bersifat
menyeluruh secara harmonis berdasarkan potensi psikologis dan fisiologis
manusia yang mengacu kepada keimanan dan sekaligus berilmu pengetahuan secara
berkeseimbangan sehingga terbentuklah manusia muslim yang paripurna yang
berjiwa tawakkal secara total kepada Allah SWT, sebagaimana Firman-Nya, yang
menyatakan :
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ
خَلاَئِفَ اْلأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِّيَبْلُوَكُمْ
فِي مَآءَاتَاكُمْ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi
dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa
derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya
Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang (Al-An’am: 165).
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ
اللهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انشُزُوا فَانشُزُوا يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ
ءَامَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِير
Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu:
"Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah
akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah
kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi Ilmu pengetahuan beberapa
derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Al-Mujadilah: 11)
Redaksi-redaksi yang dikemukaan para ulama di atas
sesungguhnya tidak saling bertentangan jika dilihat dari penafsiran mereka
terhadap redaksi pengertian yang dibawakannya. Dan kesimpulan dari tujuan pendidikan Islam
ini ialah agar menjadi manusia sempurna (insan kamil) yang diridhai
Allah Swt.
Masalahnya adalah bagaimana mengukur bahwa manusia telah
mencapai tingkat kesempurnaan. Jawabannya adalah bahwa penentuan mengenai hal
itu bukanlah wewenang manusia. Tuhanlah yang menentukan siapa-siapa di antara
hamba-Nya yang betul-betul telah mencapai kesempurnaan itu. Inilah rahasianya
mengapa pendidikan Islam berlangsung sepanjang hayat. Manusia harus
terus-menerus berusaha untuk mencapai kesempurnaannya mulai dari pendidikan
oleh orang lain sampai dengan pendidikan oleh diri sendiri.
Oleh sebab itu, menurut al-Syaybani, pelaksanaan tujuan
akhir pendidikan Islam tidak terbatas pada lembaga atau pusat pendidikan
tertentu, tetapi dilaksanakan di semua lembaga dan pusat pendidikan; keluarga,
sekolah, pondok pesantren, masjid, organisasi, surat kabar, majalah, radio,
televisi, perpustakaan, internet, dan lain-lain.
Tujuan akhir pendidikan Islam ini bersifat tetap dan
umum. Karena sifatnya yang tetap itu, ia berfungsi memelihara seluruh usaha
pendidikan Islam dan karena sifatnya yang umum, ia perlu dijabarkan dengan
tujuan-tujuan khusus sampai tingkat operasional.[11]
Ini yang disebut dengan tujuan sementara. Tujuan sementara merupakan penjabaran
dari tujuan akhir serta berfungsi membantu memelihara arah seluruh usaha dan
menjadi batu loncatan untuk mencapai tujuan akhir.
Pendidikan Islam adalah usaha berproses sepanjang hayat
manusia. Prinsip ini memungkinkan lahirnya banyak tujuan sementara. Kemudian,
Islam adalah agama yang sesuai untuk setiap tempat dan masa. Prinsip ini
memungkinkan lahirnya perbedaan tujuan sementara di setiap masa. Oleh sebab itu
pendidikan Islam membuka pintu bagi para ulama untuk berijtihad dan menetapkan
tujuan sementara. Satu prinsip yang dipegang dalam ijtihad ini ialah:
مَالَا يَتِمُّ الوَاجِبُ
إِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Sesuatu yang apabila suatu kewajiban tidak dapat
terlaksana kecuali dengannya, maka sesuatu itu menjadi kewajiban pula.
[1] Abddin Nata,
Ilmu pendidikan Islam, hal. 57-61.
[2] Hery Noer Aly,
Ilmu Pendidikan Islam, hal. 51-52
[3] Ibid., hal. 54
[4] Harun
Nasution, Konsep Manusia Menurut Ajaran Islam , Jakarta: Lembaga Penerbitan IAIN Syarif Hidayatullah, 1981, hal. 6
[5] Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 64-66
[6] Fathiyyah
Hasan Sulaiman, Alam pikiran al-Ghazali Mengenai Pendidikan dan Ilmu,
terjemahan Hery Noer Aly dari Madzahib fi al-Tarbiyah: Bahtsun fi Madzhab
al-Tarbawi ‘Inda al-Ghazali, Bandung: Diponegoro, 1986, hal. 31
[7] Muhammad Munir
Mursa, Al-Tarbiyah al-Islamiyyah: Ushuluha wa Tathawwuruha fi al-Bilad
al-Arabiyyah, Cairo: ‘Alam al-Kutub, 1977, hal. 18
[8] Muhammad ‘Athiyyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah
al-Islamiyyah, Damaskus: Dar al-Fikr, tth, hal. 22-23.
[9] Ahmad D.
Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: al-Maarif, 1980, hal. 46
[10] Abdurrahman
al-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyyah wa Asalibuha fi al-Bayt wa
al-Madrasah wa al-Mujtama, Damaskus: Daar al-Fikr, 1979, hal. 98.
[11] Hery Noer Aly,
Ilmu Pendidikan Islam, hal. 78 – 80.
Komentar
Posting Komentar