TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM

 BAB III

TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM

 

A.    Pengertian Tujuan

Di dalam bahasa Arab terdapat sejumlah istilah yang berkaitan dengan tujuan. Sejumlah istilah ini antara lain al-niyyat(النية), al-iradah (الإرادة), al-ghardu(الغرض), al-qashdu(القصد), al-hadp (الهدف) dan al-ghayah (الغاية).

Kata al-niyyat berasal arti kata nawaa, yaitu niat, keinginan atau maksud. Tempatnya di hati dan pada umumnya dihubungkan dengan keikhlasan, sebagaimana firman Allah Swt:

وَمَآ أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْااللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَآءَ وَيُقِيْمُوْا الصَّلَوةَ وَيُؤْتُوْا الزَّكَوةَ وَذَلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam(menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan meunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (Al-Bayinah : 5)

Kata al-iradah berarti kehendak, sebagaimana firman Allah Swt:

إِنَّمَآأَمْرُهُ إِذَآأَرَادَ شَيْئًا أَن يَقُولَ لَهُ كُن فَيَكُونُ

Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya ‘jadilah’, maka jadilah ia (Yaa Siin : 82)

Kata alghardhu berarti sasaran atau tujuan. Dari kata al-qashdu berkembang menjadi kata al-maqshud yaitu sesuatu yang ingin dicapai, dan berkembang pula menjadi kata al-iqtishad yang berarti pertengahan sebagimana firman Allah Swt:

وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِن صَوْتِكَ إِنَّ أَنكَرَ اْلأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ

Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu.Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai (Luqman :19)

وَلَوۡ أَنَّهُمۡ أَقَامُواْ ٱلتَّوۡرَىٰةَ وَٱلۡإِنجِيلَ وَمَآ أُنزِلَ إِلَيۡهِم مِّن رَّبِّهِمۡ لَأَكَلُواْ مِن فَوۡقِهِمۡ وَمِن تَحۡتِ أَرۡجُلِهِمۚ مِّنۡهُمۡ أُمَّةٞ مُّقۡتَصِدَةٞۖ وَكَثِيرٞ مِّنۡهُمۡ سَآءَ مَا يَعۡمَلُونَ 

Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (al-Qur'an) yang diturunkan kepada mereka dari Rabbnya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Diantara mereka ada golongan yang pertengahan. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka. (Al-Maidah : 66)

Kata al-hadf tidak digunakan dalam al-Qur’an maupun Hadits. Namun dalam percakapan bahasa Arab biasa digunakan dengan arti tujuan atau goal dalam bahasa Inggris. Kata al-ghayah berarti batas akhir atau tujuan akhir.

Kosa kata tersebut masih bersifat umum, tidak secara khusus untuk masalah pendidikan walaupun di antara para ahli ada yang menempatkan al-ghayah sebagai tujuan akhir, al-hadf sebagai tujuan setiap tahapan, al-qashdu tujuan sementara, al-ghardu sebagai tujuan perbidang kajian, al-maksud sebagai tujuan yang bersifat keinginan yang kuat dan al-niyat sebagai landasan tujuan.[1]

 

B.     Pengertian Tujuan Pendidikan

Tujuan artinya sesuatu yang dituju dengan suatu kegiatan atau usaha. Sehingga dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan adalah batas akhir yang dituju melalui suatu kegiatan atau usaha pendidikan.

Tujuan dapat dibedakan dari dorongan. Umpamanya, orang yang sedang tertidur lelap menggerakkan tangannya ketika nyamuk menggigitnya. Gerakan itu lahir dorongan organis yang disebut sebagai dorongan mempertahankan hidup, bukan dari usaha sadar untuk memukul nyamuk, karena orang itu tidak peduli apakah pukulannya menggenai sasaran ataukah tidak. Contoh lain adalah orang yang malas bekerja untuk mencari penghidupan karena bergantung pada ayahnya yang kaya. Namun, manakala ayahnya telah meninggal dunia, sementara ibunya sakit-sakitan, ia baru bersemangat bekerja. Meninggalnya ayah dan ibu yang sakit-sakitan bukanlah tujuan dari bekerja, melainkan dorongan psikis yang membuatnya semangat bekerja, sedangkan tujuan bekerja adalahnya ialah mencari nafkah.

Tujuan dapat pula dibedakan dari akibat. Umpamanya, seorang mahasiswa belajar bersungguh-sungguh untuk memperoleh ilmu atau kecakapan hidup. Ternyata belajar yang demikian telah membuatnya lulus dan diangkat menjadi pegawai di sebuah instansi dengan gaji yang besar. Lulus, diangkat menjadi pegawai, gaji besar adalah akibat-akibat yang lahir dari belajar yang sunggug-sungguh, sedangkan tujuan belajarnya sendiri adalah memperoleh ilmu atau kecakapan tertentu. Akibat adalah hasil yang lahir dari tingkah laku baik hasil itu dapat merealisasikan tujuan atau tidak.[2]

 

C.    Fungsi Tujuan Pendidikan

1.      Tujuan pendidikan mengarahkan perbuatan mendidik. Fungsi ini menunjukkan pentingnya perumusan dan pembatasan tujuan pendidikan secara jelas. Tanpa tujuan yang jelas, proses pendidikan akan berjalan tidak efektif dan tidak efisien, bahkan tidak menentu dan salah dalam menggunakan metode, sehingga tidak mencapai manfaat. Tujuanlah yang menentukan metode apa yang seharusnya digunakan untuk mencapainya. Kepentingan ini dapat dipelajar dari firman Allah Swt:

فَأَيْنَ تَذْهَبُوْنَ

Maka kemanakah kalian akan pergi? (Al-Takwir: 26)

Firman Allah tersebut diarahkan kepada orang-orang kafir yang tidak insyaf yang tidak insyaf akan tujuan hidupnya. Kalaulah mereka itu insyaf, tentu mereka tidak akan menolak al-Qur’an, sebab di dalamnya terdapat pelajaran dan petunjuk yang memimpin manusia untuk mencapai tujuan hidupnya.

2.      Tujuan pendidikan memberi semangat dan dorongan untuk melaksanakan pendidikan. Hal ini juga berlaku pada setiap perbuatan. Sebagai contoh, seseorang diperintah untuk berjalan di jalan tertentu tanpa dijelaskan kepadanya mengapa ia harus menempuh jalan itu atau tanpa diberi kesempatan untuk memilih jalan lain. Dengan perintah yang demikian, barangkali orang itu akan berjalan ragu-ragu. Akibatnya, ia akan berjalan lamban. Lain halnya, apabila dijelaskan kepadanya bahwa dijalan itu ia akan mendapatkan kebun yang indah serta pemiliknya serta pemiliknya seorang yang ramah dan suka mengajak orang-orang yang lewat untuk makan bersamanya, sementara ia sedang lapar, tentu ia akan menempuh jalan itu dengan penuh semangat.[3]

 

D.    Korelasi antara Tujuan Pendidikan dengan Tujuan Hidup Manusia

Tujuan pendidikan ditentukan oleh guru sebagai orang yang mengarahkan proses pendidikan. Karenanya, tujuan pendidikan berkaitan erat dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh guru di dalam hidupnya. Dengan perkataan lain, tujuan pendidikan tidak bisa dipisahkan dari tujuan hidup guru. Pendidikan baru akan mempunyai tujuan apabila guru sendiri sadar akan tujuan hidupnya. Bahkan, sekiranya guru tidak menentu dalam mengenali tujuan hidupnya, maka arah perilaku mendidiknya akan tidak jelas. Selanjutnya tujuan pendidikan akan dicapai pun menjadi kabur. Oleh sebab itu, sebelum mulai menentukan tujuan pendidikan, guru hendaknya sudah memiliki hirarki nilai-nilai. Nilai ialah daya pendorong dalam hidup, yang memberi makna pada tindakan seseorang.

Jadi, jika dalam dunia pendidikan terlihat adanya perbedaan tujuan, maka hal itu disebabkan karena perbedaan tujuan hidup para guru. Perbedaan tujuan hidup disebabkan oleh perbedaaan pandangan hidup tentang hakikat manusia dan kedudukannya di alam semesta.

 

E.     Asal Usul Manusia Menurut Islam

Dalam pandangan Islam, manusia adalah makhluk (ciptaan) Allah, bukan tercipta atau ada dengan sendirinya. Allah Swt berfirman:

اللهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ ثُمَّ رَزَقَكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ هَلْ مِن شُرَكَآئِكُم مَّن يَفْعَلُ مِن ذَلِكُم مِّن شَىْءٍ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ

Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu Maha Sucilah Dia Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (Ar-Rum:40)

Kemudian Allah menyeru manusia untuk mencari tahu tentang kejadiannya:

فَلْيَنظُرِ اْلإِنسَانُ مِمَّ خُلِقَ

Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? (Al-Thariq:5)

Jawaban-jawab yang ada dalam al-Qur’an menyimpulkan adanya dua asal kejadian manusia. Pertama, manusia dijadikan dari tanah, yaitu ketika Allah menciptakan Adam as. Kedua, manusia dijadikan dari nuthfah yaitu ketika Allah menciptakan manusia setelah Adam. Namun baik yang pertama maupun yang kedua, Allah meniupkan ruh kepada manusia. Allah berfirman:

الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَىْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ اْلإِنسَانِ مِن طِينٍ  ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ مِن سُلاَلَةٍ مِّن مَّآءٍ مَّهِينٍ  ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِن رُّوحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَاْلأَبْصَارَ وَاْلأَفْئِدَةَ قَلِيلاً مَّا تَشْكُرُونَ

Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani).  Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (As-Sajdah:9)

Firman Allah Swt tersebut menunjukkan bahwa pada diri manusia terdapat dua unsur yang membentuk kejadianya yaitu tubuh atau jasad dan roh. Tubuh bersifat material (maaddiyah/ jasmani). Ia berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah setelah manusia mati. Dilihat dari unsur ini, manusia adalah makhlus biologis. Unsur inilah yang membuat manusia berbeda dari malaikat. Adapun ruh bersifat immaterial (ruhiyyah, rohani). Ia berasal dari substansi immateri di alam ghaib (min ruhi) dan akan kembali ke alam gaib setelah manusia mati.

وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَآأُوتِيتُم مِّنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيلاً

Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah:"Roh itu termasuk urusan Rabb-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (Al-Isra : 85)

Di dalam roh terdapat dua daya, yaitu daya berpikir yang berpusat di kepala, disebut akal dan daya perasa yang berpusat di dada disebut kalbu.[4] Dua unsur yang membetuk manusia tersebut mempunyai kecenderungan untuk berkembang. Pada unsur jasmani, manusia cenderung berkembang dari kecil menjadi besar dan dari lemah menjadi kuat kemudian lemah lagi. Pada unsur rohani dari aspek berpikirnya, manusia berkembang dari tidak tahu menjadi tahu lalu pikun atau mati. Allah Set berfirman:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِن كُنتُمْ فِي رَيْبٍ مِنَ الْبَعْثِ فَإِناَّ خَلَقْنَاكُم مِّن تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِن مُضْغَةٍ مُّخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ وَنُقِرُّ فِي اْلأَرْحَامِ مَانَشَآءُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلاً ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أُشُدَّكُمْ وَمِنكُم مَّن يُتَوَفَّى وَمِنكُم مَّن يُرَدُّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْلاَ يَعْلَمَ مِن بَعْدِ عِلْمٍ شَيْئًا وَتَرَى اْلأَرْضَ هَامِدَةً فَإِذَآ أَنزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَآءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنبَتَتْ مِن كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ

Hai manusia, kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur); maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari seumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepadamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampai pada kedewasaan, dan diantara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) diantara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupunyang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila Kami turunkan air diatasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah (Al-Hajj : 5)

Unsur rohani dari aspek perasaan pun mengalami perkembangan. Perasaan yang pusatnya di kalbu ini mempunyai geja-gelan seperi sedih, gembira, benci, rindu, cinta, cemas dan takut. Kecenderungan rohani secara garis besar terbagi menjadi dua, yaitu kecenderungan menjadi orang baik dan kecenderungan menjadi orang buruk. Firman Allah Swt:

وَنَفْسٍ وَمَاسَوَّاهَا  فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا  قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا

dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Asy-Syam : 10)

Manusia tidak bisa berkembang dengan sendirinya. Perkembangannya banyak tergantung pada pengaruh lingkungan. Pendidikan merupakan lingkungan yang paling penting dalam membantu manusia untuk mencapai perkembangannya. Dalam pendidikan Islam, dua unsur jasmani dan rohani ini yang membentuk manusia dengan segala potensinya sama-sama mendapat perhatian.

أَلَا إِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ, وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ

Ingatlah sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik maka baik pula seluruh jasad, namun apabila segumpal daging itu rusak maka rusak pula seluruh jasad. Perhatikanlah, bahwa segumpal daging itu adalah hati (HR. Bukhari Muslim).

Aspek akal dengan daya pikirnya dilatih untuk mempertajam penalaran seperti para filosof dan cendikiawan yang mengembangkan dan mempertajam daya fikirnya dengan dorongan ayat-ayat kauniyah dan lain sebagainya. Daya perasa dilatih untuk mempertajam hati nurani dan kata hati. Cara yang digunakan dengan ibadah shalat, zakat, puasa, haji dan lain sebagainya. Kata hati selalu menuntun manusia untuk berbuat baik. Oleh sebab itu, pendidikan Islam menghendaki agar kata hati selalu hidup dalam keadaan apapun.

عَنْ وَابِصَةَ بْنِ مَعْبَدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: جِئْتُ تَسْأَلُ عَنِ الْبِرِّ قُلْتُ: نَعَمْ فَقَالَ: إِسْتَفْتِ قَلْبَكَ اَلْبِرُّ: مَااطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ وَاْلإِثْمُ: مَاحَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ. حديث حسن رويناه في مسندي الإمام أحمد بن حنبل والدارمي بإسناد حسن.

Dari Wabishah bin Mabad Radiyallahuanhu: Aku datang kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda: Apakah engkau datang untuk bertanya tentang kebaikan?, aku jawab: Ya. Beliau bersabda: Mintalah fatwa kepada dirimu, kebajikan itu apa yang tentram jiwa dan hati kepadanya. Adapun dosa adalah yang ada dalam jiwa terasa bimbang walaupun manusia berfatwa Hadits Hasan, kami riwayatkan dalam musnad dua Imam Ahmad dan Imam Ad Darimi dengan sanad yang hasan.

Dengan menyeimbangkan pendidikan jasmani dan rohani, pendidikan Islam sesuangguhnya menganut prinsip apa yang sekarang disebut sebagai ‘pendidikan manusia seutuhnya’ atau ‘manusia sempurna’ atau ‘insan kamil’.

 

F.     Peran Manusia dalam Islam

Dalam Islam, ada tujuh peranan manusia:

1.      Al-Basyar

Kata البَشَرٌ (al-Basyar) berasal dari kata ba’, syin, dan ra’ بشر  yang berarti menguliti/ mengupas (buah), memotong tipis hingga terlihat kulitnya, meperhatikan, sesuatu yang tampak baik dan indah, bergembira, menggembirakan, menggauli, kulit luar, kulit yang dikupas atau memperhatikan dan mengurus sesuatu. Kata al-Basyar dalam Alquran umumnya digunakan dalam menggambarkan manusia sebagai makhluk biologis yang mempunyai sifat-sifat biologis seperti makan, minum, hubungan seksual, dll. Penamaan kata ini menunjukkan makna bahwa secara biologis mendominasi manusia adalah pada kulitnya. Pada aspek ini terlihat perbedaan umum biologis manusia dengan hewan yang lebih didominasi oleh bulu atau rambut. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dipahami bahwa manusia merupakan makhluk yang memilki segala sifat kemanusiaan dan keterbatasan seperti makan, minum, kebahagiaan, dsb.

Kata al-Basyar dalam Alquran dinyatakan sebanyak 38 kali dalam 26 surat. Berikut salah satu contoh ayat yang didalamnya terdapat kata al-Basyar:

فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنَا فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنسِيًّا

Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu, jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah; “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini.(Maryam: 26).

Implikasi dari pengistilahan al-Basyar, yaitu bahwa setiap manusia harus menyadari bahwa dirinya memiliki nafsu, memiliki tugas untuk mengembangkan dorongan nafsu positif dan mengurangi dorongan nafsu negatif agar hidupnya tetap terarah. Tiap manusia juga harus menyadari adanya perkembangan pada dirinya serta tidak boleh membahayakan dirinya baik secara fisik maupun mental. Jika manusia keluar dari implikasi ini, maka manusia telah keluar dari kodrat aslinya.

 

2.      Al-Nâs

Kata al-Nâs/ النَاس merupakan bentuk jamak dari kata al-Insân إنسان  . Dalam Alquran kata al-Nâs digunakan untuk menyatakan manusia sebagai makhluk yang memiliki suatu komunitas masyarakat serta etnik budaya sekaligus sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain. Kata al-Nâs juga digunakan untuk membahas persoalan-persoalan hukum umat manusia yang mencakup perintah dan larangan.

Kata al-Nâs dalam Alquran disebukan sebanyak 241 kali dalam 55 surat. Kata al-Insân dan al-Nâs ini merupakan istilah kata yang paling banyak digunakan dalam Alquran untuk mengistilahkan manusia.Berikut merupakan salah satu contoh ayat Alquran yang di dalamnya terdapat kata al-Nâs:

يَآأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hai Manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (Al-Hujurât: 13).

Implikasi dari pengistilahan al-Nâs, yaitu bahwa setiap manusia harus melakukan kegiatan yang berhubungan dengan masyarakat karena berdasarkan kodratnya manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain. Bentuk pelaksanaannya dapat dilakukan pada masyarakat di sekitarnya seperti ta‘amul (berkomunikasi dan berinteraksi sosial secara tertib, saling mengenal, saling tolong menolong, bermusyawarah, bersikap santun, menjaga tali silaturahmi, saling menasehati, dll. Jika manusia keluar dari implikasi ini, maka manusia telah keluar dari kodrat aslinya.

 

3.      Al-Insan

Manusia merupakan makhluk yang paling taat sekaligus paling ingkar terhadap Tuhannya. Ketaatannya terhadap Allah dapat melebihi ketaatan para malaikat, namun keingkarannya terhadap Allah pun dapat melebihi keingkaran yang dilakukan Iblis terhadap Allah. Semuanya tergantung pilihan dari manusia itu sendiri apakah ingin ingkar atau taat pada Tuhannya.

Sejak zaman nabi Adam hingga kini manusia tak luput dari berbuat dosa. Mereka berbuat demikian karena mereka lupa akan Tuhannya. Manusia kerap kali lupa akan siapa dirinya dan untuk apa mereka diciptakan. Oleh karena itu Allah menurunkan utusan-Nya dari kalangan manusia itu sendiri yang bertugas untuk mengingatkan para manusia yang khilaf akan dirinya dan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi ini. Utusan Allah yang mengemban misi untuk mengingatkan manusia akan tugas dan fungsi mereka di dunia disebut dengan Nabi dan Rasul Allah. Namun seringkali para manusia itu menolak untuk diperingatkan karena sikap angkuh dan sombongnya yang lebih mereka agungkan daripada peringatan itu. Mereka seringkali tidak percaya pada manusia yang diutus oleh Allah untuk memperingati mereka sebelum utusan itu datang kepada mereka dengan sesuatu yang tidak disanggupinya hingga ia mengakui dan tunduk akan kemampuan manusia tersebut yang berada di atas kemampuannya.

Oleh karena itu selain dibekali wahyu dari Allah, para utusan tersebut diberi suatu kelebihan berupa kekuatan luarbiasa yang berada diluar nalar manusia sehingga mereka yang melihatnya menjadi tunduk dan patuh serta percaya akan kebenaran yang dibawanya. Namun mengingat akal manusia yang pada awal fase perkembangannya tidak melihat sesuatu yang dapat lebuh menarik perrhatiannya selain mukjizat-mukjizat alamiah yang bersifat inderawi karena akal mereka belum mencapai puncak pengetahuan dan pemikirannya, maka yang paling relevan adalah jika setiap rasul itu di utus kepada setiap umatnya masing-masing secara khusus dan mukjizatnya pun yang sejenis dengan kemampuan akal mereka pada kala itu. Bila dukungan Allah kepada rasul-rasul terdahulu berupa ayat-ayat kauniyah yang memukau mata dan tidak ada jalan bagi akal untuk menentangnya, maka mukjizat yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad berupa mukjizat ‘aqliyah yakni mukjizat yang bersifat rasional, berdialog dengan akal manusia dan menantang mereka untuk selamanya. Mukjizat tersebut adalah Alquran dengan segala ilmu pengetahuan yang terdapat di dalamnya serta berita-berita tentang masa lalu serta masa yang akan datang.

Sejak diturunkannya, Alquran sudah menantang manusia untuk membuat sesuatu yang serupa dengannya. Semaju apapun akal manusia, hingga sekarang mereka tidak mampu menjawab tantangan tersebut, karena dalam firman-Nya Allah telah menjelaskan bahwa Alquran tidak akan mungkin ditandingi sekalipun manusia berkoalisi dengan jin untuk membuat tandingannya. Kelemahan akal yang bersifat subtansif ini merupakan pengakuan akal itu sendiri bahwa Alquran adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya sebagai pedoman dan pembimbing bagi manusia akhir zaman yang lebih rentan melakukan kekhilafan karena kemampuan akalnya yang sudah cukup tinggi. Salahsatu aspek mukjizat Alqur’an yaitu dari segi bahasanya yang tinggi dan saling berkaitan satu sama lainnya. Dalam hal ini yang menjadi kajian dalam karya ilmiah ini yaitu mengenai istilah Manusia yang diistilahkan dengan beberapa kata dalam Alquran. Salah satunya yaitu pengistilahan makna manusia dengan kata al-Insân.

Kata al-Insân dinyatakan dalam Alquran sebanyak 65 kali dalam 43 surat.Telah dijelaskan pula bahwa istilah al-Insân dalam Alquran umumnya digunakan untuk menggambarkan keistimewaan manusia serta sering dihubungkan dengan proses penciptaannya. Berikut ini beberapa macam pengistilahan manusia yang Allah gunakan dengan kata al-Insân dalam Alquran :

a.       Pengistilahan al-Insân dalam perintah Allah agar manusia memikirkan kebesaran Allah.

فَلۡيَنۡظُرِ الۡاِنۡسَانُ مِمَّ خُلِقَ

 “Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?” (Al Thariq:5).

b.      Pengistilahan al-Insân dalam menceritakan kelemahan manusia.

يُرِيۡدُ اللّٰهُ اَنۡ يُّخَفِّفَ عَنۡكُمۡ‌ۚ وَخُلِقَ الۡاِنۡسَانُ ضَعِيۡفًا

Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah (An-Nisâ : 28).

c.       Pengistilahan al-Insân dalam menceritakan keburukan manusia karena pengaruh syaitan.

قَالَ يٰبُنَىَّ لَا تَقۡصُصۡ رُءۡيَاكَ عَلٰٓى اِخۡوَتِكَ فَيَكِيۡدُوۡا لَـكَ كَيۡدًا اِنَّ الشَّيۡطٰنَ لِلۡاِنۡسَانِ عَدُوٌّ مُّبِيۡنٌ

Ayahnya berkata: “Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, Maka mereka membuat makar (untuk membinasakan) mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia. (Yûsuf : 5).

d.      Pengistilahan al-Insân dalam menceritakan kebaikan manusia.

وَاَنۡ لَّيۡسَ لِلۡاِنۡسَانِ اِلَّا مَا سَعٰى

Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang Telah diusahakannya (An-Najm : 39).

e.       Pengistilahan al-Insân dalam menceritakan keadaan manusia ketika hari kiamat.

وَكُلَّ اِنۡسَانٍ اَلۡزَمۡنٰهُ طٰۤٮِٕرَهٗ فِىۡ عُنُقِهٖ‌ وَنُخۡرِجُ لَهٗ يَوۡمَ الۡقِيٰمَةِ كِتٰبًا يَّلۡقٰٮهُ مَنۡشُوۡرًا‏

Dan tiap-tiap manusia itu telah kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. dan kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah Kitab yang dijumpainya terbuka (Al-Isrâ : 13).

Implikasi dari pengistilahan al-Insân, yaitu bahwa setiap manusia harus menggunakan akalnya dengan sebaik-baiknya agar dapat meningkatkan kualitas ilmu, iman dan amalnya agar mereka semakin bertakwa. Selain itu, manusia harus melaksanakan proses pembelajaran sepanjang hidupnya karena kita hidup tak lain hanyalah untuk belajar, serta mengamalkan ilmunya agar bermanfaat dan diberkahi oleh Allah. Jika manusia keluar dari implikasi ini, maka manusia telah keluar dari kodrat aslinya.

 

4.      Banî Ȃdam

Kata بني أدم (Banî Ȃdam)  atau ذرّية أدم (Dzurriyat Ȃdam) memiliki arti anak cucu atau keturunan Adam. Kedua istilah ini digunakan untuk mengistilahkan manusia yang dikaitkan dengan kata adam yang merupakan sebutan bagi manusia pertama yang diciptakan Allah. Secara umum, penggunaan kata ini dalam Alquran yaitu untuk menunjukkan bahwa setiap manusia merupakan keturunan dari Nabi Adam dan asal usul setiap manusia pun berasal darinya.

Kata Banî Ȃdam disebukan sebanyak 7 kali dalam 4 surat, sedangkan Dzurriyatu Ȃdam disebutkan hanya sekali dalam surah Maryam ayat 58 . Berikut contohnya:

Kata Banî Ȃdam:

يَابَنِى ءَادَمَ قَدْ أَنزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْءَاتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ ءَايَاتِ اللهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ

Hai anak Adam, Sesungguhnya kami Telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan, dan pakaian takwa itulah yang paling baik,. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (Al-A‘râf 7: 26)

Kata Dzurriyatu Ȃdam:

أُوْلَئِكَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ مِن ذُرِّيَّةِ ءَادَمَ وَمِمَّنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ وَمِن ذُرِّيَّةِ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْرَاءِيلَ وَمِمَّنْ هَدَيْنَا وَاجْتَبَيْنَا إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ ءَايَاتُ الرَّحْمَـنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا

Mereka itu adalah orang-orang yang Telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang Telah kami beri petunjuk dan Telah kami pilih. apabila dibacakan ayat-ayat Allah yang Maha Pemurah kepada mereka, Maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” (Q.S. Maryam 19: 58)

Implikasi dari pengistilahan banî Ȃdam, yaitu bahwa setiap manusia harus menyadari bahwa dirinya mempunyai keluarga yang jelas yang merupakan kelebihan dan keistimewaan manusia karena kejelasan keluarga hanya dimiliki oleh manusia. Selain itu, manusia untuk menetapkan adanya keluarga harus ditempuh melalui pernikahan yang sah, setiap aktifitas untuk keperluan keluarga selama tidak bertentangan dengan syari‘at maka statusnya adalah amal shalih dan ibadah, setiap anggota keluarga memiliki tugas dan kewajibannya masing-masing serta melaksanakan fungsi keluarganya masing-masing. Jika manusia keluar dari implikasi ini, maka manusia telah keluar dari kodrat aslinya.

 

5.      Al-Ins

Kata الإنس/ al-Ins memiliki makna yang serupa dengan kata al-Insân, namun akar kata Al-Ins lebih ditekankan pada kata أَنَّسَ (annasa) yang berarti jinak atau ramah, karena kata ini selalu disandingkan dengan kata jîn atau jân dalam Alquran. Jinn atau jân berasal dari kata جنّ (Janna) yang artinya menjadi gelap, menutupi, menyembunyikan, sehingga dapat diartikan sebagai yang tersembunyi. Kata al-Ins selalu disandingkan dengan kata jîn atau jân dalam Alquran karena antara kedua kata ini saling berlawanan satu sama lain. Antara manusia dan Jin itu saling berlawanan dalam sifatnya. Manusia bersifat kasat mata dan jinak, sedangkan jin bersifat tak kasat mata serta merupakan makhluk yang liar.

Kata al-Ins disebukan sebanyak 18 kali dalam 9 surat. Berikut merupakan salah satu contoh ayat Alquran yang di dalamnya terdapat kata al-Ins:

يَامَعْشَرَ الْجِنِّ وَاْلإِنسِ أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِنكُمْ يَقُصُّونَ عَلَيْكُمْ ءَايَاتِي وَيُنذِرُونَكُمْ لِقَآءَ يَوْمِكُمْ هَذَا قَالُوا شَهِدْنَا عَلَى أَنفُسِنَا وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَشَهِدُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ أَنَّهُمْ كَانُوا كَافِرِينَ

Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dari golongan kamu sendiri, yang menyampaikan kepadamu ayat-ayatKu dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini? mereka berkata: “Kami menjadi saksi atas diri kami sendiri”, kehidupan dunia Telah menipu mereka, dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir (Al-An‘âm: 130).

Implikasi dari pengistilahan al-Ins, yaitu bahwa setiap manusia harus menyadari bahwa dirinya mempunyai kodrat sebagai manusia yang jinak, yaitu yang taat pada perintah Tuhannya dan selalu memperhatikan hukum-hukum yang bersangkutan dengannya serta nersikap ramah terhadap lingkungan sekitar. Jika manusia keluar dari implikasi ini, maka manusia telah keluar dari kodrat aslinya.

 

6.       Abdullah

Hakikat manusia yang utama adalah sebagai hamba atau penyembah Allah Swt. Sebagai seorang hamba maka manusia wajib mengabdi kepada Allah SWT dengan cara menjalani segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Sebagai seorang hamba, seorang manusia juga wajib menjalankan ibadah seperti shalat wajib, puasa ramadhan (baca puasa ramadhan dan fadhilahn, zakat (baca syarat penerima zakat dan penerima zakat), haji (syarat wajib haji) dan melakukan ibadah lainnya dengan penuh keikhlasan dan segenap hati sebagaimana yang disebutkan dalam ayat berikut ini

وَمَآ أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْااللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَآءَ وَيُقِيْمُوْا الصَّلَوةَ وَيُؤْتُوْا االزَّكَوةَ وَذَلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus (Al-Bayyinah : 5).

 

7.      Khalifatullah

Telah disebutkan dalam tujuan penciptaan manusia bahwa pada hakikatnya, manusia diciptakan oleh Allah Swt sebagai khlaifah atau pemimpin di muka bumi.

يَادَاودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي اْلأَرْضِ فَاحْكُم بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلاَتَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ اللهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ اللهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ

Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (peguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu. Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah (Shad : 26).

Sebagai seorang khalifah maka masing-masing manusia akan dimintai pertanggung jawabannya kelak di hari akhir.

 

8.      Tujuan Allah Menciptakan Manusia

Tujuan utama allah Swt menciptakan manusia adalah agar manusia dapat beribadah dan menyembah Allah Swt, menjalani perintahnya serta menjauhi larangannya. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Swt  berikut ini:

وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ

Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah Aku. (Adz-Dzariyat :56).

Disamping itu juga sebagai khlaifah dimuka bumi sebagaimana firman Allah Swt :

وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٞ فِي ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةٗۖ قَالُوٓاْ أَتَجۡعَلُ فِيهَا مَن يُفۡسِدُ فِيهَا وَيَسۡفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحۡنُ نُسَبِّحُ بِحَمۡدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَۖ قَالَ إِنِّيٓ أَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُونَ 

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui (Al-Baqarah: 30)

Sebagai khalifah dimuka bumi manusia hendaknya juga dapat menjaga amanatnya dalam menjaga alam dan isinya. Manusia semestinya memiliki akhlak dan perilaku yang baik kepada sesama maupun makhluk hidup yang lain

 

9.      Tujuan Hidup Manusia

Beribadah kepada Allah dan menjalankan tugas kekhalifahan bukan tujuan hidup manusia, melainkan tujuan Allah menciptakan manusia, sebagai tujuan yang dikehendaki Allah. Lalu apa tujuan manusia menjalankan segala perannya di dunia? Jawabannya tujuan manusia adalah mencapai keridhaan Allah Swt.

Allah menciptakan pada diri manusia satu kebebasan dasar, yaitu kebebasan memilih, apakah akan mengikuti kehendak Allah ataukah akan mendurhakainya. Allah Swt berfirman:

وَقُلِ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ فَمَن شَآءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَآءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّآ أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا

Dan katakanlah:"Kebenaran itu datangnya dari Rabbmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka  (Al-Kahfi:29)

Jadi, manusia yang beriman atau melaksanakan kehendak Allah maka akan diridhai Allah, sementara yang kafir atau mendurhakai-Nya akan dimurkai. Dengan demikian tujuan hidup manusia adalah mencapai keridhaan Allah Swt. Tujuan ini ditegaskan al-Qur’an antara lain:

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Katakanlah sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah Rabb semesta alam (Al-An’ām : 162)

Manusia yang diridhai Allah inilah yang disebut al-Nafs al-Muthma’innah (jiwa yang tenang), yaitu manusia yang telah mencapai kesempurnaan hati, manusia yang masuk dalam kelompok hamba-hamba Allah dan memperoleh kesenangan abadi berupa surga, manusia yang menghadap Allah dengan hati yang bersih; manusia yang digambarkan Allah dalam firman-Nya berikut:

يَاأَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ  ارْجِعِي إِلىَ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَةً  فَادْخُلِي فيِ عِبَادِي  وَادْخُلِي جَنَّتِي

Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. (Al-Fajr : 27-30)

وَلاَتُخْزِنِي يَوْمَ يُبْعَثُونَ  يَوْمَ لاَيَنفَعُ مَالٌ وَلاَبَنُونَ  إِلاَّ مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih, (Asy-Syuara : 89).[5]

 

10.  Pengertian Tujuan Pendidikan Islam

Para ahli pendidikan Islam telah mengemukakan tujuan pendidikan Islam dalam redaksi yang berbeda-beda. Imam Ghazali berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam ialah kesempurnaan insani di dunia dan akhirat. Manusia dapat menggapai kesempurnaan melalui pencarian keutamaan dengan menggunakan ilmu. Keutamaan itu akan memberinya kebahagiaan di dunia serta mendekatkannya kepada Allah, sehingga dia akan mendapatkan pula kebahagiaan di akhirat.[6] Muhammad Munir Mursa mengemukakan bahwa tujuan terpenting pendidikan Islam adalah tercapainya kesempurnaan insani, karena Islam sendiri merupakan manifestasi tercapainya kesempurnaan agamawi, sebagaiman ditegaskan di dalam firman Allah Swt berikut ini:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ ِّلإِثْمٍ فَإِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Maidah : 3)[7]

Muhammad ‘Athiyyah al-Abrasyi berpendapat bahwa tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah tercapainya akhak yang sempurna.[8] Ahmad D. Marimba mengemukakan bahwa tujuan akhir pendidikan Islam ialah terbentuknya kepribadian Muslim.[9] Menurut Abdurrahman al-Nahlawi bahwa tujuan pendidikan Islam adalah menjadikan manusia sebagai abdi atau hamba Allah.[10]

Tujuan pendidikan Islam, menurut kongres pendidikan Islam sedunia di Islamabad tahun 1980 yaitu, pendidikan harus merealisasikan cita-cita Islami yang mencakup pengembangan kepribadian muslim yang bersifat menyeluruh secara harmonis berdasarkan potensi psikologis dan fisiologis manusia yang mengacu kepada keimanan dan sekaligus berilmu pengetahuan secara berkeseimbangan sehingga terbentuklah manusia muslim yang paripurna yang berjiwa tawakkal secara total kepada Allah SWT, sebagaimana Firman-Nya, yang menyatakan :

وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلاَئِفَ اْلأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَآءَاتَاكُمْ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ

Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Al-An’am: 165).

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انشُزُوا فَانشُزُوا يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِير

Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi Ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Al-Mujadilah: 11)

Redaksi-redaksi yang dikemukaan para ulama di atas sesungguhnya tidak saling bertentangan jika dilihat dari penafsiran mereka terhadap redaksi pengertian yang dibawakannya.  Dan kesimpulan dari tujuan pendidikan Islam ini ialah agar menjadi manusia sempurna (insan kamil) yang diridhai Allah Swt.

Masalahnya adalah bagaimana mengukur bahwa manusia telah mencapai tingkat kesempurnaan. Jawabannya adalah bahwa penentuan mengenai hal itu bukanlah wewenang manusia. Tuhanlah yang menentukan siapa-siapa di antara hamba-Nya yang betul-betul telah mencapai kesempurnaan itu. Inilah rahasianya mengapa pendidikan Islam berlangsung sepanjang hayat. Manusia harus terus-menerus berusaha untuk mencapai kesempurnaannya mulai dari pendidikan oleh orang lain sampai dengan pendidikan oleh diri sendiri.

Oleh sebab itu, menurut al-Syaybani, pelaksanaan tujuan akhir pendidikan Islam tidak terbatas pada lembaga atau pusat pendidikan tertentu, tetapi dilaksanakan di semua lembaga dan pusat pendidikan; keluarga, sekolah, pondok pesantren, masjid, organisasi, surat kabar, majalah, radio, televisi, perpustakaan, internet, dan lain-lain.

Tujuan akhir pendidikan Islam ini bersifat tetap dan umum. Karena sifatnya yang tetap itu, ia berfungsi memelihara seluruh usaha pendidikan Islam dan karena sifatnya yang umum, ia perlu dijabarkan dengan tujuan-tujuan khusus sampai tingkat operasional.[11] Ini yang disebut dengan tujuan sementara. Tujuan sementara merupakan penjabaran dari tujuan akhir serta berfungsi membantu memelihara arah seluruh usaha dan menjadi batu loncatan untuk mencapai tujuan akhir.

Pendidikan Islam adalah usaha berproses sepanjang hayat manusia. Prinsip ini memungkinkan lahirnya banyak tujuan sementara. Kemudian, Islam adalah agama yang sesuai untuk setiap tempat dan masa. Prinsip ini memungkinkan lahirnya perbedaan tujuan sementara di setiap masa. Oleh sebab itu pendidikan Islam membuka pintu bagi para ulama untuk berijtihad dan menetapkan tujuan sementara. Satu prinsip yang dipegang dalam ijtihad ini ialah:

مَالَا يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

Sesuatu yang apabila suatu kewajiban tidak dapat terlaksana kecuali dengannya, maka sesuatu itu menjadi kewajiban pula.



[1] Abddin Nata, Ilmu pendidikan Islam, hal. 57-61.

[2] Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 51-52

[3] Ibid., hal. 54

[4] Harun Nasution, Konsep Manusia Menurut Ajaran Islam , Jakarta: Lembaga Penerbitan IAIN Syarif Hidayatullah, 1981, hal. 6

[5] Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 64-66

[6] Fathiyyah Hasan Sulaiman, Alam pikiran al-Ghazali Mengenai Pendidikan dan Ilmu, terjemahan Hery Noer Aly dari Madzahib fi al-Tarbiyah: Bahtsun fi Madzhab al-Tarbawi ‘Inda al-Ghazali, Bandung: Diponegoro, 1986, hal. 31

[7] Muhammad Munir Mursa, Al-Tarbiyah al-Islamiyyah: Ushuluha wa Tathawwuruha fi al-Bilad al-Arabiyyah, Cairo: ‘Alam al-Kutub, 1977, hal. 18

[8] Muhammad ‘Athiyyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyyah, Damaskus: Dar al-Fikr, tth, hal. 22-23.

[9] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: al-Maarif, 1980, hal. 46

[10] Abdurrahman al-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyyah wa Asalibuha fi al-Bayt wa al-Madrasah wa al-Mujtama, Damaskus: Daar al-Fikr, 1979, hal. 98.

[11] Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 78 – 80.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KATA PENGANTAR BUKU ILMU PENDIDIKAN ISLAM

MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

MATERI PERKULIAHAN: TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM